Lulusan Sastra Tidak Berarti Bisa Nyastra dan Menjadi Pujangga

“Lulusan sastra? Berarti sastrawan dong. Bisa bikin puisi atau cerpen dong. Pantes bisa menulis dengan baik”

Yah, itu adalah salah satu dari sekian banyak komentar yang pernah saya terima ketika teman atau tetangga mengetahui kalau saya adalah lulusan dari program studi Sastra Jepang, Universitas Indonesia. Sudah lama sekali ijasah dari universitas itu saya terima, yaitu tahun 1995, hanya, tetap saja sesekali komentar seperti itu saya dapatkan kalau kebetulan sedang ngobrol dengan tetangga atau teman.

Mungkin karena kata “sastra” itulah yang menyebabkan banyak anggota masyarakat yang berpikiran kalau seorang lulusan sastra sama artinya dengan menjadi sastrawan atau pujangga.

Faktanya?

Disuruh bersumpah pun saya mau karena memang begitu adanya. Saya sama sekali jauh sekali dari seorang sastrawan. Boro-boro menulis puisi, membacanya saja sudah bisa membuat otak di kepala ngebul seperti knalpot bocor karena kepanasan.

Dulu saja, saat pelajaran menelaah haiku (puisi Jepang) dan juga prosa, saya merasa seperti terperangkap di piring terbang UFO dengan dosennya sebagai alien. Apa yang disampaikannya seperti sesuatu yang tidak bisa dicerna oleh otak makhluk bumi di kepala.

Situasinya berbeda saat berada di kelas linguistik, tata bahasa, sejarah, atau budaya. Saya seperti kembali ke bumi dan otak di kepala kembali normal.

Ketidakmampuan juga terlihat pada saat jatuh cinta. Umumnya, orang yang sedang jatuh cinta bisa menjadi sastrawan dadakan. Kata-kata romantis bisa meluncur dengan leluasa dari mulut tergerak oleh hati yang mencinta (#hoekss).

Saat meminta si Yayang menjadi pacar dulu, saya hanya mengatakan sesuatu yang sederhana saja, “Saya suka kamu. Mau nggak kamu jadi pacar saya?”. Kesemuanya diucapkan dengan nada datar, meski hati deg-degan. Tidak ada rayuan manis nan membujuk. Yang ada hanya fakta dan data saja.

Ketika mengajak si Yayang menikah pun sama. Pertanyaannya tidak dilakukan sambil berjongkok ala pangeran ke putri pujaan, saya hanya mengatakan, “Nikah yuk”

Hal itu sekarang pun masih bisa terlihat di semua blog yang saya kelola. Nada tulisannya sebenarnya sama saja. Sederhana, tanpa banyak basa-basi, pemakaian diksi yang biasa saja. Bukan hasil karya seorang sastrawan atau pujangga.

Padahal saya lulusan jurusan sastra yang disalahkaprahi banyak orang sebagai produsen sastrawan. Bukti bahwa lulusan jurusan ini tidak berarti bisa nyastra dan kemudian menjadi sastrawan, meski ada segelintir yang ternyata mahir melakukannya, termasuk salah satu dosen saya dulu, Sapardi Djoko Damono.

Terlepas dari karakter saya, hasil cetakan dari kedua orangtua dulu, pendidikan di jurusan sastra sendiri berbeda dari yang dibayangkan masyarakat umum, sebenarnya tidak ditujukan untuk mencetak pujangga.

Jauh dari itu.

Jurusan sastra di banyak universitas, termasuk UI, lebih mengarah pada menghasilkan seorang ahli bahasa, budayawan , sejarawan, interpreter, guru, bukan sastrawan. Hal ini terlihat dari berbagai mata kuliahnya dimana telaah sastra (puisi dan prosa) hanya diberi masing-masing 4 SKS saja. Itupun berupa telaah saja dan bukan pelajaran membuat puisi atau prosa.

Di masa saya masih kuliah, sahasiswa jurusan sastra di UI pada akhirnya harus memilih spesialisasi pada tingkat 3. Pilihan yang ada adalah

  • Linguistik
  • Sejarah
  • Budaya
  • Sastra

Spesialisasi terakhir itu berbeda dari yang dibayangkan banyak orang. Mereka yang memilih yang satu ini bukan belajar membuat puisi (walau mungkin diajarkan), tetapi mereka dikuliahi untuk mampu menelaah berbagai karya sastra dalam bahasa Jepang.

Tidak satupun sebenarnya yang mengajarkan agar mahasiswanya menjadi pujangga. Jauh dari itu.

Saya sendiri memilih spesialisasi sejarah karena sejak dulu memang berminat dengan hal yang satu ini. Meskipun sebenarnya, saya juga memiliki ketertarikan dalam pembahasan budaya.

Produk akhir lulusan jurusan sastra pun terlihat dari berbagai profesi yang ditekuni kawan-kawan kuliah dulu. Ada yang menjadi dosen, interpreter, guru, atau ibu rumah tangga. Tidak ada satupun yang terkenal menjadi sastrawan dan sejauh ini cuma satu saja yang menjadi blogger, yaitu saya.

Jadi, kalau ada kawan MM yang berpikiran bahwa seorang lulusan sastra = sastrawan, pujangg, ada baiknya pikiran itu segera dibuang. Tidak mencerminkan realita sama sekali.

Saya sendiri jangankan puisi, membuat pantun sederhana saja sering membuat saya gelagapan. Saya lebih memilih mengerjakan soal matematika daripada harus membuat kata berima. Pusing.

Yang terakhir, dan sebaiknya jangan dilakukan adalah membayangkan lulusan jurusan sastra akan berambut gondrong, berpakaian seenaknya, gemar minum kopi dan ngobrol ngalor ngidul tentang sesuatu yang absurd, seperti gambaran umum pujangga di novel-novel.

Lulusan sastra UI, kecuali saya, itu keren-keren loh. Mereka adalah kaum kerah putih yang sangat memperhatikan penampilan, sejak dulu sampai sekarang (ngintip foto rekan-rekan lama di FB). Tidak ada yang berpakaian gembel dan profesi mereka juga bukan pembuat puisi.

Untungnya, belakangan rupanya salah kaprah ini disadari juga oleh pengelola UI tentang nama Fakultas Sastra tidak merepresentasikan apa yang diajarkan di dalamnya. Fakultas ini sekarang bernama Fakultas Ilmu Budaya dan tepat sekali menjelaskan kepada publik tentang bagaimana mahasiswa di sana akan dikuliahi, yaitu dengan berbagai ilmu budaya.

Meskipun, saya tidak akan heran kalau nanti lulusannya dianggap sebagai jago nari, jago bernyanyi, bisa melukis. Banyak orang masih terlalu malas membaca dan mengindentikkan kata budaya sama dengan seni.

Yah, mau bagaimana lagi.

16 thoughts on “Lulusan Sastra Tidak Berarti Bisa Nyastra dan Menjadi Pujangga”

  1. Kebetulan saya termasuk orang yg berfikir lulusan sastra itu pintar bikin puisi, identik dgn suka membuat novel2 cinta, romantis dan juga pandai berpribahasa/berpujangga.

    Dari segi penampilan, saya membayangkan anak sastra itu, kurus, pakai kaca mata, kutu buku atau kesemua itu jika digabungkan orang2 menyebutnya sebagai culun 🤣🙏

    Lebih jauh saya juga berfikir khusus lulusan sastra jepang itu jago bahasa jepang dan jago main samurai dan jago bikin anime/kartun/komik, betul atau salah ini pak? Haha

    Soal Fakultas Sastra sekarang bernama jadi Fakultas ilmu budaya ya pak? Saya kurang paham ini, apakah ini dapat disebut sebagai budaya merupakan bagian dari sastra?

    “Budaya” sepertinya merupakan kata umum bukan khusus, jika disebut seni budaya otomatis tentang menari, melukis.

    Reply
    • Nah ini penyebar virus salah kaprah wakakakaka.. Ga kok suhu Ajay, kebanyakan malah ga bisa.

      Gusrak… yang jelas mah, saya hobi nonton anime Jepang….. Salah lulusan sastra jepang itu, ya manusia biasa saja kok.. hahaha.. Mereka mayoritas tertarik dengan kehidupan dan budaya Jepang, tetapi tidak bisa bikin anime, kartun atau komik… Entah kalau jago maen samurai mah.. ga pernah lihat

      Terbalik suhu.. Sastra dan Kesusastraan itu bagian dari budaya dan kebudayaan. Segala sesuatu hasil pikiran manusia, termasuk karya tulis, sastra, dan sebagainya adalah bentuk kebudayaan. Pelajaran yang didapat di Fakultas Sastra cenderung lebih mengarah ke Ilmu Budaya yang lebih luas dibandingkan dengan sekedar Sastra

      Seni budaya sendiri bukan hanya menari dan melukis, tetapi segala sesuatu yang berusaha menampilkan nilai estetis, termasuk menyanyi dan banyak lagi lainnya. Fotografi sendiri bisa masuk ke ranah seni budaya di masa sekarang karena perannya untuk “melukis dengan cahaya”

      Reply
    • Thank you, sudah menjawab semuanya 😅

      Jadi yang mengurus semua itu Kemendikbud kah pak? 🤣

      Kemendikbud sekarang sepertinya ada tambahan lagi diujungnya, kalo ga salah kemendikbudtek, banyak juga tugasnya ya, ngurusi pendidikan, budaya, dan tek itu sepertinya teknologi.

      3 yang diurusnya, kuat juga ya pak menteri ngurusin semua itu. 😅

      Reply
      • Ga mikirin.. hahaha.. mau siapa yang ngurus. Ngurus diri sendiri saja sudah puyeng.. wkwkwk…

        Masalahnya memang pendidikan dan kebudayaan, termausk teknologi pada dasarnya memang saling berkaitan era. Jadi, tidak salah juga kalau semua digabung jadi satu.

        Ya dia punya anak buah banyak ini, nggak perlu dibantu saya lah.. hahahaha

  2. Kiraain jurusan sastra bisa pandai berpuitis nyatanya belum tentu. Saya lulusan manajemen , namun baru – baru ini suka bikin puisi khususnya di tahun lalu tahun 2019 kemarin.

    Reply
  3. Pak Anton lulusan Sastra Jepang UI kuliah Tahun 1995?? Wahh kerenn beuudd 😍😍.. Tahun segitu kayanya saya masih direncanakan mau dibuat atau nggak.. ehh akhirnya dibuat juga… wkwk

    Kalau saya nggak pernah punya pikiran kaya gitu si Pak. Cuma lebih ke “Anak Sastra pasti kosakatanya banyak jadi lebih gampang bkin puisi, bikin novel, dll.. haha” *atuh sama aja yak cuma beda bahasa.. 🤣

    Jujur, dulu pernah daftar kuliah di Sastra Inggris.. tapi nggk diterima.. 2 kali ikut gagal semua.. akhirnya malah melipir ke teknik kimia di ujian mandiri.. pas kuliah ehhh pelajarannya ternyata susah.. wkwk.

    Skrang di kampus kalau saya ngeliat anak Sastra lewat pada anggun2 gitu pak.. High Class.. jalannya beuhhh mantap.. senyumnya apalagi. Wkwk.. tersepona saya kalau ngeliat anak sastra pas lagi lewat depan Fakultas Teknik… sepintas bikin saya langsung ngelihat belakang ke teman2 saya sambil mikir “Kita kok kenapa burik amat” 🤣🤣

    Reply
    • Keweeen apanya Bay.. hahaha itu juga kebetulan kan pernah saya ceritakan jalan ceritanya di blog satu lagi.. hahahahah

      Yah karena kebanyakan cewek Bay jadi keliatan anggun. Sebenarnya mah sama aj, yang bening mah bening, yang burik mah burik juga.. wkwkwkwkwk

      O ya dikau tertarik masuk sastra Inggris.. ? Ga papa lah yang penting kan sudah terbukti bahwa teknik kimia itu membukakan jalan wat Bayu

      Reply
  4. Sebagai orang yang belajar Bahasa Indonesia hanya sampai kelas 3 SMA, tentulah kata sastra mengingatkan saya pada puisi dan prosa. Pun kebanyakan orang lain mungkin demikian, jadi maklumlah bila salah paham.

    Tapi saya pribadi, meskipun seseorang memang benar-benar belajar sastra murni di masa kuliahnya, tidak ingin ngejudge dia memang ahli sekali bikin sastra. Karena beberapa orang bahkan sudah tidak ingat lagi materi kuliah dan nyemplung di dunia kerja yang jauh berbeda. Saya termasuk di antaranya. So, kalo ada yang ngasih pertanyaan terkait materi kuliah dulu, jawaban biasaya tergantung mood saya. Kadang cuma disenyumin atau jawab dg saya sudah lupa 😅

    Reply
    • Wakakakakakak… kenapa susah Pheb..? Bisa jadi kan sisi melankolos saya dominan.. hahahah

      Iyah, itu salah satu bagian pelajaran kuliah yang didapat menelaah karya sastra juga. Cuma saya mentok dah kalau sudah analisa puisi dan prosa.. ampyuunnn

      Reply
  5. Dulu aku malah mengira jurusan sastra itu belajar ttg bahasa asing dan bakal banyaaak membaca :D. . Makanya dulu papa marah pas tau aku memilih sastra Inggris. Sampe dibilang, ‘kalo mau belajar BHS Inggris papa kirim sekalian kamu ke Amerika biar belajar langsung di sana sampe lancar’

    Maklum dulu papaku lumayan diktator sama anak. Untung aja aku msh diizinin ambil akuntansi setelah ditolak pilih sastra.

    Jadi sebenernya beda dari yg dibayangin yaaa seperti apa jurusan sastra itu :D. Eh btw, mas Anton masih bisa ngerti tentang bahasa Jepang ? Belajar juga ttg hurufnya Kan ya mas?

    Reply
    • Belajar bahasanya juga Fan dan banyak baca iya bener. Hanya lingkupnya tidak tok hanya pada sisi bahasa saja, tetapi menyeluruh ke berbagai aspek kebudayaan dan tidak hanya bagian bahasa.

      Hahahaha papamu gualak yee… seremm.. hahaha..

      Yang sederhana-sederhana sih masih ngerti, huruf hiragana dan katakana masih hapal dong.. Kanji itu yang ruwet karena jumlahnya banyak sekali dan sudah banyak yang tidak ingat. Karena sudah lama sekali tidak dipakai, ya tetap saja pengetahuan menguap Fan, meski masih ada yang tersisa.. hahahah

      Reply
  6. Wah ternyata kita satu almamater dan satu fakultas Pak. Salam kenal saya Dila dari Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Korea.

    Tulisan ini mewakili sekali. Saya pribadi juga tidak suka mata kuliah yang menelaah puisi. Jangankan puisi Korea, puisi Indonesia aja sudah bikin pusing. Pernah waktu itu disuruh menelaah puisi Indonesia yang panjang banget, berlembar-lembar dan benar-benar bikin sakit kepala. Yang tambah bikin kesal, bagaimanapun telaah dari kita, belum tentu sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh si penulis puisi.

    Sebenarnya sebagai anak IPA yang kecebur di dunia “sastra”, saya lebih suka sesuatu yang logis dan hasilnya jelas seperti 1+1=2.

    Tapi hebat yah, Pak Anton walaupun sudah lama lulus tapi masih ingat mata kuliah dulu. Btw kok saya merasa di tahun saya tidak ada keharusan memilih spesialisasi pada tingkat 3.

    Jadi kangen kampus.

    Reply
    • Holaaa… iyah ga nyangka juga ketemu yang satu almamater.

      Hahaha.. saya percaya karena teman saya juga banyak yang malah puyeng kalau disuruh nelaah puisi.. Puyeng katanya. Bener banget biar sudah capek meras otak, ternyata hasilnya tetap beda dengan yang dimau si penulis.. hahahahaha

      Lah anak IPA juga toh.. sama dong.. wkwkwk bisa kebayang dah rasanya.

      Kebetulan ajah inget dikit masa-masa itu. Kalau lihat dikau ambil prodi Korea mah berarti memang sudah berubah metode dan sistemnya. Di jaman saya, belum ada tuh Korea.. hahaha baru ada Jepang dan Cina. Tidak heran kalau sistemnya berubah dan tidak ada spesialisasi. Kalau di masa saya, memang kami akan dispesialisasikan begitu dengan tim dosen pembimbing yang berbeda beda..

      Ga ah ga kangen saya mah.. hahahahaha… boong deh, kadang kalau di kereta, tetap saja mata saya memandang kampus tempat dulu saya belajar.. hahah memang ada rasa kangen… Nggak nyalahin..

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply