Kerja Cerdas Tidak Lebih Baik Dari Kerja Keras

Beberapa tahun belakangan ini, sebuah istilah “kerja cerdas” banyak sekali digunakan oleh berbagai kalangan. Guru, pejabat pemerintah, sampai blogger pun kerap memakainya dalam percakapan sehari-hari ataupun dalam tulisan

Kerja cerdas dengan cepat dipandang sebagai sesuatu yang lebih baik daripada istilah lainnya, yaitu “kerja keras”.

Semua berlomba-lomba untuk meninggalkan “kerja keras” dan beralih ke konsep kerja cerdas.

Padahal, sebenarnya, semua itu hanya menunjukkan bahwa pemakainya kurang pandai berbahasa Indonesia. Kenyataannya kerja cerdas tidak lebih baik dari kerja keras.

Istilah kerja keras hanyalah sebuah slogan atau jargon saja.

Mau tahu alasannya?

Coba buka kembali buku pelajaran bahasa Indonesia tingkat SD saja. Di sana akan dijelaskan bahwa kedua kata ini pada dasarnya satu, yaitu sebagai kata majemuk.

Kata majemuk sendiri merupakan gabungan dua kata dan melahirkan makna baru.

Sebagai contoh, “main api” , maknanya tidak berarti benar-benar memainkan api, tetapi melakukan sesuatu yang beresiko atau berbahaya.

Kata majemuk memeras keringat pun artinya bukan sekedar berarti mengeluarkan keringat.

Nah, “kerja keras” sendiri memiliki makna melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan mengeluarkan daya upaya untuk mencapai hasil.

Kerja keras tidak menunjukkan “hanya” kerja fisik saja.

Contohnya saja, “Direktur Toyota bekerja keras untuk memajukan perusahaannya”. Apakah hal itu berarti ia melakukan pekerjaan fisik dan mengeluarkan tenaga yang banyak?

Bisa jadi tidak. ia sangat mungkin berada dalam ruangan ber-ac, naik mobil mewah, dan bertemu banyak petinggi.

Ia tidak bekerja dengan fisiknya, tetapi dengan otaknya. Namun, istilahnya tetap kerja keras.

Kerja cerdas itu bagian dari kerja keras

Deifinis kerja cerdas, sering diterjemahkan sebagai cara kerja yang mengedepankan pada pemecahan solusi, bekerja dengan efektif dan efisien, mengedepankan hal yang lebih prioritas.

Istilah ini diartikan sebagai sesuatu yang lebih baik daripada kerja keras, karena lebih mengedepankan pemakaian otak.

Namun, coba lihat contoh di atas tentang direktur Toyota. Bukankah ia melakukan hal yang sama. Ia pasti memiliki pengetahuan yang luar biasa tentang bagaimana menjadi efisien dan efektif dalam melakukan sesuatu.

Ia juga bekerja cerdas dan bukan mengandalkan fisik. Ia berpikir dan berusaha selalu menemukan solusi. Ia akan memprioritaskan hal-hal yang penting daripada yang tidak.

Lalu, apa bedanya dengan kerja cerdas? Dimana kelebihan kerja cerdas dalam hal ini?

Kenyataannya tidak ada karena sebenarnya makna kerja cerdas bisa juga terkandung dalam istilah kerja cerdas.

Istilah kerja cerdas cenderung merendahkan

Yap. Sadar atau tidak disadari ada unsur merendahkan dalam istilah kerja cerdas.

Seorang yang melakukan kegiatan fisik, berusaha yang terbaik dengan caranya, dianggap lebih rendah dibandingkan kerja dengan menggunakan otak, berpikir.

Bagaimana dengan petani, yang lebih banyak mengandalkan pekerjaan fisik? Apakah ia lebih rendah daripada mereka seorang blogger yang lebih banyak menggunakan otak?

Bisakah kita mengatakan seorang tukang becak sebagai sesuatu yang lebih rendah dibandingkan seorang karyawan?

Seharusnya tidak. Setiap orang memilih jalan hidupnya masing-masing dan dengan caranya masing-masing.

Dan, mereka berusaha yang terbaik di jalan yang dipilihnya.

Kerja cerdas hanyalah jargon saja

Di dunia blogging Indonesia sendiri, kalangan yang banyak menggunakan istilah kerja cerdas adalah kaum internet marketer atau content marketer.

Prinsip 80:20, 80% promosi dan 20% menulis mencerminkan “cerdas” yang mereka maksud.

Mereka berpandangan bahwa “Ngapain menulis banyak-banyak, yang penting pengunjung banyak yang datang”. Lebih efisien dan efektif.

Kalau mengincar pembaca, mengapa harus menulis, mengapa tidak promosi saja? Inti kerja cerdas versi mereka seperti itu.

Tujuannya? Ya jelas agar para pembaca terpengaruh dan mau mengikuti apa yang dikatakannya. Tulisan mereka menjadi laku karena logika manusia dipermainkan.

Mereka menyentuh sisi manusia yang ingin hidup santai, tanpa kerja keras, tetapi bisa nyaman dan berhasil.

Dari sudut sini, mereka “merendahkan” cara lain yang bisa dilakukan, yaitu menulis sebanyak-sebanyaknya.

Namun, biasanya mereka menyembunyikan beberapa fakta, seperti

  • Neil Patel yang disebut maha guru internet/content marketer saja memiliki ribuan artikel di blognya dan ia punya 3 blog besar dengan ribuan artikel
  • Mashable dibangun oleh Pete Cashmore dengan menulis antara 5-10 posting setiap hari dan setelah menjadi perusahaan bernilai jutaan dollar pun setiap hari ada puluhan artikel diterbitkan
  • Linda Ikeji, blogger wanita asal Nigeria, mendapatkan penghasilan ratusan ribu dollar setiap bulan karena ia rutin menerbitkan 25 posting setiap hari. Sekarang blognya menerbitkan hampir 100 artikel perhari
  • Techcrunch, Gizmodo, Lifehack, semua menerbitkan banyak sekali artikel setiap hari, dan mereka lebih sukses dibandingkan para internet marketer Indonesia yang mengedepankan “kerja cerdas”

Mengapa mereka tidak menunjukkan semua data ini? Karena pada dasarnya mereka tahu bahwa kalau contoh-contoh ini ditunjukkan, teori mereka tentang “kerja cerdas” itu sebenarnya tidak ada apa-apanya.

Namun, mereka menutupinya agar pandangan orang tetap pada pemikirannya.

Jangan pernah berpikir bahwa kerja cerdas lebih baik dari kerja keras. Pada dasarnya hal itu tidak ada.

Kerja keras mencakup keseluruhan dari usaha manusia untuk mencapai tujuan, termauk di dalamnya berpikir keras dan menggunakan otak.

Kerja cerdas hanyalah jargon yang entah dimulai oleh siapa, untuk bekerja secara efektif dan efisien, serta mengedepankan hal penting. Padahal, sebelumnya hal itu sudah ada di dalam makna kerja keras atau berusaha dengan sungguh-sungguh.

Jadi, mengapa saya harus menggunakan istilah kerja cerdas, yang bahkan mungkin membuat orang merasa direndahkan? Lebih baik memakai kata yang umum saja, kerja keras.

Toh maknanya sudah ada di dalamnya.

Iya nggak sih?

Leave a Comment