Negosiasi Harga Content Placement Itu Wajar : Namanya Juga Dagang

Negosiasi Harga Content Placement Itu Wajar : Namanya Juga Dagang

Uppss.. rupanya tulisan saya sebelum ini yang mengatakan supaya tidak “menjual murah blog” saat menerima content placement mendapatkan komentar. Salah satunya dari mas Dwi Sugiarto, pengelola blog “dwisu.web.id” dan “mediakompilasi.com.

Silakan lihat screenshoot di atas yah isinya seperti apa.

Kemudian, satu lagi dari sobat saya, Kang Nata, si boss Asikpedia. Katanya seperti ini.

Negosiasi Harga Content Placement Itu Wajar : Namanya Juga Dagang

Komentar saya? Maklum kok kalau ada yang berpikir demikian. Di dunia nyata pun masalah seperti ini akan tetap ada. Rasa takut tidak dapat job atau pemasukan adalah sesuatu yang sangat bisa dimengerti, apalagi kalau memang penghidupan keluarga bergantung pada hal ini. Jadi, tidak ada yang salah.

Meskipun demikian, saya memandang dari sudut yang lain karena prinsip “yang penting” dapat order dan pemasukan, sudah terbukti pada akhir cenderung merugikan bagi si “produsen”. Dalam hal ini blogger.

Hal itu sudah terbukti di dunia nyata, bahwa banting-bantingan harga pada akhirnya hanya akan mendorong harga pasaran terus menurun. Hasilnya, ya yang untung adalah pembeli dan yang rugi adalah produsen/penjual karena masyarakat akan terus megharapkan harga untuk murah dan semakin murah saja.

Padahal, di sisi lain, biaya untuk memproduksi, dalam hal ini mengurus blog akan terus bertambah. Banyak yang mungkin tidak memperhitungkan listrik, kopi, ongkos jalan yang terpakai saat mencari bahan tulisan, tetapi seharusnya hal seperti ini juga diperhitungkan sebagai biaya produksi. Bahkan, dalam perusahaan besar sekalipun, ongkos taxi atau ongkos menjamu tamu makan siang pun akan tercatat dan diperhitungkan sebagai cost.

Dan kemudian cost atau biaya itu akan dimasukkan kembali ke dalam harga jual produk. Bukan berarti gratis.

Belum lagi efek tidak langsung dengan memberikan link ke website lain, yang kalau menurut para pakar SEO akan memberi dampak juga pada blog yang dikelola (entah apa benar tidakya). Berarti ada “ongkos” tidak terlihat yang dikeluarkan. Yang memakai self hosting, berarti ada satu “file” yang akan mangkal di server dalam waktu yang lama, dan server itu juga harus kita bayar kan?

Ada biaya produksi yang dikeluarkan blogger.

Ketika bicara masalah harga, jelas saya akan berseberangan dengan Kang Nata dalam hal ini, sama sekali bukan “tindakan bodoh”. Karena harga itu bukan hanya berurusan dengan nama tenar, keren, sudah terkenal atau belum saja. Ada unsur lain yang paling penting dalam memperhitungkan harga.

Namanya BIAYA PRODUKSI.

Jadi, asal menerima job, yang penting dapat duit yang kalau dikumpulkan jadi banyak, sebenarnya sama sekali tidak sesuai dengan konsep “mencari uang” ala kapitalisme dunia sekarang. Sudah seharusnya kalau memang seorang blogger berniat meraup uang dari blog, juga harus memperhitungkan “untung” dan “rugi”.

Dan, untung rugi itu hal yang paling utama adalah terkait dengan biaya yang dikeluarkan. Baru setelah itu dipertimbangkan hal lain. Seorang yang menjual harus berusaha mendapatkan uang lebih banyak daripada yang dia keluarkan untuk memproduksi barang/jasa yang dijual.

Kalau dia menjual rugi, lebih baik tidak menjual karena pada akhirnya akan menekan diri sendiri. Untuk apa berdagang kalau terus rugi.

Dalam hal ini, memang kebanyakan blogger tidak melihat “kerugian” itu. Karena itulah, banyak yang memandang 50 ribu, 100 ribu sudah cukup. Padahal, mungkin biaya yang diperlukan lebih dari itu, seperti waktu yang seharusnya buat keluarga dipakai ngeblog, padahal bisa juga dipergunakan untuk mendapatkan keuntungan lain. Yang seperti ini jarang diperhitungkan.

Itu tetap adalah “ongkos”. Karena waktu dalam dunia bisnis adalah “uang”.

Jadi, pada dasarnya sama sekali bukan TINDAKAN BODOH kalau seorang blogger berusaha mendapatkan harga setinggi mungkin apabila ada yang mau menempatkan artikel di blognya. Wajar saja dan bahkan sudah seharusnya. Terlepas dari apakah blog itu sudah terkenal atau belum, hal itu adalah tindakan normal, tidak bodoh sama sekali.

Masalahnya, ya itu, banyak blogger yang walau katanya memang berniat mencari uang dari blognya, tetapi pemikirannya masih tetap sebagai blogger saja. Yang memandang bahwa harga berapapun diterima saja, yang penting ada job dan bonus. Sesuatu yang menurut saya tidak sesuai dengan pola pikir seorang yang memang berniat “menjual” space di blognya demi uang.

Kalau saya sih, memang belum berniat secara resmi hidup dari blog, walau rencana ke depan, inginnya begitu. Tetapi, saya menolak untuk menjual “murah” blog saya kalau kesempatan itu ada. Saya ingin mendapat bagian yang “wajar” dan “menguntungkan” . Jangan sampai para agen iklan yang menelan keuntungan itu sementara para blogger yang berusaha keras dan berjuang membuat tulisan hanya mendapatkan recehan saja.

Tetapi, kalau Anda mau cara yang lain, ya silakan saja..:-D Namanya juga pilihan masing-masing.

2 thoughts on “Negosiasi Harga Content Placement Itu Wajar : Namanya Juga Dagang”

  1. Kok sama ya topiknya memang ada habisnya kalau dibahas content placement, bagi saya pendapat kang nata ada benarnya apalagi buat saya yang bisa dibilang full time blogger, sesuap nasi saya dapatkan diantarnya dari content placenment ini sedangakan nilai jual 3 blog TLD saya masih murah karena DA masih dibawah 20 ditambah lagi iklim tarif content placement cenderung tidak kondusif gilanya artikel review yang ditulis sendiri cuma dihargai 50 ribu banyak yang antri mas. apalagi content placement 50 ribu langsung diburu. Pernah saya dapat job padahal cuma 50 ribu tidak segera dikerjakan lagnsung dilempar ke blogger lain yang sip menunggu.

    Jadi kalau ada content placement 100 ribu saya tolak sama saja tindakan bodoh, karena kebanyakan yang menghubungi saya tarifnya segitu pernah minta 150 ribu tapi tidak direspon. Kedepannya sih kalau DA blog saya sudah bagus bisa tembus 30 saya akan pasang tarif sendiri seperti mas Anton ini.

    Reply
    • Nggak juga mas Dwi.. Saya tidak berpikiran menolak tawaran rendah walaupun sebagai blogger full time, sebagai tindakan bodoh. Negosiasi dalam urusan bisnis adalah hal yang wajar terjadi.

      Meskipun saya butuh uang, tetapi tentunya saya harus mendapatkan keuntungan dari apa yang saya kerjakan. Itu wajar saja. Tidak beda dengan tukang pisang yang tentunya butuh uang. Ia akan tetwap menawarkan pada harga tinggi agar bisa meraih keuntungan bagi dirinya.

      Dan itu normal, serta wajar. Jadi, jelas bukan tindakan bodoh. Malah saya heran kalau Kang Nata dan Mas Dwi beranggapan bahwa hal seperti tiu bodoh. Apakah sudah sebegitu rendah menilai diri sendiri? Sudah dianggap sebegitu murahkah tenaga, pikiran dan waktu yang kita keluarkan? Sampai bernegosiasi saja dianggap tindakan bodoh?

      Saya justru heran dengan Mas Dwi. Kalau membaca komentar di atas sepertinya kebanjiran order (walau tawarannya rendah) sampai harus melemparkan ke blogger lain.

      Jelas disana demand-nya tinggi, dan disana terbuka ruang untuk menaikkan harga. Bisa saja kalau tawaran yang masuk 50 ribu, mas Dwi mencoba menaikkan menjadi 75 ribu.

      Jika hal itu terus dilakukan, maka perlahan, tawaran akan naik. Demandnya jelas banyak, mas Dwi sedniri yang menyebutkan.

      Jadi, kenapa tidak bernegosiasi untuk menaikkan harga dan bukan hanya sekedar menerima yang diajukan?

      Saya tidak mematok harga, dan seperti sudah disebutkan bahwa saya jarang sekali dan bahkan baru 3 kali secara keseluruhan menerima content placement. Tetapi, saya melihat bahwa harga yang bisa didapat dari pasar cukup tinggi. Lalu kenapa harus dijual murah?

      Tetapi, intinya, negosiasi tawar menawar adalah hal wajar. Tidak berarti karena butuh kita harus selalu menjual dengan harga rendah. Hal itu pada akhirnya akan merugikan diri sendiri. Bayangkan saja penjual pisang yang karena butuh terus menjual pisangnya dengan harga murah. Suatu waktu ia tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

      Setidaknya, lakukan negosiasi dan coba naikkan harga. Berhasil atau tidak urusan lain.

      Tidak selamanya semua seburuk dan serendah yang kita bayangkan.

      Buat saya Kang Nata dan Mas Dwi agak terlalu pesimis dan memandang diri sendiri terlalu rendah. Bahkan untuk melakukan negosiasi saja tidak mau dan bahkan dianggap tindakan bodoh.

      Padahal jelas sekali itu adalah wajar dan normal. Sama sekali tidak bodoh

      Reply

Leave a Reply to Dwi Sugiarto Cancel reply