Mengapa Harus Mengapresiasi Karya Sendiri? Stop Bilang Receh!

Saya orang Indonesia. Orang “Timur”. Saya dididik dan hidup sampai setua ini di lingkungan budaya yang mengedepankan “silaturahmi”, “persaudaraan”, “musyawarah untuk mufakat”, “bermanis kata”, dan juga “merendahkan diri”.

Budaya dimana masyarakatnya menilai dan memandang semua nilai di atas sebagai sebuah “kebaikan” dan melakukan yang bertentangan merupakan sebuah “keburukan”.

Saya hidup di tengah dunia yang menganggap ilmu padi, “Semakin berisi, semakin merunduk”, sebagai sebuah keharusan untuk diterapkan dalam kehidupan.

Bukan sesuatu yang salah karena nilai-nilai tersebut memang membawa banyak “kebaikan” saat berinteraksi dengan manusia lain.

Besar dalam lingkungan budaya seperti ini membuat saya maklum kalau harus berhadapan dengan gaya-gaya “merendah” yang dilakukan banyak orang. Di dunia blog, tempat saya berkecimpung hampir 8 tahun, sudah bukan hal yang aneh untuk menemukan aplikasi dari nilai-nilai ke-Timur-an seperti di atas, seperti

  • tulisan saya mah apa atuh, cuma begitu saja dan masih jelek sekali
  • topik yang saya tulis mah cuma recehan dan remah rengginang doang
  • tulisan saya mah tulisan receh saja

Bukan sesuatu yang aneh karena hampir semua blogger berusaha menerapkan ilmu padi di depan orang lainnya. Entah karena memang apa adanya merasa demikian, atau memang sedang berniat “merendahkan diri, meninggikan mutu”. Hampir semua menerapkan pola yang sama.

Namun, saya terus terang kurang menyukai gaya tersebut. Kuping dan mata saya gatal kalau sudah menemukan kalimat-kalimat seperti itu, baik dalam tulisan atau perkataan.

Tahu alasannya?

Mungkin Kawan MM pernah menemukan dalam kehidupan keseharian, beberapa pernyataan di bawah ini

  • Eh, dia mah suaminya bule loh“, persis seperti tetangga di kompleks rumah yang berbondong-bondong semangat datang ke kondangan karena yang salah satu anak tetangga menikah dengan orang Belanda
  • Eh, dia mah anaknya punya gelar S3“, padahal si manusia bergelar S3 itu juga baru lulus dan belum memberi karya yang bermanfaat bagi orang lainnya

Pola yang sama dan dibangun berdasarkan mentalitas “rendah diri” yang ditanamkan oleh budaya Timur. Paradigma yang dibangun bahwa menjadi orang “rendahan” itu bagus dan baik.

Pemikiran yang sama yang terbentuk secara perlahan akibat terlalu sering meninggikan orang lain dan merendahkan diri atau karya sendiri.

Padahal, seorang “bule” belum tentu ia lebih pandai dan lebih bermanfaat bagi lingkungannya dibandingkan orang kulit berwarna. Seorang S3 belum tentu bisa memberikan banyak kepada masyarakat dibandingkan seorang lulusan SD. Namun, karena budaya dan pola pikir “merendahkan diri” yang ditanamkan sebagai kebaikan sejak kecil, maka gelar, status, bahkan ras menjadi sebuah patokan mengenai tinggi rendahnya seseorang.

Mengatakan diri sendiri atau karya sendiri sebagai “jelek”, “remeh”, “receh:, adalah sebuah bentuk dari mentalitas yang sama, mentalitas rendah diri.

Padahal, segala sesuatu di dunia pasti ada imbangannya. Budaya Timur memang menganggap “merendahkan diri” adalah kebaikan, rendah hati, tidak sombong. Namun, tidak berarti hal itu tidak ada keburukannya.

  • mengulang-ulang sebuah perkataan yang sama terus menerus bisa mensugesti diri. Berulang-ulang mengatakan tulisan saya jelek, remeh, remah rengginang terus menerus adalah jalan terbaik untuk meyakinkan diri bahwa kita memang blogger yang jelek dan recehan
  • menempatkan diri sebagai seorang penulis recehan nan remeh, memberikan posisi menguntungkan bagi yang mendengar untuk memanfaatkannya demi keuntungan mereka. Posisi yang tidak bagus dalam hal negosiasi (salah satu alasan mengapa jasa penulis sekarang terus turun dan sulit naik)
  • yang mengatakan sangat mungkin tidak jujur pada diri sendiri. Ia menerbitkan sebuah tulisan karena menurut penilaiannya sudah “bagus”, atau setidaknya layak untuk dibaca, tetapi ia mengatakan karyanya “jelek”, “recehan”, “tidak bagus”. Bukankah berarti ia tidak jujur dengan apa yang dikatakannya? Jika tulisannya jelek dan tidak bagus, mengapa diterbitkan?
  • setiap blogger ingin karyanya diapresiasi, tetapi mungkinkah terjadi kalau penulisnya, pembaca pertama tulisannya sendiri tidak bisa mengapresiasi karyanya sendiri?
  • merebut hak pembaca untuk menilai karena belum apa-apa sudah dipengaruhi bahwa karya yang Anda buat sekedar recehan dan jelek
  • pernah terpikir mengapa blog orang lain terlihat lebih bagus? Biasanya hal itu terjadi karena sejak awal kita menilai blog sendiri jelek, buruk, dan tidak bernilai. Penilaian sudah tidak berimbang bahkan sebelum Anda mengunjungi blog orang lain. Anda sudah kalah sebelum perang dimulai

Sulit membayangkan semua ini? Bisa bayangkan saja yang satu ini. Jika saya menjadi seorang sponsor dan mencari blog untuk menempatkan content placement, maka saya akan memanfaatkan kebiasaan merendahkan diri seperti ini.

Saya akan berkata,

Tulisan kamu jelek, jadi saya hanya berani memasang harga Rp. 50.000.- per artikel saja“. Meskipun saya memiliki penilaian “baik” saya akan memakai trik ini untuk menekan harga.

Kalau jawabannya, “Ah, itu kan sekedar basa basi dan usaha merendahkan diri meninggikan mutu”, maka jawaban saya, “Lah, kamu yang menilai dan mengatakan kalau tulisanmu receh dan jelek. Lalu, kenapa saya harus percaya dan menilai tulisanmu bagus. Mana buktinya kalau tulisan itu bagus dan pantas dihargai mahal. Penulisnya saja bilang tulisannya jelek. Lalu mengapa saya harus bilang bagus

Bagaimana Anda menjawab yang seperti ini?

Pastinya akan sulit. Respon apapun yang dikeluarkan berikutnya pasti saya pakai untuk lebih menekan. Semua itu karena Anda sudah menempatkan saya pada posisi “lebih” tinggi bahkan sebelum negosiasi dimulai dan saya akan memakainya untuk menekan demi keuntungan saya.

Mau begitu?

Trust me. Langkah awal terbaik kalau mau dihargai orang lain adalah dengan menghargai diri sendiri.

Dengan tidak merendahkan diri, maka posisi kita akan berada sejajar dengan siapapun. Kita akan bisa menilai dan memandang sesuatu tidak lebih tinggi atau rendah. Negosiasi atau pengambilan keputusan pun akan lebih berimbang.

Tidak berarti Anda harus terlalu percaya diri dan mengatakan karya Anda bagus luar biasa. Tidak merendahkan diri, bukan berarti harus meninggikan hati. Semua hasil karya tidak akan sempurna, pasti ada kekurangan. Namun, tidak berarti semua harus dikatakan.

Wajar kalau kita menilai banyak kekurangan dalam hasil karya kita, tetapi jangan pandang kekurangan itu sebagai sebuah “keburukan” yang merusak. Pandang saja sebagai “sesuatu yang harus diperbaiki”.

Ketika Kawan MM menerbitkan sebuah karya, blogpost atau apapun, tanamkan pada diri bahwa Kawan sudah melakukan yang terbaik. Kemudian, lupakan dan serahkan kepada pembaca/pemirsa untuk menilai. Itu hak mereka. Biarkan mereka menilai sesuai dengan kriteria dan standar mereka.

Jika penilaian mereka bagus, berbanggalah. Tidak masalah untuk bersenang hati. Kalau jelek, tidak masalah juga karena hal itu bisa dijadikan dasar untuk perbaikan di masa datang.

Jika Anda menilai hasil karya orang lain memang lebih bagus, ya katakan apa adanya. Namun, tidak berarti Anda harus memandang karya sendiri sebagai sesuatu yang buruk. Terima saja fakta, memang hasil karyanya “lebih bagus”. .

Namun, jangan pernah tidak mengapresiasi hasil karya sendiri dengan mengatakannya sebagai recehan, remeh, jelek, dan sejenisnya.

Hargai apapun yang sudah Anda lakukan karena Anda sudah melakukan yang terbaik. Sejelek apapun hasil karya Anda menurut diri sendiri, apresiasi dan hargai.

Berbanggalah terhadap karya sendiri, karena pada dasarnya hal itu berarti Anda menghargai diri sendiri. Landasan yang bagus agar orang lain mau menghormati Anda.

Bawel yah. Hal “kecil” saja diributin. Berulang-ulang lagi.

Harap dimaklum. Namanya blog MM yang mengelola “orang tua”, kebawelan terhadap hal-hal kecil merupakan bagian darinya.

Namun, sebagai orang yang sudah hidup lumayan lama, saya berpandangan ada satu masalah dalam diri banyak orang Indonesia. Mayoritas terlalu baik hati dan keinginan menyenangkan orang lain terlalu besar. Terlalu baik sehingga tidak segan merendahkan dirinya sendiri.

Sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Tanpa merendahkan diri sekalipun, kita bisa menyenangkan orang lain kok. Tanpa itu kita tetap bisa jadi orang yang baik hati kok.

Lalu, kenapa harus merendahkan diri?

Dan, di dunia blogger, mungkin sudah saatnya bagi semua blogger untuk memulai langkah awal ke arah sana. Ke arah mentalitas yang lebih netral. Caranya, STOP BASA BASI TIDAK PERLU. STOP MENGATAKAN TULISAN, TOPIK, atau KARYA ANDA SEBAGAI RECEH, REMEH, atau SEJENISNYA.

Hargai karya yang Anda buat sendiri!

Itu jika Kawan MM memang ingin saya menghargai karya Anda, kalau tidak, ya saya akan ikuti.

Jika Kawan MM memandang karya sendiri remeh dan receh, maka saya akan ikut melakukannya. Saya akan memandang rendah karya Anda, sesuai yang Anda mau. Kenapa saya harus memandangnya sebagai sesuatu yang bagus dan menghargainya, kalau yang menulisnya sendiri memandangnya sebagai recehan?

Mau begitu?

Itu pilihan Anda.

14 thoughts on “Mengapa Harus Mengapresiasi Karya Sendiri? Stop Bilang Receh!”

  1. Kalau kata anak Twitter zaman now, “If only I could like this tweet for a thousand times!”, sayangnya di blog nggak ada tombol like-nya ya, Pak, jadi saya manggut-manggut berbanyak-banyak kali sambil baca postingan ini.

    Kalau boleh numpang curhat, beberapa bulan lalu saya sempat magang di salah satu media, Pak. Sebagai anak bawang, saya udah antusias banget nih, mengira saya pada akhirnya bakal menulis sesuatu yang newsworthy begitu.

    Eh, ndilalah, atasan blak-blakan bilang kalau mayoritas visitor suka baca tulisan-tulisan ‘receh’ seperti gosip, ramalan kepribadian, dsb. Ini agak melenceng dari ‘receh’ yang mungkin dibahas di postingan ini, tapi apa mindset saya dan orang-orang di tim kami itu salah Pak menyebut bacaan-bacaan ringan itu sebagai sesuatu yang ‘receh’? 🙁

    Bukan apa-apa, sih, tapi terkadaan penamaan itu bikin saya agak gimaaana gitu. Tapi, karena orang-orang di sekitar ngomongnya begitu, saya pada akhirnya terbawa, deh, ikut-ikutan menganggap itu receh…

    Reply
    • Good point Eva. Kenyataannya memang banyak makna baru yang hadir menyesuaikan dengan perubahan jaman, seperti kata WAJIB yang maknanya digeser ke arah SARAN. Bukan keharusan.

      Jadi, sangat mungkin sekali terjadi pergeseran terhadap kata “RECEH” makna menjadi RINGAN. Masuk akal logikanya. Namun, kalau melihat makna kata dan beberapa referensi lain, maka kata ini memiliki arti dan batasan

      KBBI – Uang kecil (logam) atau uang dengan nomnal kecil. Recehan sendiri artinya kurang bernilai atau tidak memiliki nilai lebih.

      Menurut bahasa “Gaul” : Receh itu bisa diartikan, SEPELE, KURANG/TIDAK BERKUALITAS, TIDAK LUCU (GARING), RENDAH. Jadi, tidak bisa dimaknai sebagai RINGAN. Di sana ada unsur “penilaian” (merendahkan).

      Bacaan ringan tidak berarti receh. Bacaan ringan biasanya merujuk pada panjang tulisan, cara penulisan, pemakaian bahasa yang tidak serius, dan beberapa hal lainnya. Contohnya, seperti komik yang bisa masuk dalam kategori bacaan ringan, tetapi tidak dipandang sebagai bacaan RECEH.

      Jadi, agak berbeda antara RINGAN dan RECEH.

      Ringan juga tidak bisa disamakan dengan “REMEH” karena jelas maknanya berbeda.

      Itulah mengapa saya mengatakan ada unsur “merendahkan” yang secara tidak sadar dipakai dalam kehidupan keseharian.

      Ketika atasanmu berbicara sebenarnya ia memasukkan unsur “penilaian” yang merendahkan terhadap jenis topik yang disukai khalayak. Ia menilai bahwa topik-topik seperti itu sesuatu yang kurang memiliki “nilai” secara jurnalistik. Bukan memandangnya sebagai sebuah topik ringan.

      Reply
  2. alemong ini kayak pertanyaan Puteri Indonesia atau Miss Universe
    Bagaimana cara Anda menghargai karya anda jika Anda merasa banyak sekali kekurangan di dalam karya tesebut?
    Silakan dijawab dalam 30 detik wkwk

    Receh engga receh yang penting tulisan kita sendiri engga nyolong.
    Saya juga sempat memandang beberapa tulisan saya receh
    eh ternyata malah dilirik sama mbah google
    sejak saat itu saya engga membandingkan tulisan saya
    penting bisa nulis udah deh good aja

    Reply
    • Wise… Sering kalau kita membandingkan diri dengan orang lain, hal itu akan mempengaruhi diri kita sendiri. Mas Ikrom mah memang beda, bener wise dah…

      Bagi saya setiap penulis memiliki karakter sendiri sendiri yang berbeda. Masing masing akan memiliki sisi kekuatan dan kekurangannya. Karena bagaimanapun karya tulis adalah buatan manusia juga..yang tentunya punya kekuatan dan kekurangan sendiri sendiri… #sokbijak

      Reply
  3. Mau menyanggah, tapi kok isi tulisannya memang benar semua buat saya. Haha. Saya sendiri heran, kenapa ada seseorang di dalam diri saya yang entah kenapa selalu inferior jika merenung dan berpikir dunia kepenulisan ini sangatlah luas (tentu penulis yang lebih bagus ketimbang saya banyak banget). Setau saya memang udah budayanya, sih. Kalau di Amerika kan penulis yang menjadikan tulisannya sebagai mata pencaharian atau profesi itu dianggap profesional, bagus, keren, atau baru diakui. Sementara di Eropa, mereka antiprofesi. Mereka enggak mau mengakui orang yang menulis buat cari duit. Seakan-akan menulis buat berkarya aja. Menulis untuk keabadian gitu. Persetan dengan uang. Ya, kalau mereka dari awal udah tajir mah enak bisa bilang gitu. XD Nah, di Indonesia, entah orang itu menjadikannya profesi atau bukan, buat cari duit atau enggak, selalu ada rasa inferioritas yang tinggi.

    Saya pun benci dengan rasa sialan itu. Tapi, kira-kira setahun terakhir ini, sejak ditegur kawan baik saya yang kini malah berhenti menulis, dia adalah orang paling marah setiap kali saya bilang karya saya itu produk gagal. Jika saya menganggap cerpen atau puisi saya sampah (lantaran ditolak media), dia kasih tau saya sisi-sisi baiknya dari tulisan itu. Intinya, dia orang paling mengapresiasi karya saya, sementara saya seakan-akan membenci karya sendiri.

    Um, maksud saya kan bilang gagal itu karena pasti ada cacatnya, demi saya bisa memperbaikinya di karya berikutnya. Biar saya terus berkembang begitulah. Sayangnya, di mata pembaca tidak begitu. Sudut pandang mereka dalam menilai ini unik. Jadi, sekarang saya berusaha menghargai karya, sebisa mungkin enggak pengin menghujat lagi, lalu menyerahkan penilaian kepada pembaca aja. Saya yang penting sudah menulis sebaik-baiknya. Semoga enggak khilaf lagi. XD

    Terus, tanpa bermaksud sombong, saya kira memang banyak bloger-bloger inferor macam saya, tapi saya benci banget karena ternyata tulisan mereka memang keterlaluan jeleknya. Dari pola pikir aja udah berantakan. Enggak bisa menyampaikan gagasannya secara jernih gitu. Apalagi orang yang sempat dimaksud Mbak Eno. Jengkel juga saya sama orang itu. Dia ikut sayembara dan beberapa kali dapat nilai rendah, kok bisa-bisanya menyalahkan juri. Kocak asli. Wahaha.

    Reply
    • Semua orang akan punya “seseorang” lain itu mas. Saya pun demikian. Tidak berbeda dengan pengalaman Yoga, saya sendiri pernah membiarkan “orang itu” untuk tampil dan membuat saya menjadi inferior. Hanya pengalaman hidup saja yang kemudian memberikan pandangan lain bahwa sebenarnya hal itu tidak seharusnya dilakukan.

      Penulis yang lebih bagus di dunia daripada saya, jelas banyak sekali. Luar biasa banyaknya, tetapi apakah karena ada banyak yang lebih baik kemudian kita menjadi “buruk”? Tidak lah. Frase “lebih baik” berdasarkan pada kata “baik” dan bukan “buruk”. Mungkin kita hanya bisa sampai pada taraf “baik” dan mereka “lebih baik”.

      Kekurangan akan selalu ada Yog. Dalam tulisan terbaik sekalipun di sana akan terselip berbagai kekurangan. Tidak ada yang sempurna. Tetapi, tidak berarti tulisan itu akan menjadi buruk dengan segala kekurangannya. Sebuah tulisan pada dasarnya akan sama dengan manusia, sempurna dengan segala kekurangannya.

      Saya akan berdiri di belakang kawan baikmu itu. Setiap karya tulis bagi saya akan memiliki keunikan masing-masing karena mencerminkan manusia penulisnya. Oleh karena itu saya tidak suka untuk membandingkan karya tulis satu dengan yang lain karena seperti membandingkan rambutan dengan duren. Tidak ada gunanya.

      Saya lebih suka mencoba memandang tulisan sebagai individu. Bukan terus menerus dibandingkan dengan yang lain (kecuali dalam lomba yang memiliki kriteria dan batasan tertentu, barulah bisa diperbandingkan, kalau tidak, karya tulis adalah “individu” yang dianggap berdiri sendiri)

      Nah, biarkan saja pembaca menilai. Tidak perlu ikut campur atau mempengaruhi mereka dengan pandangan kita. Tugas Yoga hanya menulis dan setelah itu, lepaskan saja.

      Betul sekali kalau kita perlu terus berkembang dan memperbaiki diri, termasuk karya kita. Setuju sekali. Tetapi, apakah perbaikan hanya bisa dilakukan dari sebuah keburukan? Bukankah perbaikan dan perkembangan bisa didasarkan pada sesuatu yang tidak baik.

      Nah, bener itu.. Tugas kita menulis sebaik baiknya. Selebihnya biarkan pembaca yang menilai.

      Hahahahahaha…..Kasus Mbak Eno.. Yah, Yog… Dunia kan penuh manusia dengan bermacam ragamnya. Terkadang, pengetahuan kita terbatas dan membuat kita berpikiran hal seperti itu tidak mungkin ada atau terjadi. Namun, bukankah hidup harus bersiap menghadapi unpredictable karena potensi orang-orang seperti itu akan selalu ada.. Hahahahahahahaha Saya mengerti betapa menyebalkannya dalam kasus itu, tetapi saya cuma bisa berkata, “Welcome to the jungle” dan tulisan sebelum ini menjelaskan tindakan apa yang saya lakukan dalam kasus sejenis.. wkwkwkw

      Reply
  4. mau melipir bacanya, soalnya saya sering tulis gini nih, tulisan receh, meski sebenarnya sih tulisan kek gitu, cuman ingin membahagiakan orang lain aja, waakakakak.

    I mean kalau nemu tulisan yang membahas tentang tulisan bermutu, berfaedah, ber ini ber itu lainnya, malas banget kan saya berdebat, jadi amannya saya bilang kalau tulisan saya receh, karena memang nggak mengangkat sebuah tulisan ilmu atau gimana sih, mostly tulisan saya curhat, meski saya yakin, banyak pembaca lebih suka baca curhat ketimbang ilmu pengetahuan, karena kita tahu banget kan, orang zaman sekarang itu nggak suka baca, jadi mereka hanya akan membaca sesuatu yang benar-benar menarik, dan kisah hidup orang lain, apalagi yang susah-susah itu menarik wakakakakakkakaka.

    etdah saya nulis apa ya ini, kabor aja deh wkwkwkwkwkwk

    Reply
    • Hadeuuh… rupanya bener yah kebanyakan membaca juga tidak baik. Buktinya ini satu orang terinfeksi virus indoktrinasi soal tulisan yang “bermutu” harus begini dan begitu. Padahal, seringkali yang nulis juga tidak memakai teori itu..

      Hadeuuh Rey Rey.. Terus supaya orang senang, sampe tega menjelekkan tulisan sendiri..

      Sini saya #kemplang..

      Nggak Rey.. Itu bukan sikap yang bagus. Seberapapun bagusnya penilaian kita terhadap tulisan orang lain, tidak berarti kita harus menjelekkan tulisan diri sendiri. Tidak ada kamusnya. Tidak juga untuk merendahkan diri kita memburukkan hasil karya sendiri.

      Menurut saya, itu cara yang terburuk dalam bertindak.

      Stop bilang receh ya Rey…

      Reply
  5. Aduh, aku kesindir banget.. hahaha.
    Tadinya, aku merendah itu biar kalo beneran jelek ya ga masalah, kalo bagus ga terlihat sombong congkak. Tapi iya sih, mending ga usah ngomong apa-apa yak.

    Ga usah kayak “ah butut keneh tulisan abi mah, masih keneh diajar, maklum”, biarkan pembaca yang menilai.

    Bener jg kata teh phebie, emang tujuannya sih merendah untuk meroket, hahahahaha..

    Oke, noted, pak Anton!
    Terima kasih, next time aku ga akan begitu lagi, harus lebih pede dengan karya sendiri 😀

    Reply
    • Dah terbaca gaya begitu sih mas… Bermain aman. Kalau dibilang jelek, kita bisa bilang, memang tulisan saya jelek dan baru belajar. Kalau dibilang bagus, berarti kita orang yang rendah hati..

      Hahahahahahaha…. Iya kan trik bermain aman.

      Cuma kan ada satu yang dikorbankan, bahwa kita menjelekkan karya sendiri. Bahkan sebelum orang lain dinilai.

      Dulu, mungkin saya begitu, tetapi nggak sekarang mah.. Mau dibilang jelek, ya sono, dibilang bagus syukur. Saya ga mau doa jelek keluar dari mulut.

      Hayo semangat Ady…

      Reply
  6. Tidak tahu sejak kapan, saya lebih suka kata-kata positif daripada merendah. Jadi kalo ada yang bilang punya saya bagus, saya ngga akan mengingkarinya dan mengaku jelek. Biasanya saya akan menjawab bahwa punyamu juga bagus. Pun dalam kehidupan nyata ketika bercakap-cakap dengan orang lain.

    Mungkin karena bagi saya perkataan adalah doa. Jadi saya tidak mau menolak perkataan baik. Kalo pun sebenarnya masih jelek, saya berharap akan berubah menjadi lebih baik.

    Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply