Indahnya Kisah Kaum Pinggiran a la Ahmad Tohari

Tidak ada Paul Kim. Tidak ada Nam Do San yang entah mukanya seperti apa karena saya tidak pernah nonton drakor atau K-Pop. Tidak ada Song Hye Kyo, si janda cantik nan imut. Tidak ada Iron Man, saingan manusia kaleng. Tidak ada juga Captain Marvel, yang cantik dan sexy.

Beberapa saat yang lalu, di benak saya tidak ada yang ganteng dan cantik.

Yang nongol di kepala saya adalah gambaran wajah-wajah kampung, lusuh, receh, dan terkadang bau dari Karsim, Turah, Dawir, Doblo, Sardupi dan nama-nama kampungan. Kayaknya, tidak akan ada orangtua manapun di masa sekarang yang akan menyematkan nama-nama itu kepada anak mereka.

Wajah-wajah itulah yang membawa saya ke dalam “mimpi” yang berbeda dengan anak-anak millennial. Saya beberapa saat yang lalu sedang tenggelam dalam “mimpi” kaum pinggiran a la Ahmad Tohari.

Dimulai dengan sengatan si pengemis buta, Mirta dan penuntunnya, Tarsa dengan sebuah ujung yang menggantung, cliffhanger. Pembaca dipersilakan memutuskan sendiri nasib si Kang Mirta pengemis di stasiun. Apakah ia harus mati karena sakit? Apakah ada orang yang tidak bermata “bambu” dan memiliki belas kasihan.

Saya tidak tahu siapa editornya, tetapi cerpen pembukanya “luar biasa” sekali dan menghentak perasaan.

Dilanjutkan dengan kisah Jebris si pelacur dan persahabatannya dengan si Sar.

Kemudian, kisah penipu ke-4 yang memberi sebuah teka teki siapakah ia? Seorang pejabat kah? Seorang kaya kah? Seorang selebriti kah? Saya seperti diajak berkelana dalam dunia “terserah” Anda untuk membayangkan.

Tidak bisa berhenti, saya seperti ditarik terus untuk berada di dunia mimpi kaum terabaikan. Kaum pinggiran yang selalu dipandang rendah. Dunianya si Karsim yang baru “dipandang” sebagai manusia setelah ia mati.

Dunia yang terkesan getir, tetapi penuh keceriaan a la orang emperan dalam karakter Dawir, Turah, dan si Totol yang entah siapa bapak sebenarnya. Getir memang membacanya, tetapi di sana ada juga ada “keindahan” dan kebahagiaan.

Ditutup dengan hentakan dilema Yuning ketika harus memilih antara Koswara, si peternak babi dan ayah angkatnya Raden Barnas Rahadikusumah.

Lima belas cerita pendek ini membawa saya tenggelam dalam dunia “mimpi” a la Ahmad Tohari. Dunia kaum terlupakan dalam buku MATA YANG ENAK DIPANDANG.

Bukan pertama kalinya saya membaca karya penulis yang satu itu. Perkenalan pertama terjadi puluhan tahun lalu lewat harian Kompas. Ia banyak menulis cerpen.

Khas sekali baik gaya penulisan dan juga tema yang dibawakannya.

Hampir, kalau tidak bisa dibilang selalu, tokoh-tokohnya berasal dari kalangan bawah. Pembaca tidak akan diajak untuk “bermimpi” indah. Pembaca akan dibawanya memasuki rumah kardus di pinggir rel, kehidupan petani, pengemis, pelacur, dan mereka yang tidak akan pernah dilirik oleh siapapun, terlupakan.

Gambaran kehidupan dalam tulisannya akan terasa riil. Bukan mimpi. Setidaknya, akan membuat pembaca sulit membantah bahwa cerita-cerita itu sangat mungkin terjadi dalam kehidupan nyata.

Ia tidak bercerita tentang kisah Cinderella. Tidak bercerita tentang wanita cantik, putih, mulus, dan bahkan saat menjadi babu pun akan tetap cantik dan bersih. Kata-katanya tidak akan menjelaskan pangeran tampan dengan kuda putih.

Kalau ia menggambarkan sesuatu, ya seperti sesuatu yang biasa dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Gambaran pelacur, ya pelacur dengan penyakitnya. Gembel ya gembel, bukan gembel tapi bersih.

Karyanya akan selalu membawa pembacanya kembali ke bumi dan tidak mengawang ke alam mimpi. Tulisannya akan terus menarik siapapun untuk menjejakkan kaki ke tanah dan bukan tenggelam dalam mimpi indah.

Meskipun demikia, ciri khasnya juga yang akan selalu mendorong pembacanya untuk melihat sisi indah dari sebuah kehidupan yang penuh kegetiran.

Seperti yang dilakukannya pada si Totol, Turah dan Dawir. Sulit untuk tidak ikut merasa senang melihat si bocah miskin bermain dengan senapan mainan, pemberian Dawir yang tidak tahu pasti apakah dia ayahnya atau bukan. Kegembiraan Turah, si pelacur makan Holland Bakery dan melihat anaknya bermain.

Disana ada keindahan kehidupan manusia.

Dan, caranya Ahmad Tohari bercerita memang tidak pernah gagal menenggelamkan saya dalam dunia “khayalan”nya. Dulu ia melakukannya kepada saya, dan beberapa saat yang lalu saya baru bisa melepaskan diri dari jeratan sihir karyanya.

Lima belas cerpen karyanya yang dikumpulkan dalam buku MATA YANG ENAK DIPANDANG memang menjerat saya selama hampir dua jam. Tidak mau lepas, bahkan di saat si Yayang meminta bantuan menghangatkan kolak di dapur, saya melakukannya sambil tetap membaca.

Padahal, saya tahu bahwa apa yang saya baca “tidaklah riil”. Semuanya adalah “khayalan” pria kelahiran Banyumas tahun 1948 itu.

Seberapapun “terasa” riil, tetap saja, apa yang saya baca bukanlah kisah nyata. Pengetahuannya tentang sosial kemasyarakatan, terutama kehidupan kalangan bawah lah yang menginspirasi karya-karyanya. Pemahaman dan pandangan hidupnya lah yang disampaikan lewat cerpen-cerpennya.

Sebuah “mimpi” lain, dari sisi yang tidak umum. Jika penulis lain suka menyampaikan mimpi indah dan ngawang, ia akan mengajak bermimpi di bumi.

Apalagi, semuanya disampaikan dalam bahasa yang “biasa”. Ringan. Tidak berat. Tidak banyak istilah yang susah dimengerti. Hanya sedikit selipan bahasa daerah saja dengan penjelasan di sebelahnya.

Saya terkesima dan terpaku selama beberapa jam

Mungkin karena semua terasa nyata. Yang digambarkannya dalam cerpen-cerpennya sering saya lihat dalam kehidupan sehari-hari. Saya diajak bermimpi di dunia nyata, dunia yang saya tahu dan saya lihat setiap hari.

Itulah yang mungkin menyihir saya untuk selalu menunggu karyanya puluhan tahun yang lalu. Itu pula yang kembali membuat saya tidak mau melepaskan buku itu sebelum semua kata habis dibaca malam ini.

—-

Hampir dua jam. Mulai sekitar pukul 07-an saya memutuskan melepaskan bungkus plastik buku pemberian dari Jane Reggievia itu. Pukul 08.54 saya menutup lembar terakhirnya.

Kurang dari dua jam.

Lucu, padahal saya khawatir tidak akan pernah bisa menyelesaikan membaca buku ini. Bahkan, saya memberi batasan waktu 1 bulan untuk bisa menyelesaikan membacanya. Tetapi, ternyata, satu hari pun tidak perlu.

Aneh.

Bagi saya memang aneh. Saya sendiri heran. Bagi seseorang yang sudah kehilangan cinta pada buku, biasanya saya sudah mengantuk ketika memasuki bab ke-2. Malas sudah menguasai. Hal yang sudah bertahun-tahun saya alami.

Sebaliknya, saat membaca buku ini , saya tidak mau berhenti dan terus membuka lembaran baru. Padahal, selalu ada pembatas ruang agak kosong di antara setiap cerpennya, tetapi tetap saja telunjuk dan jempol membuka halaman berikut dan berikutnya lagi.

Mungkin, apa yang dikatakan seorang kawan MM benar. Mengutip dari J.K. Rowling, kehilangan cinta pada buku saya disebabkan saya “belum menemukan buku yang tepat”.

Dan, mungkin, buku-buku karya penulis lama, seperti Ahmad Tohari ini yang paling pas untuk saya. Tulisan penulis jadul untu pembaca jadul. Mungkin selera saya memang masih tertinggal beberapa puluh tahun dan saya butuh buku dari mereka yang hidup di jaman yang sama dengan saya.

Maybe, mungkin, perhaps.

Saat ini, yang jelas, saya ingin mengatakan kepada Jane Reggievia, a.k.a Jane From The Blog, “TERIMA KASIH. Yang besar sekali. A really big ones.

Terima kasih untuk memilihkan dan memberikan buku ini kepada saya.

This book is awesome. Really awesome!!!

Saya menikmatinya dan bahagia membacanya.

Terima kasih.

8 thoughts on “Indahnya Kisah Kaum Pinggiran a la Ahmad Tohari”

  1. Yaaaayyy! Akhirnya Kak Anton berhasil menemukan buku yang disuka 🥳 selamat Kak! Aku turut senang sekali membacanyaaaa. Bahkan dibabat habis dalam kurun waktu kurang dari 2 jam! Aku sendiri kalau baca, nggak bisa secepat itu kecuali baca komik 🤣
    Mungkinkah sekarang Kak Anton lebih cocok baca sejenis cerpen gitu?

    Reply
    • Hahahaha.. Peri saya juga ga nyangka bisa cuma dua jam loh.. serius.. Mikirnya bakalan sebulanan .. tapi yah memang cerpennya menarik bangettt dengan gaya bahasa yang enak banget dah.. makanya betah

      Mungkin.. mungkin memang saya menyukai kisah-kisah kehidupan yang lebih mendekati realita seperti ini… Mungkin saya harus berburu buku yang seperti ini..

      Reply
  2. kalau nggak salah ini yang kumpulan cerpen bukan ya?
    kayak pernah baca tapi lupa. Duh, ingatanku. hihihi…

    Seingat ada cerita tentang warung penajem itu.

    Tapi aku paling suka novel beliau yang lama, yang Ronggeng Dukuh Paruk itu

    Reply
    • Beneer banget dan memang ada “Warung Penajem”.. hahaha keinget yah karena memang cerpennya nyentil banget yah

      Yup,sama dong Pit.. saya juga teringatnya memang selalu Ronggeng Dukuh Paruk.. Memang yang itu pasti berkesan sekali. Padahal saya sudah membaca puluhan tahun lalu

      Makasih atas kunjungannya

      Reply
  3. Aku lgs cari bukunya di IPUSNAS, dan ternyata adaaa, malaaah banyaaak buku2 Ahmad Tohari yg lain mas :D. Happy….

    Setelah aku baca buku yg skr ini lagi aku lahap, aku bakal baca buku di atas :). Sbnrnya sih, aku LBH menyukai buku utuh daripada kumpulan cerpen. Krn biar gimana buku utuh kan LBH details dalam segala hal, sementara cerpen sesuai namanya aja, pendek :p.

    Tapiiii bukan ga berarti ga nyentuh samasekali. Kalo memang banyak teman yg bilang isinya bgs, aku bakal penasaran untuk coba baca :). Lumayan ntr bisa aku bahasa juga di review buku ku

    Tx referensinya mas. 😉

    Reply
    • Banyak Fan bukunya.. dulu saja saya sudah baca beberapa, cuma lupa judulnya.

      Kalau kumpulan cerpen kan sebenarnya bukan buku.. wakakaka.. tetap cerpen. Saya juga sebenernya lebih suka baca buku dan bukan kumpulan cerpen.. wakakakaka.. bener kata Fanny, utuh. Cuma kali ini saya baca buku apa saja yang penting bentuknya buku untuk membiasakan diri lagi..

      Bagus isinya Fan.. ga berat, tapi tetap menyentil
      Hahahaha.. masalahnya pan emang baru satu yang habis dibaca.. 😀

      Reply
  4. Wohooo I know you’re gonna love this book, Mas Anton! XD itu yang saya rasakan juga saat pertama kali baca karya beliau yang berjudul “Di Kaki Bukit Cibalak” (mungkin judul ini bisa menjadi buku selanjutnya yang dibaca dalam 2 jam? 😜). Tokohnya sangat real, sederhana dengan tujuan hidup yang nggak muluk-muluk. Senang banget rasanya mendengar Mas Anton bisa menikmati kumpulan cerpen ini. Selamat yak! *pasang confetti*

    Kalau gitu saya juga baca ahhh setelah ini wkwkwk

    Reply
    • Iyah, pasti kalau baca bukunya pasti ngerasa begitu. Sederhana, riil, dan hidupnya ga muluk muluk.

      Makasih banget loh sudah mengirimkan buku ini buat sayah.. bener-bener menyenangkan. Ga nyangka..

      Reply

Leave a Reply to Peri Kecil Lia Cancel reply