Betulkah Kualitas Isi, Informasi, Pengetahuan Buku Lebih Berkualitas Dibandingkan Blog atau Website?

Selamat Malam Kawan MM!

Niatnya sih saya tidak menulis di blog malam ini. Satu hari menjelang Lebaran, ada banyak kegiatan yang harus dilakukan untuk menyambutnya.

Sayangnya, sebagai seorang ronin yang gatelan, perhatian saya terusik oleh sebuah komentar yang disampaikan seorang Kawan MM, Mbak Endah April, blogger dari My Big Mini World dan Happiness and Delight.

Ia mengatakan bahwa sesuatu yang gratis tentu berbeda mutunya dengan yang berbayar. Pandangannya terkait dengan kualitas isi buku (berbayar) dan blog/website (gratis).

Lengkapnya pandangannya ada tercakup dalam screenshoot di bawah ini.

Betulkah Kualitas Informasi Pengetahuan Dalam Buku Lebih Berkualitas Dibandingkan Pada Blog atau Website

Benarkah? Apakah pernyataannya bahwa kualitas isi, baik informasi atau pengetahuan dalam sebuah buku lebih berkualitas dibandingkan dengan isi (informasi dan pengetahuan) yang disampaikan oleh blog, website, atau media sosial?

Menurut Kawan MM sendiri, bagaimana? Bisakah pandangan tersebut dipandang “benar”?

Jawaban saya sendiri adalah DEBATABLE alias bisa diperdebatkan.

Kenapa?

Saya cukup paham bahwa buku, baik buku cetakan atau e-book dianggap sebagai sebuah sumber pengetahuan yang terakreditasi, terpercaya, dan lebih baik.

Pandangan yang tidak mengherankan karena berabad-abad manusia hidup dengan buku. Pola pikir dan pola pandangnya terkait buku sebagai inti literasi sudah terbentuk.

Selama itu pula buku dipandang sebagai sebuah sumber informasi dan pengetahuan yang sahih dan terpercaya.

Sayangnya, setelah kehadiran internet, blog, website, dan lahirnya banyak penulis “informal”, saya suka atau tidak suka harus merubah pandangan tersebut.

Beberapa pengalaman saya menunjukkan bahwa sebuah perubahan besar dalam dunia literasi sedang terjadi dan bergulir dengan kencang.

Alasannya

Kasus Pertama :

Beberapa tahun yang lalu (saya lupa tepatnya), ketika saya baru beberapa tahun menjadi blogger, saya mengantarkan si Kribo cilik ke Gramedia untuk membeli buku.

Pandangan saya tertumbuk pada sebuah buku yang membahas blogging dan cara monetisasinya. Kalau tidak salah ditulis oleh seorang bergelar “Master (Strata 2)”.

Tertarik saya membelinya? Pasti dong. Kebetulan itu dunia yang sedang saya tekuni, sebuah buku terkait hal itu akan memicu ketertarikan.

Sayangnya, pada akhirnya saya tidak membelinya.

Sebuah buku yang sudah terbuka plastik pembungkusnya menjadi penyebabnya.

Saya membuka buku tersebut dan membaca sebagian kecil isi dari buku tersebut, dimulai dari daftar isi. Kemudian berlanjut dengan scanning dan skimming pada beberapa bagian.

Kenapa saya tidak membeli?

Karena saya merasa akan membuang uang saja kalau harus mengeluarkan uang untuk buku itu.

Isinya cuma sekedar bagaimana cara membuat blog, menjelaskan bahwa sumber uang yang bisa didapat seorang blogger, dan sejenisnya.

Tidak ada yang spesial dari buku tersebut dibandingkan yang sudah saya baca berulangkali di dunia internet. Jangan bandingkan dengan pembahasan yang dilakukan para internet marketer dalam meraup uang dari website/blognya.

Jauh sekali bedanya.

Pemaparannya kaku, tidak mendalam, tidak memberikan sesuatu yang baru.

“Kualitas”nya jauh dari yang bisa saya dapatkan dari penulis-penulis informal yang kadang namanya saja saya tidak bisa ingat. Tidak bisa dibandingkan dengan Neil Patel atau blogger lainnya. Bahkan, kalau dibandingkan dengan para emak-emak blogger dalam membahas blogging sekalipun, tulisan dalam buku tersebut tidaklah menarik sama sekali.

Kasus Kedua :

Dua topik utama yang paling saya sukai sejak 7 tahun terakhir adalah blogging dan fotografi.

Kali berikutnya saya berkunjung ke Gramedia, perhatian saya tertumbuk pada buku tentang fotografi dan cara memotret.

Tidak perlu ditanyakan rasa tertarik saya kan?

Tapi, saya akhirnya juga tidak membeli buku itu. Sayang duitnya karena saya tidak merasa akan mendapatkan “sesuatu” dari buku tersebut.

Lagi-lagi, buku tanpa pembungkus plastik penyebabnya. Setelah membaca beberapa bagian, saya berpikir lebih baik pergi ke website Photodoto atau ExpertPhotography daripada membaca itu.

Isi bukunya memang penuh gambar bagus, tetapi informasi dan pengetahuan yang disampaikan berada pada taraf di bawah biasa saja. Tidak menambah pengetahuan, tidak memberikan sesuatu yang berbeda daripada yang didapat dari internet.

Kasus Ketiga :

Saya dulu pedagang tanaman hias juga. Setelah di-PHK, dan bekerja kembali, saya mencari penghasilan tambahan dari merawat dan menjual tanaman hias.

Saya membeli 2-3 buku terkait merawat tanaman hias untuk mendukung kegiatan sampingan tersebut. Setelah beberapa lama, saya menemukan banyak sekali informasi sejenis di dunia maya terkait tanaman hias.

Dan, pada akhirnya, saya melupakan buku-buku itu. Pengetahuan yang saya dapat dari internet jauh lebih beragam dan terbukti berhasil. Jangan tanyakan juga berbagai variasi trik, terutama dalam pengembangbiakan tanaman, pembuatan pupuk, dan sejenisnya.

Terlebih kemudian saya bergabung dengan komunitas pecinta tanaman hias dan aktif di forum online tentang tanaman tersebut. Berbagai trik yang terkait tanaman hias yang tidak pernah dituliskan, bisa didapatkan lewat forum tersebut.

Dan, semua itu saya dapatkan dari sumber yang gratisan. Saya tidak mengeluarkan uang sekalipun. Saya melepaskan buku yang berbayar dan dipandang pasti memberikan yang lebih baik.

Pengalaman-pengalaman ini lah yang membuat saya mengatakan, “BELUM TENTU” isi buku pasti lebih berkualitas dibandingkan yang didapat dari blog/website yang gratisan.

Mengapa buku dipandang lebih berkualitas?

Sifat usil bin julid saya tersenggol dalam hal ini. Ada sedikit ketidakadilan, yang menguntungkan bagi buku dibandingkan tulisan dalam media lainnya yang membuatnya dipandang “lebih” dari yang lain

  • kemasan : kemasan dan cover buku yang cantik adalah salah satu trik marketing menarik para pembeli buku
  • nama penulis : nama terkenal akan cenderung mendorong calon pembeli untuk beranggapan bahwa karya tulisnya “pasti” berkualitas. Kalau belum terkenal, deretan gelar di depan dan di belakang akan menjadi opsi pendorong orang untuk menilai “lebih” bahkan sejak awal
  • nama penerbit : pernahkah bertanya mengapa penerbit Indie susah terkenal dibandingkan penerbit ternama? Penerbit terkenal akan memberikan kesan bahwa buku tersebut terpercaya dan dijamin bagus, terlepas dari isinya
  • nama toko penjual : banyak toko buku di Indonesia, tetapi kenapa nama Gramedia yang gampang diingat? Banyak pembeli beranggapan bahwa buku yang dijual di jaringan toko buku ini berkualitas dan lebih terpercaya dibandingkan toko buku biasa
  • Promosi : pernah membaca resensi buku? Pernahkah menyadari bahwa itu adalah sarana promosi agar seseorang tertarik membeli komoditi mereka?

Intinya, sejak awal pembeli buku sudah diarahkan secara halus agar memiliki pandangan bahwa buku yang akan mereka beli berkualitas, baik, dan akan bermanfaat. Cara pandang pembeli tidak lagi 100% netral dan sudah digiring condong pada produk tersebut.

Nah, sekarang bandingkan dengan isi dan tulisan dalam blog atau website, apalagi dari nama yang belum terkenal. Sejak awal, posisinya berada pada posisi tidak menguntungkan dan dipandang “kurang berkualitas”.

Padahal, belum tentu juga.

Pengalaman saya itu menunjukkan bahwa secara pribadi, saya menemukan bahwa isi dari blog-blog bisa lebih baik dan berkualitas dibandingkan buku cetakan.

Tentu saja tidak bisa gebyah uyah bahwa isi semua blog pasti lebih baik dari buku. Banyak blog yang baik dan bermutu, banyak juga yang jelek. Begitu juga dalam hal buku, tidak semua buku baik, tidak semua buku jelek.

Perbandingan haruslah spesifik, apple to apple, dan bukan apple to durian.

Perbandingan buku memasak dibandingkan dengan blog sejarah, ya tidak akan menemukan titik temu. Membandingkan kualitas antara blog dan buku cenderung akan mendorong kita pada jebakan generalisasi yang tidak akan ada habisnya.

Dalam hal perbandingan kualitas seperti ini, saya harus mendasarkannya pada beberapa faktor (yang saya perlukan)

  • tujuan membaca : kalau untuk pengetahuan populer dan tidak memerlukan telaah mendalam, maka membaca blog atau dari medsos bisa lebih baik. Sebaliknya, kalau saya ingin telaah mendalam, sejauh ini buku masih lebih baik
  • topik : tidak semua topik dijadikan buku karena bagaimanapun buku adalah komoditi untuk meraup untung. Penerbit, terutama yang terkenal jarang yang mau menerbitkan buku yang tidak memiliki nilai komersial. Blog, medsos bisa menjadi sangat lebih baik karena tidak ada buku yang tersedia
  • sudut pandang : kalau saya mau sudut pandang yang banyak, kreatif dan bebas, saya akan memilih blog atau website. Kalau butuh yang teoretis, saya akan mengandalkan buku (setidaknya saat ini). Buku sudah diedit dan disortir agar sesuai dengan tujuan penerbit, tidak bebas dan isinya banyak terbentur aturan, sedangkan blog lebih bebas dan kreatif sekali dalam pembahasan
  • cara penulisan : penulisan kreatif lebih banyak di blog dibandingkan dalam buku yang lebih terkesan formal/kaku (tidak semua yah).

Itupun, saya tidak bisa menyebutkan apakah tulisan di blog lebih rendah mutunya daripada yang tercantum dalam buku. Masalahnya, jarang sekali ada buku yang membahas topik yang sama, dari sudut pandang yang sama dengan sebuah blog.

Sulit sekali menentukan kualitasnya tanpa membaca keduanya terlebih dulu. Bisa saja saya terjebak menilai sesuatu secara menduga-duga dan tidak berdasarkan data. Pada akhirnya, saya akan rentan memberikan penilaian yang tidak “obyektif” dan cenderung mendukung yang saya suka saja.

Jadi, saya lebih suka berdiri pada posisi mencoba memahami perkembangan dunia saja dibandingkan menjatuhkan vonis “yang ini” lebih baik daripada “yang itu”.

Internet, blog, website masih muda dan akan berkembang

Manusia sudah akrab dengan buku selama berpuluh abad. Manusia akrab dengan internet baru 30 tahun saja.

Buku berevolusi dari bentuk, isi, dan apa yang disampaikan. Dari batu, kertas lontar, sampai kertas HVS dan sekarang menjadi buku elektronik adalah perjalanan yang dilalui buku untuk bertahan di dunia.

Blog, website adalah anak kecil kalau dibandingkan buku sebagai bagian dari kehidupan literasi manusia. Mereka bisa dikatakan masih tahap awal dari perjalanannya dan masih akan mengalami evolusi dan perubahan.

Siapa sangka blog sekarang bisa terisi video, animasi, dan sejenisnya pada saat lahir?

Nah, sekarang blog.medsos memang isinya masih “kurang mendalam”(menurut saya) dan itulah sisi yang membuatnya dipandang kurang berkualitas dibandingkan buku.

Dengan usianya yang masih semuda ini, bukan tidak mungkin hal itu berubah di masa datang.

Penulis di blog dan medsos memang masih dipandang sebagai anak tiri dunia literasi sekarang karena kualitasnya dipandang lebih rendah dari buku.

Namun, apakah selamanya demikian? Bisa jadi tidak. Manusia berubah dan berkembang, sangatlah mungkin suatu waktu posisi berbalik. Bisa jadi blogger atau penulis medsos yang dulu dipandang kacangan berbalik menjadi penulis yang dipandang lebih baik dan berkualitas dibandingkan penulis buku.

Who knows? Iya kan.

Itulah sisi pandang saya dalam memandang hal ini.

(Bogor, 11 Mei 2021. Satu hari lagi puasa harus dijalani sebelum Lebaran)

2 thoughts on “Betulkah Kualitas Isi, Informasi, Pengetahuan Buku Lebih Berkualitas Dibandingkan Blog atau Website?”

  1. habis baca ini, langsung flasback.
    kalau dicermati, isi buku pemaparannya mungkin ada yang nggak bisa terlalu detail, terlalu vulgar karena masih melewati sensor dari pihak editing penerbit. iya juga ini, baru “ngeh” kan aku hahaha
    kalau di internet, nemu artikel yang isinya bisa out of the box bahkan tabu buat orang jadiin buku, ehhh bisa dong ternyata ditulis panjang x lebar lewat artikel. bebas mau nulis apaan, selama yang ngedit diri sendiri

    Reply
    • Hahahaha.. flashback sama mantan gitu ya Nun.. 😛

      Betul juga, itu salah satu kelebihan dari platform literasi online seperti blog karena tidak melalui meja redaksi dan editor. Dengan begitu bisa lebih leluasa dan kadang nyeleneh.

      Makasih tambahannya

      Reply

Leave a Comment