Ketika Rak Toko Buku Kosong, Haruskah Kita Yang Disalahkan?

Selamat Malam Kawan MM!

Sore ini, via Facebook, saya mengetahui bahwa salah satu toko buku yang dulu pernah dekat dengan kehidupan saya memutuskan untuk tutup. Outlet Gramedia di kawasan Jalan Pajajaran, Kota Bogor dikabarkan tutup sampai batas waktu yang belum ditentukan.

gramedia pajajaran bogor tutup

Info ini membawa pikiran saya kembali ke salah satu posting lain di media sosial besutan Mark Zuckerberg itu.

Isinya tidak berbeda, yaitu kabar bahwa semakin banyak rak di toko buku yang kosong melompong. Bedanya adalah pada posting yang satu ini, diindikasikan juga bahwa penyebab tutupnya toko buku – toko buku ini salah satunya adalah karena “peran” dari masyarakat yang malas membaca dan membeli buku.

toko buku tutup 1

Sebuah pernyataan yang cukup menyentil juga kalau penyebab bangkrutnya toko buku adalah akibat “kesalahan” masyarakat.

Pemikiran yang menurut saya mau menang sendiri dari kalangan pecinta buku atau ada yang menyebut dirinya, penggiat literasi.

Kenapa sebuah kegagalan berbisnis dilimpahkan kepada para pembeli yang mau membeli? Jangan salah, toko buku, seperti Gramedia adalah unit bisnis yang berniat mengeruk keuntungan dari masyarakat. Bukan sebuah usaha non profit yang sukarela hendak menggiatkan tradisi literasi dalam masyarakat.

Toko buku bukanlah sebuah perpustakaan yang bisa dinikmati umum. Mereka menjual komoditi berupa buku. Bukan sebuah usaha amal.

Lalu, mengapa kesalahan harus dibebankan kepada masyarakat yang tidak mau membeli?

Tutupnya semakin banyak toko buku belakangan ini, penyebabnya memang bukan hanya satu, tetapi ada banyak sekali faktor, seperti

  • pandemi Covid-19 : bukan hanya toko buku, tetapi banyak institusi bisnis yang harus kolaps dan jungkir balik karena terhantam badai Covid-19
  • perubahan gaya hidup masyarakat : tersedianya e-book dan transaksi secara daring sudah merubah kebiasaan orang dalam membeli sesuatu, termasuk dalam berbelanja langsung ke toko
  • tersedianya jutaan pilihan lain dalam mencari informasi dan pengetahuan : buku cetakan tidak lagi merupakan satu-satunya cara orang mendapatkan ilmu

Tutupnya toko-toko buku itu adalah karena mereka gagal menemukan solusi bagi bisnisnya.

Pizza Hut, salah satu gerai resto ternama di Indonesia, melakukan sebuah langkah drastis untuk menjaga kelangsungan usahanya. Mereka menyuruh karyawan menjadi pedagang asongan di perempatan lampu merah mendagangkan Pizza dalam ukuran yang lebih kecil dengan harga lebih terjangkau.

Mereka melakukan usaha untuk mempertahankan bisnisnya.

Bagaimana dengan toko buku? Apakah mereka sudah melakukan sesuatu untuk mengurangi imbas pandemi terhadap bisnisnya? Pizza Hut merubah sistem dari menunggu menjadi jemput bola, sudahkah para pengelola toko buku melakukannya? Ataukah mereka tetap menjalankan bisnis seperti biasa, menunggu pembeli datang?

Yang paling fatal adalah perubahan besar dalam hal mendapatkan pengetahuan dan informasi banyak orang.

Perubahan dalam skala besar terjadi di setiap aspek kehidupan masyarakan dalam hal ini. Prinsip “Buku adalah gudang ilmu” sudah mulai tersaingi oleh “Internet adalah gudang ilmu”. Di dunia maya ini banyak orang mau membagikan pengetahuan dan ilmu, bahkan secara cuma-cuma.

Harganya jelas lebih murah daripada harus membeli sebuah buku. Tidak merepotkan karena tidak perlu harus pergi ke tokonya. Cepat karena kapan saja dan dimana saja ilmu itu bisa diakses.

Salah kah kalau kemudian seseorang memutuskan “tidak membeli buku cetakan” di toko buku?

Apalagi, buku bacaan (cetak) bukanlah sebuah kebutuhan primer. Tidak membelinya pun manusia tidak akan mati. Tidak membeli dan membaca buku cetakan pun, tidak berarti seseorang akan menjadi bodoh karena sumber pengetahuan lain tersedia dalam jumlah banyak.

Yang terpenting, salah kah ketika masyarakat tidak membeli buku, demi menghemat uang untuk mempertahankan keluarganya? Setahu saya banyak sekali anggota masyarakat yang sedang dalam keadaan sulit akibat sumber penghasilan yang menghilang tiba-tiba akibat pandemi. Lalu salah kah mereka ketika mencoba untuk bertahan dengan tidak membeli buku?

Salah kah para penggiat lingkungan yang terus mendukung upaya mengubah kebiasaan membaca buku cetakan menjadi buku digital?

Buku cetakan merupakan salah satu penyebab perubahan iklim karena untuk membuat buku, banyak pohon harus ditebang. Belum lagi proses manufaktur kertas, yang merupakan bahan buku, menyebabkan kerusakan lingkungan karena limbah dan polusinya.

Hanya orang egois dan bodoh yang mengatakan apa yang mereka lakukan sebagai sebuah kesalahan?

Perubahan Budaya Membaca

Berapa buku (cetakan) yang sudah Anda baca? Begitulah pernyataan dalam posting di atas. Tidak tersurat, tetapi tersirat bahwa semakin banyak jumlah buku yang dibaca, semakin hebat orang itu.

Di zaman dulu, ketika internet belum ada, ungkapan itu memang ada benarnya karena buku merupakan sumber pengetahuan yang belum ada saingannya. Tanpa membaca buku, maka transfer ilmu pengetahuan dari orang ke orang akan terhenti.

Indikator kemajuan peradaban pun banyak diukur dari jumlah buku cetakan yang dibaca per-orang dan per-tahun. Karena semakin banyak buku cetakan yang dibaca, semakin luas dan menyebar pengetahuannya.

Namun, tidak di masa kini.

Buku bukan lagi satu-satunya cara mentransfer ilmu pengetahuan. Internet menghadirkan blog, website, dan e-book. Pengetahuan bisa dipindahkan dengan cara yang lebih banyak lagi, selain membeli dan membaca buku.

Wajar saja kalau kemudian kebiasaan membaca berubah.

Ketika akun media sosial bisa dimanfaatkan menjadi ruang untuk berbagi pengetahuan, peran buku cetakan semakin mengecil.

Ketika saya merubah akun Facebook menjadi semacam blog untuk berbagi pengetahuan tentang fotografi, saya mendobrak sebuah tradisi membaca. Pembaca status FB saya tidak perlu harus menunggu seorang fotografer atau penulis buku membuatkan, tetapi mereka bisa membaca langsung di akun tersebut.

Lalu, masihkah perlu membeli buku cetakan tentang fotografi, ketika mereka tahu akan ada orang yang mau berbagi tentang itu lewat akun medsos mereka?

Pola budaya membaca masyarakat dunia sedang bergeser. Pergeseran dari budaya membaca buku cetakan mulai ditinggalkan karena tidak lagi menguntungkan dalam hal biaya, waktu, dan ketersediaan.

Konsep berbagi membawa perubahan luar biasa besar dalam kehidupan, terutama dalam urusan membaca. Buku cetakan perlahan tetapi pasti akan semakin tergeser di masa datang. Memang saat ini masih belum tuntas peralihannya, tetapi 20-30 tahun lagi, ketika generasi lama hilang, budaya membaca akan berubah lebih jauh lagi.

Pada saatnya nanti, buku cetakan akan dipandang sebagai sesuatu yang usang dan tidak lagi sesuai dengan kehidupan manusia di suatu masa. Buku cetakan tidak akan lagi sesuai dengan pola pandang dan gaya hidup masyarakat di masa datang karena tidak ramah lingkungan.

Sebuah perubahan yang pasti akan terjadi dan sulit terelakkan. Sebuah pergeseran yang tidak bisa ditolak dan akan memaksa untuk diterima pada akhirnya.

Oleh karena itu, saya meninggalkan balasan komentar pada posting di FB itu, “Mungkinkah daripada bertanya sudah berapa buku cetak yang kita baca, kita seharusnya bertanya, apakah buku cetak memang sudah mendekati akhir masanya?”

Sebuah kewajaran kalau sesuatu yang sudah usang dan tidak sesuai akan digantikan oleh yang dipandang lebih baik. Itu pola yang juga terjadi ketika penggunaan kertas menggeser batu, kulit kayu, kulit binatang untuk menorehkan huruf dan tulisan di masa lalu.

Mungkin memang sudah saatnya, menorehkan huruf di atas kertas diganti dengan menorehkan huruf di layar komputer, seperti yang blogger lakukan.

♦

Kawan MM pecinta buku (cetakan) dan gemar membacanya? No problem. Kesukaan orang macam-macam dan tidak akan mungkin dipaksakan. Tidak bedanya mengapa Anda memilih si Dia sebagai pasangan, tidak perlu penjelasan panjang lebar.

Saya bisa memahami bahwa sulit meninggalkan “bau” khas kertas pada buku dan beralih pada e-book yang tidak memiliki bau khas.

Tidak masalah kalau tidak mau berpindah hati.

Hanya saja, sebaiknya

  • tidak menyalahkan orang lain yang tidak memiliki kebiasaan dan hobi seperti Anda. Anda bisa memilih kesukaan, berarti orang lain pun boleh memilih apa yang disukanya sendiri
  • jangan pernah berpikir bahwa Anda lebih pintar dan berpengetahuan daripada orang lain yang jarang membaca buku cetakan karena sudah banyak sekali sumber pengetahuan lain yang tersedia
  • jangan pernah menyalahkan tutupnya toko buku kepada masyarakat yang tidak mau membeli buku, salahkan pengelola toko buku yang tidak kreatif menelurkan produk dan menemukan cara menarik perhatian orang
  • Jangan pernah berpikir bahwa buku cetakan yang terbuat dari kertas akan abadi, teknologi berkembang mengikuti perkembangan kehidupan manusia dan teknologi yang sudah dipandang usang dan tidak sesuai akan terpinggirkan.

Bukan membaca buku cetakannya yang salah, tetapi berprasangka dan merendahkan orang lain karena tidak melakukan yang kita lakukan yang menjadi masalah.

Nikmati buku cetakmu karena kamu menikmatinya. Bukan untuk mendapatkan pembenaran dari orang lain.

(Bogor, 9 Maret 2021, sambil menikmati suasana baru di dunia Facebook)

16 thoughts on “Ketika Rak Toko Buku Kosong, Haruskah Kita Yang Disalahkan?”

  1. Bagus dong rak-nya kosong, laris berarti πŸ˜›πŸ˜›

    Sulit mmg dijaman skrg ini buat buku untuk laku, terlebih dengar2 ada buku bajakan yg bikin rugi, ditambah lagi minat baca yg kurang, entah di tahun berapa survey mengatakan 99% masyarakat Indonesia tidak suka membaca.

    Tapi ya semoga ada solusinya, entah pindah ke digital atau gimana, hihi..

    Reply
    • Yah, minat baca buku cetakan Indonesia memang rendah dibandingkan negara lain. Bukan berarti mereka tidak membaca, tetapi belakangan kayaknya masyarakat lebih suka membaca yang ringan-ringan di medsos.. hahaha.. Tapi mereka membaca loh dan mendapat informasi. Makanya Indonesia juaraakk dah kalau urusan medsos.

      Sayangnya kan medsos dipandang bukan untuk kaum inetelektualis dan ga bikin pinter. Jadi ga pernah diukur. Ukuran kepinteran diukur dari berapa banyak buku cetak yang dibaca. Bukan medsos atau buku digital. Indikator yang sebenarnya sudah usang juga dan harus diperbaiki.

      Bakalan si Suhu.. bakalan pindah ke digital. Cuma berapa lama masa transisinya, itu yang sulit diprediksi.

      Reply
  2. Menarik banget ini pembahasannya, dan saya setuju dengan pendapat Mas Anton soal peralihan ke digital. Karena teknologi terus berkembang, mau nggak mau, suka nggak suka, sepertinya kita harus mengikuti perkembangan. Walau saya masih menikmati buku cetak, tapi nggak nolak juga untuk baca digital. Nggak terbiasa pun harus membiasakan diri hahaha

    Reply
    • Hollaaa.. Bagaimana kabarnya Krystal? Boleh nyubit kah? hahaha gemessss…

      Iya Jane, memang akan ada perubahan-perubahan besar di masa datang dalam dunia perbukuan. Dan, sebenarnya bukan hanya menggoyahkan para pebisnis di bidang itu, juga mengubah sebuah tradisi dan budaya membaca yang selama ini bergantung pada “buku” dalam berbagai jenis, ke dunia literasi yang juga menggunakan media lain, selain bentuk buku.

      Para pecinta buku prediksi saya akan menghadapi pertanyaan, apakah akan beralih ke buku digital atau ke berbagai bentuk literatur lainnya. Masihkan kecintaan pada buku bisa dipertahankan, ataukah harus kembali ke inti dasarnya, yaitu “membaca” dan mencari informasi/ilmu/pengetahuan, dan tidak lagi bergantung pada buku sebagai sumbernya.

      Tentu, hal ini akan membutuhkan waktu lama, tetapi perkembangan teknologi sepertinya memang akan memastikan sebuah perubahan besar di masa datang..

      Salam wat Krystal yahhh…dan Josh serta Andreas juga

      Reply
      • Halo opa! XD jangan cubit dong, diliatin aja wkwkwk

        Nah iya bener. Intinya ya membaca, medianya apa, caranya gimana, kembali lagi pada masing-masing individu. Baru aja kemarin ini waktu papa saya masih di rumah kami ngobrol-ngobrol soal ebook. Kemudian saya bilang masih agak mager baca ebook karena nanti Josh liat mamanya pegang hape terus. Diomelin dong saya sama papa. Katanya, “Lah, jelasin aja sekarang tuh ada yang namanya ebook, di mana baca buku nggak harus dengan buku fisik. ” wkwkwk bener juga. Apalagi mungkin zamannya Josh nanti bakal lebih banyak baca ebook, who knows kan yaa.

        Oh ya, soal salah toko buku yang nggak mengembangkan bisnisnya, ini bener sih. Gramedia yang di Pajajaran ini jujur nggak begitu menarik penataannya. Mungkin itu kah yang membuat orang agak malas keliling dan membeli buku di sana? Soalnya saya pernah sekali aja ke sana dan nggak pernah balik lagi. Lebih memilih ke Botani aja sekalian πŸ˜‚

        Salam balik dari kami berempat! *ciehh udah berempat hahaha*

      • Hahahaha.. iya deh ga nyubit…

        Iya Jane.. mau tidak mau kita sebagai orangtua juga ga boleh males belajar. Biar ga suka ebook, tapi mau nda mau Jane harus membiasakan, demi Josh dan Krystal. Bukan demi kita loh karena pada masanya pasti berbeda dengan masa Jane sekarang.. Hahahaha.. Who knows… kita ga bisa menduga apa yang terjadi di masa datang Jane, jadi bersiaplah.

        Itu juga sudah saya rasakan sejak lama Gramedia Pajajaran seperti tidak berkembang dan banyak toko buku juga tidak.

        Hahaha.. Iya lah kan anggotanya sudah dihitung.. Bener berempat… wkwkwkwk

  3. Mungkin karena mau ditutup makanya di kosongin kali pak.. ahaha 😁
    Kalau saya sih buku seringnya beli daring di Gramedia Mall.. disana banyak. Tinggal ketik, check out, bayar, duduk manis… sampe dehh.
    Apalagi skrang Gramedia meluncurkan Aplikasi Gramedia Online dengan sistem berlangganan. Yg hitungannya jauh lebih untung ketimbang beli bukunya langsung.. ini bayar 85 ribu perbulan bisa puas baca buku smpe muntah.. haha πŸ˜ƒ

    Jadi saya rasa, tutupnya toko buku nggk bisa di pukulrata kesalahan masyarakat yg kurang budaya baca bukunya.. well, emng iya sih Rakyat kita kurang banget sama kegiatan literasi.. haha. Tapi kayanya kurang tepat aja.

    Masalah survive atau nggknya, saya rasa Gramedia pasti lebih tahu taktik jitu untuk kedepannya. Apalagi lambat laun ebook mulai menggantikan posisi buku meskipun agak sulit si menurut saya.

    Reply
    • Hahahah… boleh saya katakan terus terang, dalam komentar Bayu, bagi saya tercermin ada sisi kebanggaan seorang “pembaca buku”. Di sana tersirat pernyataan bahwa menjadi pembaca buku adalah orang spesial.

      – “pukul rata kesalahan masyarakat yang kurang budaya baca bukunya” ==> berarti sebagian masih mengatakan masyarakat yang salah karena “tidak membaca buku”. Kenapa tetap masyarakat yang salah kalau toko buku tutup (meski sebagian)? Memang salah ya orang tidak mau membeli buku? Pernahkah kita menyadari bahwa banyak anggota masyarakat yang bahkan membeli beras saja masih kesulitan? Kemudian, mereka harus disalahkan karena buku cetakan tidak terjual?

      Bagi saya, ya tetap salah toko buku itu. Kenapa mereka tidak bisa menarik masyarakat membeli bukunya.

      – kegiatan literasi itu menurut Bayu apakah hanya sebatas membaca buku saja atau ada kegiatan lainnya? Menurut saya literasi itu bukan semata membaca buku. Literasi bisa diartikan sebagai kegiatan mengolah informasi dalam membaca dan menulis, luas sekali. Bukan semata membaca buku (baik cetak atau e-book).

      Lalu, apakah membaca media online, membaca status di Facebook/medsos, dan artikel di blog bukan kegiatan literasi? Haruskah untuk berliterasi seseorang harus membeli “buku” dalam berbagai bentuk?

      Jawabannya, rupanya banyak penggiat literasi yang terjebak dalam kungkungan “literasi adalah membaca buku”. Mereka tidak memahami bahwa literasi itu sebuah dunia yang lebih luas dari sekedar buku.

      Coba cek deh.. apakah definisi literasi sudah berubah menjadi “membaca buku” atau membaca dan menulis?

      – sebuah toko buku atau gerai tutup adalah pertanda gerai atau toko buku itu tidak beroperasi dengan baik dan memberikan keuntungan bagi pengelolanya. Karena itulah gerai itu ditutup.

      Saya sih tidak peduli apa yang Gramedia lakukan, kenyataannya dengan tutupnya beberapa gerai mereka menandakan bisnis mereka menghadapi tantangan berat. Apakah strategi baru akan bisa berjalan atau tidak masih perlu dibuktikan. Apakah e-book dan sistem berlangganan bisa membangkitkan bisnis mereka lagi, juga belum terbukti.

      Kenapa, karena saingan mereka sekarang bukanlah sesama penerbit atau penjual buku saja. Mereka berhadapan dengan para blogger dan masyarakat biasa yang membagikan pengetahuan dan informasinya secara gratis kepada orang lain.

      Seberapa mampu strategi baru mereka menjawab tantangan itu masih perlu dilihat di masa depan. Yang jelas, inti bisnis perbukuan (cetak) bertumbangan. Bisnis mereka terhambat dan berada dalam kesulitan.

      Jika polanya hanya menunggu dan menanti para pecinta buku datang dan memberi harga murah, hal itu tidak akan memastikan bisnis mereka akan berjalan. Saingan mereka, para blogger dan banyak penggiat literasi online memberikan produk mereka secara cuma-cuma.

      Bayu pernah menyadari bahwa untuk membaca cerpen sekarang pun tidak perlu masuk ke Gramedia Mall/Online, cukup membuka beberapa blog, dan cerpen bisa dinikmati tanpa harus membayar. Bahkan, setelah saya bergaul di FB, saya menemukan banyak karya tulis yang baik dibagikan lewat FB.. Tanpa harus membayar biaya berlangganan.

      Pernahkah Bayu menyadari mengapa buku bagaimana cara menjadi blogger cetakan di Gramedia kurang laku? Karena pengetahuan yang sama sudah dibagikan dengan cuma-cuma di internet. Kemana orang mau belajar fotografi? Membeli bukunya? Belum tentu. Kualitas tulisan di buku cetakan tentang hal ini, dibandingkan yang saya baca di dunia maya jauh. Yang di internet dan gratis lebih berkualitas dibandingkan yang ditulis di buku cetakan.

      Dinamika di dunia literasi berubah besar dan belum terbukti bisa dijawab oleh pebisnis di bidang itu.

      Gramedia dan berbagai toko buku/penerbit memang harus menemukan jawaban untuk itu, dan saya tidak merasa perlu menaruh perhatian pada apa yang mereka lakukan. Yang saya lihat, mereka masih bingung menemukan formula yang pas menyikapi “dunia baru”. Gagap.

      Jadi, saya tidak akan heran kalau makin banyak toko buku akan tutup dan bahkan Gramedia.

      Kenapa saya tidak peduli? Yah karena gantinya sudah tersedia. Saya bisa mendapatkan informasi darimanapun via internet. Kenapa saya harus menanti untuk mengeluarkan uang untuk membeli buku?

      Mudah menyalahkan orang lain terhadap kegagalan yang kita lakukan. Sulit untuk menyalahkan diri sendiri sebagai penyebabnya. Mudah bagi para pecinta buku menyalahkan masyarakat umum yang tidak mau membeli buku, padahal kesalahan itu seharusnya ditimpakan kepada pengelola toko buku yang gagal menarik minat masyarakat membaca.

      Saya tidak mempermasalah seseorang menjadi pecinta buku (baik ebook atau buku cetak), tetapi ketika “literasi” diartikan sekedar “membaca buku” oleh kaum pecinta buku, di sana ada sebuah kesalahan besar karena makna literasi menjadi sempit.

      Reply
  4. Bahahaha.. 🀣🀣 panjang beud Pak Anton.. dan knapa disini kesannya kaya saya kena damprat sisi Roninnya Pak Anton.. wkwk 🀣🀣

    Ehh nggk loh Pak.. saya nggk bilang kalau orang yg gemar baca buku adalah orang spesial.. karena itu kan sebenernya hak masing2.. atuh kalau saya maksa orang buat suka baca buku mah, saya sama aja kaya ormas2 yg maksa buat punya keyakinan yg sama..

    Saya sih cuma cerita aja pak kalau gramedia skrang sudah ada sistem berlangganan yg jatuhnya lebih murah….

    masalah Gramedia ntar mau dikata tutup atau bangkrut yah saya pun sebenarnya nggak peduli.. ahah (saya si lebih pedulinya ke karyawannya yg kehilangan mata pencarian) Sepertinya kalimat yg saya gunain yg kurang tepat.. padahal yah saya sakjane sependapat sama pak anton.. πŸ˜‚

    Dan saya pun setuju mengenai arti literasi… karena artinya kan bukan sekedar hanya membaca.. tapi lebih dari itu.. kegiatan berbicara menyampaikan informasi ke orang juga termasuk literasi.. hehe

    Reply
    • Tenang Bay.. si Ronin lagi puasa dan ga keluar. Ini mah yang keluar si penjaga kafe doang.. hahaha..

      Kebetulan lagi ga banyak kerjaan menjelang lebaran, jadi lagi nyari siapapun tuk diajak ngobrol. Hahahahaha…

      Saya udah ga mau mikirin soal pegawai Gramedia Bay, dah nda kuat mikirin orang lain.. hahaha dalam situasi sekarang mah cuma bisa ngelus dada

      Y wis.. siap siap lebaran saja dulu Bay.. saya mau tutup kafe dulu.. wkwkwk

      Reply
  5. Widih sampai kosong gitu😱😱😱 di Gramedia dekat sini masih banyak stok buku cetaknya, Togamas juga, dan mereka jualannya jadi jualan non buku juga. Malah Gramedia juga jualan alat olahraga sama alat musik juga kan sekarang. *satu paragraf kata “juga”-nya banyak banget🀣*

    Aku setuju Pak Anton sama pendapat yang pembeli nggak cuma buku aja yang jadi prioritas, aku pun kalo lagi seret juga nggak beli buku😭 sukanya pinjem🀣 atau nyelesein tumpukan buku di rumah. Kemarinan ini aku ke toko buku dan memang nggak ada niatan beli karena buku-buku di rumah belum selesai dibaca. Nanti kalau udah selesai dibaca semua, baru deh bisa mempertimbangkan untuk beli lagi.

    Terus yang masalah ilmu ada di internet dan beberapa orang malah membagikannya secara gratis aku juga setuju sih. Cuman kadang kalau di akun orang kayak thread Twitter gitu, harus ada usaha ekstra untuk bisa nyari utasnya biar apa yang dibaca jadi tersusun sistematis dan membentuk satu puzzle yang lengkap. Menurut pengalamanku sendiri ya ini, aku dulu suka baca thread orang-orang tentang sejarah dunia atau Indonesia, tapi karena mikir kok ada kepingan yang hilang ya. Jadi aku beli buku, menurutku memang keunggulan buku tuh bisa dapat satu paket lengkap tentang sejarah misalnya, yang nggak bisa atau susah didapat di internet. Ya yang gratis sama berbayar memang beda mutu hehehe.

    Terus kalau misal menelusuri website NASA atau Youtube NatGeo gitu juga aku dapatnya potongan-potongan gitu sih. Harus meluangkan waktu kalau kataku untuk ngubek-ngubek web atau channelnya biar dapat pengetahuan yang lengkap. Kalau ada waktu yang aku telusuri, kalau kiranya nggak punya waktu yaudah aku beli bukunya aja biar cepet. 🀣

    Sejauh ini baca ebook aku lebih suka kalau genrenya fiksi, kalau nonfiksi tetep milih buku cetak untuk saat iniπŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚ Oh iya aku kaget lho kalau ada orang yang suka baca ngerasa derajatnya lebih tinggi dari orang yang nggak suka baca, kayak…hellaaww bukannya dengan membaca malah sadar kalau pengetahuan yang kita ketahui ternyata dikit??? πŸ’†β€β™€οΈπŸ’†β€β™€οΈπŸ’†β€β™€οΈ Bentar Pak buka puasa duluπŸ˜‚πŸ˜‚

    Reply
    • Hahaha.. iyah.. Gramedia di Bogor “juga” jual banyak peralatan olahraga dan lainnya. Bukan cuma buku.

      Betul banget Endah. Memang pengetahuan di medsos dan di buku “berbeda” dalam banyak hal termasuk cara penyampaian, telaah, dan sistemnya. Buku memang membahas lebih “mendalam” alias banyak kata, sedangkan yang di medsos bersifat “poin poin” saja, lebih merupakan summary saja.

      Soal mutu sendiri, debatable karena tidak semua buku berkualitas dan tidak semua pengetahuan di medsos berkualitas rendah. Tergantung pada kebutuhan atau apa yang dikejar oleh si pembaca. Jadi masih bisa diperdebatkan panjang lebar. Belum lagi kalau dibahas soal jenis isinya.

      Memang betul sekali tapinya untuk mendapatkan satu gambaran utuh, buku akan memberikan sesuatu yang lebih lengkap dan terstruktur, tetapi bukan berarti wesbite tidak bisa. Hanya bedanya, buku akan menyuguhkan dalam satu paket, sementara website/blog apapun akan menyajikan sepotong demi sepotong dan si pembaca harus berjuang sendiri menemukan jalannya.

      Nah, pandangan Endah terakhir bahwa semakin banyak membaca buku,semakin sadar bahwa pengetahuan kita sedikit sekali sebenarnya menunjukkan Endah sudah dewasa dan bijak. Tapi… bukankah dari screenshoot yang disampaikan di atas terlihat bahwa ada kebanggaan menjadi seorang pembaca buku? Mereka merasa berbeda, sehingga bisa memandang bahwa manusia yang bukan pembaca berbuat kesalahan dengan tidka membaca buku?

      Reply
  6. Ketawa pas baca tulisan “seminggu sudah baca berapa tahun?”

    Lha, jangankan buat beli buku yang termasuk kategori sekunder, untuk jajan anak harus ngirit apalagi beli buku. Sebenarnya bukan tidak minat beli buku, kadang pengin juga beli apalagi jika ada teman blogger seperti mbak Ica nerbitin buku, tapi mau gimana kalo pas pasan.

    Lagi pula betul kata pak Anton, sekarang sumber informasi bisa dari internet yang lebih murah bahkan gratis kalo ada WiFi gratis. Mau nyari ilmu pengetahuan bisa di live science atau Wikipedia, mau nyari berita tinggal ke detik, kompas, atau lainnya. Nyari lainnya lagi tinggal buka google.

    Kalo pengin baca buku tinggal instal ipusnas saja, banyak ebook gratis disana tinggal sabar saja kalo misalnya bukunya ramai, suatu saat bisa baca juga. Bisa juga download ebook ilegal yang banyak bertebaran di internet walaupun ini tidak direkomendasikan karena merugikan penulis. Kalo ada duit dikit langganan di Gramedia online cuma 85 ribu bisa baca buku sepuasnya, kalo beli buku fisik dapatnya satu saja.

    Jadi kalo rak buku kosong bukan karena literasi masyarakat yang rendah karena literasi masyarakat Indonesia dari dulu memang segitu saja tapi minat masyarakat bergeser ke ebook atau format digital yang lebih praktis.

    Reply
    • Banyak hal yang kadang terlalu disederhanakan dan tidak dipikirkan lebih dalam. Hasilnya pemikiran yang keluar justru tidak mencerminkan opsi opsi lain yang mungkin ada.

      Menyalahkan masyarakat secara global atas runtuhnya banyak toko buku bagi saya adalah sesuatu yang absurd dan tidak masuk akal. Terkesan benar, tetapi sebenarnya tidak benar. Banyak alasan masyarakat tidak mau (bisa) membeli buku dan hal itu seharusnya dipertimbangkan dalam pemikiran. Bukan sekedar mengedepankan ego dan menyalahkan pihak yang jelas tidak akan berkomentar.

      Jadi, silakan tertawa mas Agus. Saya juga sebenarnya tertawa ketika membaca pernyataan itu. Sulit menghindarkan kesan bahwa ada ego “pecinta buku” di sana.

      Reply
  7. Saya jadi teringat salah satu bagian isi novel serial Bumi yang saya baca. Ceritanya, di klan Bulan yang peradabannya sudah sangat maju, buku cetak itu adalah barang antik. Manusia tidak lagi membaca lewat benda bernama buku yang terbuat dari kertas. Tetapi semua informasi bersifat digital. Buku2 elektronik. Apalagi kalo ngomongin di klan Matahari, klan Bintang, dan lainnya. Tentu saja semuanya saat ini cuma ada dalam novel. Kita tidak tahu apa yang benar-benar akan terjadi di masa depan.

    Reply
    • Hahaha.. memang mungkin dulu itu sekedar khayalan dari buah pikir manusia tentang masa depan. Hanya saja, kalau saya sendiri berpikir dengan perkembangan yang ada sekarang, terutama soal internet dan kemudian tentang kesadaran manusia akan kelestarian alam (kertas vs pohon), maka sepertinya yang dulu khayalan mungkin terlihat suatu waktu akan menjadi kenyataan.

      Tambahkan kemudian dengan luas lahan yang terus semakin mengecil karena pertumbuhan manusia.

      Pada akhirnya kebutuhan akan buku non kertas akan terus berkembang. Tentu saja tidak sekarang, mungkin 50-100 tahun yang akan datang hal itu akan semakin kentara.

      Apakah pada akhirnya akan berubah seperti itu? Masih sulit dijawab karena masa depan manusia itu tetap tidak bisa dipastikan sekarang dan hanya bisa diprediksi.

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply