Nasib si “Debat” , Penting Tapi Selalu Dihindari

Selamat Pagi Kawan MM!

Debat merupakan sesuatu yang dihindari banyak orang. Kata ini sering tidak membuat nyaman karena diidentikkan dengan perseteruan. Benturan.

Kata ini dianggap berbeda dengan diskusi. Padahal, sebenarnya sama saja. Hanya kesannya saja yang berbeda.

“Debat” umumnya mencerminkan “perbedaan”, “pertentangan” dan dilakukan dengan cara berusaha saling mematahkan argumen, sedangkan :”diskusi” cenderung lebih netral. Masyarakat Indonesia lebih bisa menerima “diskusi” dibandingkan debat karena kesannya lebih halus, meski pada dasarnya sami mawon, di dalamnya terdapat pertukaran pikiran, perbedaan pandangan.

Diskusi yang panas pada akhirnya pun sama saja dengan debat.

Tapi, ya itulah nasib si “debat”. Ia harus menerima nasibnya untuk dijauhi dan dicaci, meski secara tak sadar, semua orang melakukannya. Namanya pun diperhalus menjadi diskusi atau pertukaran pikiran menyesuaikan dengan jiwa “hipokrit” masyarakat Indonesia yang suka “musyawarah” dan “mufakat” dalam segala sesuatu.

Diskusi = halus, sopan. Debat =kasar, tidak sopan.

Sikap yang sepertinya juga diadopsi oleh banyak blogger Indonesia. Jarang sekali (hampir tidak ada bahkan) saya melihat artikel atau tulisan yang aktif dengan pertukaran pikiran dan benturan. Banyaknya berisi persetujuan, ppeng-amin-an, sesuatu yang menunjukkan harmoni. Tidak sedikit yang menjurus pada pemujaan.

Adem ayem. Damai.

Mayoritas mengambil sisi ini karena tentunya tidak ada yang ingin dicap kasar dan tidak sopan. Apalagi saat bertandang ke blog orang lain. “Di rumah orang lain kok bikin rusuh, tidak sopan!”, mungkin begitu pemikiran yang ada di kepala.

Namun, saya terus terang sering melakukan hal itu (dan akan terus melakukan), mengajak seorang blogger, penulis untuk “berdebat”. Kadang bentuknya sederhana saja berupa pertanyaan-pertanyaan “tidak sopan” berisi penentangan yang pastinya tidak akan menyenangkan dibaca oleh bloggernya, si penulis artikel.

Meski tidak terlihat, saya cukup yakin pasti ada yang mangkel kalau membaca komentar saya terhadap sebuah tulisan. Bukan cuma si penulis saja, pembaca yang lain pun bukan tidak mungkin jengkel dan merasa tindakan tersebut tidak sopan, kasar, dan tidak sesuai dengan adab. Komentar mengajak debat itu kerap dianggap sebagai usaha menjatuhkan.

Hanya, saya hampir pasti akan melakukannya, lagi dan lagi. Tidak kapok.

Tahu kenapa?

Pelajaran penting ketika menjadi internet warrior alias si ronin di dunia maya adalah debat tidak selalu berarti mencari benar atau salah. Tidak selalu merupakan usaha untuk “menjatuhkan”.

Dunia tidak selalu hanya ada hitam atau putih. Dunia bukan hanya berisi “setuju” dan “tidak setuju”. Dunia tidak hanya terbentuk dari “cercaan” atau “pujian”. Di antara kedua sisi tersebut banyak sekali hal lain, seperti dalam masalah warna ada abu-abu, merah, kuning, dan sebagainya.

Debat merupakan salah satu cara untuk menemukan “warna-warna” lain tersebut.

Pernah terpikirkan kalau dunia tanpa adanya benturan? Yah, saya bisa gambarkan sedikit saja, dunia tidak akan punya nuklir karena tenaga atom itu dilahirkan dari adanya benturan antar atom di Uranium. Piagam Hak Asasi Manusia tidak akan lahir kalau tidak ada Perang Dunia.

Itulah manfaat benturan.

Dan, debat itu adalah sebuah benturan dalam hal pemikiran, pandangan. Sesuatu yang memang menimbulkan rasa sakit saat menjalaninya, tetapi kalau disikapi dengan benar akan memberikan kebaikan ke depannya. Tidak bedanya dengan nuklir yang bisa menghasilkan energi listrik dan berguna bagi banyak orang.

Dalam hal blogging pun demikian. Saya belajar bahwa respon menyebalkan yang saya berikan, cenderung memberikan hasil yang lebih baik daripada jika saya sekedar mengatakan, “Wah, saya setuju tuh dengan pandangannya. Keren banget. Menginspirasi dan bla bla bla“.

Biasanya, tidak banyak, beberapa blogger merasa terusik dan menjawab dengan menjelaskan dan menjabarkan landasan pemikirannya mengapa ia melakukan ini dan itu. Ia memberikan rincian lebih dalam tentang teori yang diusungnya.

Sesuatu yang memang diharapkan karena pastinya manusia punya ego. Manusia akan selalu berusaha mempertahankan apa yang dianggapnya benar. Ia akan melawan dan balik menentang.

Hal yang pada akhirnya membuka ruang untuk pertukaran pikiran, sudut pandang, dan pengetahuan. Pada akhirnya, akan memberikan “pengetahuan” bagi semua yang terlibat. Temtu, bukan tanpa biaya, pasti ada rasa “sakit”, seperti kesal, bete, marah, tapi ongkos yang murah untuk sebuah kemajuan.

Sayangnya, baru segelintir saja yang begitu.

Kebanyakan, cenderung menghindar.

Mungkin memang nasib si “debat” masih akan sama sampai beberapa generasi mendatang. Keberadaannya masih coba terus dinafikan oleh “keharusan” mencapai mufakat dalam segala sesuatu yang diindoktrinasikan puluhan tahun. Nasibmu juga harus berada di lingkungan penu manusia berjiwa “halus nan lembut” a la masyarakat Indonesia yang suka damai, tetapi herannya banyak yang gemar mencerca manusia lainnya di media sosial.

Memang nasibmu “debat”.

Dan, terima saja.

18 thoughts on “Nasib si “Debat” , Penting Tapi Selalu Dihindari”

  1. Hmm..bagaimana, ya saya menerangkannya ya, mas..

    Mungkin tempatnya “beda”.

    Niatan seseorang untuk blogging di kultur ini saya lihat kebanyakan seperti orang bangun rumah. Menerima tamu, berkenalan, beramah tamah, saling berkunjung, dsb. Offkors ada juga yang niatannya buang sampah atau memang memancing debat/diskusi. Cuma yang terakhir ini akan lebih susah mendapatkan lawan, karena sifat komunitasnya seperti itu. Dan biasanya blog itu juga harus super populer dulu untuk temukan pembaca yg beragam.

    Netizen Indonesia yg senang berdebat lebih banyak memakai media forum atau media sosial microblogging (nggak semua tentang caci maki kok mas). Dimana semua orang bisa langsung berpendapat dengan topik yang diajukan berupa link atau utas. Dan sifat menguntungkan lain yang ditawarkan adalah anonimitas lebih. Anonimitas itu kunci.

    Jadi kalau memang niatnya mencari lawan debat, menurut saya lebih efektif mencari di forum dan medsos. Di blog paling mentok dipancing bagaimanapun juga endingnya hanya diskusi.

    Well, jujur saja, saya lebih suka kata diskusi daripada debat literally, karena debat biasanya suka berujung kusir hahaha…Udah nggak penting kebenarannya apa pokoknya nggak boleh kalah, sehingga akhirnya menghilangkan esensi dari pencarian kebenaran itu sendiri.

    Reply
    • Hihihi… Interesting POV Pheb, as usual. Masalah tempat yang “beda”, tapi sangat masuk akal. Cuma rumah pun sebenarnya kalau kedatangan tamu yang tepat, contohnya seperti dikau akan bisa jadi ruang debat yang menarik. Jadi, betul sekali soal kultur blogging yang dikau katakan memang, tetapi kultur bisa diubah. Tentu melalui proses yang panjang.

      Kalau memang saya berniat benar-benar mencari lawan debat, saya tidak akan ngeblog karena saya waktu berada di dunia seperti itu dulu. Tetapi, mungkin ada sedikit keinginan merubah kultur blogging yang ada ke arah yang bisa lebih berkembang. Apakah bisa? Ya bisa saja.. kultur pun bisa berubah, sama halnya manusia. Tidak berarti kultur yang ada harus terus diikuti, seperti debat bagusnya di forum atau medsos. Blog pun bisa menjadi ruang debat yang dimanfaatkan.

      Pada dasarnya saya tidak mencari ruang debat untuk benar-benar berdebat, tetapi mengajak berpikir kepada siapapun yang mau membaca, bahwa perbedaan pandangan, pemikiran, berdebat, adalah bagian dari kehidupan. Bukan sesuatu yang harus dipandang sebagai hal yang tabu untuk dilakukan.

      Masalah anonimitas.. yup kebanyakan memang tidak berani menampakkan wajahnya dan terbiasa berada di belakang topeng mereka kalau soal berdebat. Kultur yang juga saya pikir tidak baik karena seperti beraninya lempar batu sembunyi tangan..

      Kadang debat kusir itu menarik loh Pheb.. karena secara nggak sadar orang melepas topeng dan memperlihatkan dirinya yang sesungguhnya… Jadi kalaupun memang ada yang seperti itu, buat saya sih ga masalah juga.. menyenangkan malah.

      Tapi memang tidak mudah untuk merubah sebuah kultur, mungkin, sekarang dalam lingkungan yang ada tidak akan bisa merubah, tetapi mungkin bibit yang saya tanam hari ini bisa berkembang di masa depan.

      Gitu loh Phebie..

      Reply
      • Ya akhirnya kembali ke orgnya masing2 ya mas.

        Tujuan akhir debat itu sendiri untuk apa?
        Kepuasan apa yg ingin didapatkan dari sana?

        Ada org yg merasa puas bila menang debat. Ada yg puas bila mencari solusi. Ada yg mencari kolaborasi. Ada yg puas bila bisa membuka topeng lawan.

        Saya cukup puas bila mendapat solusi dan ilmu. πŸ˜„ Sederhananya spt itu.

      • Well.. kalau bicara ke sana memang akan selalu kembali ke tujuan masing-masing. Segala sesuatu pada dasarnya memang berdasarkan pada prinsip seperti itu.

        Tidak bisa dipaksakan.

        Noted apa yang dikau cari.

  2. Debat yang tidak baik itu debat yang tidak ada ujungnya, entah mungkin disebut juga sebagai debat kusir.

    Debat yang baik itu debat untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

    Yg jadi masalah mungkin tidak sedikit diskusi yg berubah jadi debat atau perdebatan yg menjurus pada tonjok2an 🀣🀣 ini yg dikuatirkan dan ini yg membuat debat seolah tidak baik.

    Pada akhirnya kejujuran memang pahit dan pahit adalah obat menyembuhkan, apaan sih, tau ah.. lagi belajar debat akutuh klo ga kuat aku kabur 🀣🀣

    Reply
    • Padahal yang ga ada ujungnya juga bagus Bang Jaey.. mayan buat membakar lemak jadi bisa tetap langsing. Juga bisa bantu melepaskan stress.. πŸ˜€ πŸ˜€

      Nah kalau tonjok-tonjokan itu bonus kok Bang.. hahahaha.. itu sudah di luar ring sebenarnya..:-P

      Bang Jaey sudah jago banget keliatannya.. πŸ˜€

      Reply
  3. ha ha ha ha….
    kalo esensinya sama, yaudah pake kata diskusi aja, jangan pake kata debat, toh tujuannya mungkin akan sama tercapai.

    ah salah ini mah komen disini, hahaha..

    pak Anton, aku sebetulnya suka menyimak debat tapi ga ikut perdebatan sama sekali. itu semata-mata karena aku tahu kapasitas ilmuku yg kebanyakan cetek banget, bahkan menyoal fotografipun, yg aku tahu cuma teori segitiga exposure dan sedikit tentang komposisi.

    Dulu, aku seringkali kalah kalo berdebat sama temen lalu terpancing jadi kusir karena ego, akhirnya ketahuan begonya, atau kesulut emosi dan akhirnya keluar kata-kata yg ga mengenakan. setelah itu, aku ga mau lagi ngikutin kehendak orang untuk diajak debat. aku mending ngaku kalah aja sedari awal dan menjaga agar hati seseorang tidak tersakiti karena ketidakmatanganku dalam bertutur kata.

    Dan meskipun aku kadang-kadang menang debat, rasanya ga enak juga ternyata. mungkin bukan masalah menang atau kalah argumen, tp buatku pribadi, rasa di akhirnya ga menyenangkan juga.
    makanya aku selalu mencari jalan aman, termasuk ketika nulis komen ini πŸ˜€

    Kemudian, debat itu ga harus disukai dan diterima semua orang, pun ga harus berusaha merubah kulturnya karena memang ada ruang untuk penyuka debat, begitupun ruang untuk yg tidak menyukainya.

    Tapi kalo Pak Anton ingin merubahnya karena pak Anton melihatnya sebagai sesuatu yang lebih baik, maka tetap dipersilakan.

    Dan karena sekarang aku sedikit paham kenapa pak Anton ‘suka” berdebat, maka aku akan baik-baik saja, ga seperti ketika blm tahu apa-apa soal pak Anton (sekarang jg blm tau apa-apa sih)

    intinya, aku selalu suka dengan debat yg cerdas seperti pak Anton sama Phebie. tp aku ga ikutaaan… nyimak ajaaa πŸ˜€

    Reply
    • Pertama, tumben panjang Dy komen di sini, pertanda bagus nih.. hahahaha.. kerasa ga kalau Ady belakangan lebih luwes dan berani berbeda pendapat dengan sayah.. wakakakak

      Kedua, terserah mau pakai yang mana, diskusi atau debat, karena pada dasarnya memang ga beda jauh. Cuma beda kesan dan imagenya saja

      Ketiga, kultur bukan masalah disukai atau tidak disukai karena itu merupakan akumulasi dari banyak faktor dalam masyarakat. Kultur tidak berarti semua orang menganut pendapat yang sama loh..Kalau mau dianalogikan kultur miriplah dengan kebiasaan, tradisi, tata cara yang tidak tertulis. Bukan berarti semua menerapkan pola yang sama, tetapi mayoritas melakukannya. Pergeseran kultur biasanya karena berkurang atau bertambahnya penganut kultur tersebut.

      Budaya/Kultur ewuh pakewuh Dy, itu tertanam dalam diri masyarakat Indonesia akibat pola feodal di masa lalu. Indoktrinasi orde baru bahwa berbeda pendapat itu “tidak diperkenankan” juga menyebabkan kultur berdebat itu tidak dipahami dan dianggap sesuatu yang “berbahaya”. Kultur bukan sekedar masalah pemisahan ruang antara yang suka dan tidak suka, tetapi menjurus pada karakter dalam masyarakat yang terbentuk sejak lama.

      Perubahannya tidak gampang karena dibentuka dalam jangka waktu yang panjang juga. Jadi, berharap bisa berubah saat ini, ya tidak mungkin. Kultur itu masih kental sekali ada dan tidak akan hilang begitu saja.

      Tapi, perubahan perubahan kecil itu ada, coba saja kalau Ady ga sadari kita sudah bertukar pikiran kan? Belum sampai tahap berdebat, tetapi pergeseran-pergeseran kecil itu yang perlahan akan merubah sebuah kultur.

      Keemapt : masa menang kalah dalam berdebat, saya sudah lewat Ady. Ketika saya sadar sebenarnya sekedar pemuasan ego saja. Pemenang dalam sebuah debat sebenarnya mereka yang bisa mendapatkan pengetahuan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Bukan ketika lawan debat mengaku kalah atau menyerah.

      πŸ˜€ πŸ˜€ Panjang yah… hahahah tapi itulah sisi pandang saya dalam urusan debat mah..

      Reply
      • iya pak Anton, aku sekarang agak luwes karena memang berharap dapetin point of view dari pak Anton, persis seperti balasan komen di atas.
        nah kalo seperti ini aku suka pak, tukar fikiran, tidak saling memaksakan pendapatnya, aku dapat ilmu dari pak Anton soal kultur, pak Anton juga dapet komenku yang panjang, hehehe….

        Pernah waktu kuliah, aku ngekos, kosan cowo, isinya dari beda-beda kampus yang sekitaran. Nah ada temenku yg jurusan hukum, dia sukanya emang debat kyk pak Anton, lempar dulu pertanyaan yg nyentil biar rame dan jadi debat.

        Waktu itu, aku ga tau kalo dia ngajak debat, kukira ngobrol biasa, aku keluarin pendapat, diapun menyanggah dengan pendapatnya, trus kukira pendapatnya bisa kuterima dan kyknya lebih logis daripadaku, lalu akupun bilang “iya juga ya..kyknya lebih pas ya”, eh taunya dia kecewa “ah masa maen setuju aja”

        hahahaha…

        Aku bingung dan jadinya lanjut petik gitar ajaa disitu.. bikin backsound instrumental buat debat dia selanjutnya, hahaha

      • Iya Ady.. kerasa rugi kalau lawannya sekedar bilang setuju saja.. ga seru.. hahaha.. Kadang kita memulai bukan untuk mendapatkan persetujuan, tetapi justru ketidaksetujuan yang dicari. Dengan begitu aliran diskusi/debat tidak berhenti.

        Pada dasarnya, debat bukan tentang memaksakan pendapat. Mungkin terlihat begitu karena cara yang dipakai adalah saling mematahkan argumen, tetapi belajar dari pengalaman, bukan agar orang lain mau memakai argumen kita. Biasanya yang sudah lama dan terbiasa berdebat prinsip dasarnya sudah ada sejak awal, yaitu agree to disagree…Jadi, seberapapun kerasnya perdebatan, ujungnya akan kembali ke sana..

        Temanmu bukan mencari “kemenangan”, tetapi suasana yang dia suka dan juga pengetahuan. Makanya dia kecewa kalau ada yang cuma mengakui setuju.. hahahaha

  4. Post yang menarik, mas 😁

    Kalau saya, sudah tau~lah ya mungkin mas Anton, saya termasuk orang yang menghindari debat di dunia maya (blog, etc). Jadi orangnya lebih suka aman-aman, tenang, damai, tentram saja πŸ˜‚βœŒ

    Soalnya, selama ini, saya jadikan blog sebagai media healing setelah stres sama urusan pekerjaan, this and that, kalau sudah lelah debat di pekerjaan, terus harus debat lagi di blog, saya akan merasa lebih baik shut down (tutup blog) karena dikawatirkan saya jadi exhausted πŸ™ˆ

    Jadi selama ini, saya tipe yang hanya melihat dan nggak pernah ikutan debat, mas. Hahahahaha πŸ˜† By the way, mungkin mas Anton bisa debat mas Rahuuul, soalnya mas Rahul suka disanggah katanya 😁

    Reply
    • Hahahaha pastinya… capek dua kali yah…saya sendiri tidak banyak berdebat di blog Eno. Karena memang kalau kata Phebie kulturnya berbeda. Yah mau bagaimana lagi…hahahaha

      Iyah, sudah pernah sih kalau dengan Mas Rahul, walau belum sering.. wakakakaka..

      Reply
  5. Mas Anton, aku sbnrnya tipe org yg sangaaaaaat menghindari debat :). Bisa diitung jari berapa kali aku sampe berdebat dengan orang2. Tapi mungkin, Krn ga terbiasa untuk berdebat, aku srg ngalamin efek yg ga enak. Mungkin Krn tensi darah lgs naik kalo perdebatannya sampe memanas, yg ada kepalaku pusing, tangan gemetar , detak jantung lebih cepat, ini serius … itu waktu berdebat Ama papa trakhir kali karena beliau maksa aku utk ikut pilihannya pas pilpres dan menjelek2kan pilihanku. Aku marah waktu itu.

    Krn efeknya td, aku jd sebisa mungkin ga kepengin utk berdebat. Kalo di blog, aku mungkin bisa balas pakai kata2, mengurangi efek yg aku rasain kalo debatnya dilakuin secara lgs. Tapi itupun sebisa mungkin sehalus mungkin dilakuin, jgn sampe kata2 jd kasar. Karena kalo udh begitu, aku bakal mundur dan ga mau ngelanjutin.

    Rata2 di blog aku jrg Nemu yg komennya sampe kasar kalo berdebat. Kecuali blog dr owner yg udh terkenal luar biasa, kayak blognya mba Trinity. Bbrp kali baca adaaa aja pembacanya yg rada seneng berdebat kusir, malah kdg jd debat Ama sesama komentator hahahaha. Mba trinitynya mah diem2 wae.

    Di medsos yg paling banyak yaaa. Mana kdg pake akun bodong, tipe pengecut memang. Pgn debat, tp ga kepengin ketahuan. Mnding kayak aku, menghindar lgs hahahahah

    Reply
    • Hahahaha iya Fan. It’s Ok juga sebenarnya kalau orang tidak suka debat karena tiap orang karakternya pasti berbeda-beda. Meskipun demikian, seseorang sebenarnya memiliki “bakat” untuk berdebat, seperti yang Fanny katakan sendiri pernah berdebat dengan Papa. Itu sebenarnya menunjukkan adanya bakat itu.. hahahahaha Hanya ada yang ketriggernya cepet ada yang lama, dan ada yang memang senang situasi demikian.

      Saya sendiri agak bingung sebenarnya kalau debat selalu diasosiasikan dengan kata kasar. Keras, ya karena memang perbedaan pendapat yang tajam biasanya, tetapi tidak selamanya harus berarti kasar. Saya sendiri menghindari perkataan kasar kalau berdebat, kata-kata yang dipakai akan tetap pada batasan. Saling berkeras dan bersikukuh, kadang saling menjatuhkan argumen, tetapi bukan menjatuhkan dan menghina orangnya.

      Memang pasti ada ketidaknyamanan di hati saat melakukan dan setelahnya, tetapi sebenarnya bisa dimanage.

      Iyah saya juga baca yang di Mbak Trinity yang berdebat itu.

      Nah, justru itu yang bagus sebenarnya Fan karena perdebatan terjadi bukan antara yang punya blog dan pengomentar saja. Justru akan lebih menarik kalau komentator saling berdebat. Hahaha…Saya suka tuh yang kayak gitu karena biasanya ada banyak pengetahuan yang bersliweran tanpa disadari, walau kadang terbalut emosi.. πŸ˜€

      Itu juga yang saya kurang suka sebenarnya pakai akun tak jelas. Selama saya debat di internet, nama akun saya ya nama sendiri tidak pernah sembunyi. Cuma, yah gimana lagi, rupanya banyak orang yang lebih suka bersembunyi.

      Dan, yap bener juga, setidaknya jelas mengatakan “tidak ikutan” ahh.. wakakakakak Kayaknya aku ga akan debat deh sama Fanny…sumpeh

      Reply
  6. bapaaakkk, saya tuh kadang takut memilah cara berkomentar, kudu liat-liat orangnya sih ya, kalau sama Pak Anton mah debat itu semacam hal yang wajib wakakakak.
    Karena anti baper.

    Lah, kalau yang pemilik blognya baper?
    Bahkan udah nulis sehalus mungkin, bisa masuk kategori diskusi aja langsung baper, atuh maaahhh udah takut duluan saya.

    Karena, orang-orang baper itu, satu kata yang menyinggung aja, teringaaattt selamanya.

    Saya gitu soalnya, makanya saya suka berdebat ama Pak Anton, biar bapernya ilang hahaha.
    Dan memang terbukti sih, seiring waktu, saya bisa berdamai dengan baper, dan jadi ikut arus sambil liat sikon.

    Kalau ketemu orang yang asyik, mostly laki, saya sukaaaa banget berdebat eh diskusi sih sebenarnya πŸ˜€
    Nah kalau sama cewek, sejujurnya saya memilih kalem aja.
    Dari pada jadi masalah, hahahah

    Reply
    • Kalau baperan #getok ajah hahahaha.. tapi iya sih Rey, ga semua orang bisa diajak debat, bahkan sekedar berdiskusi. Beda pendapat sedikit saja bisa menyebabkan seseeorang baper, jadi memang kadang harus hati-hati. Saya sendiri biar keliatannya tengil dan suka berantem, sering juga milih milih “lawan”. Percuma juga kalau cuma kalau hasilnya ga dapet apa-apa..

      oo gitu yah.. emang gue sansak Rey.. hahaha.. tapi saya sih senang berantem ma dikau Rey karena ga baperan juga. Tahan banting dan malah seru kalau liat dikau nanggepin…

      Hahahaha.. ada loh cowok yang baperan.. ati ati.. πŸ˜€

      Reply
  7. Bukan hanya di dunia maya, di dunia nyata pun, saya malas berdebat. Kadang kalo saya merasa hal tersebut sangat penting, saya mencoba menyampaikannya dg cara yang lebih halus.

    Apakah karena saya tergolong orang yang tidak ingin cari masalah? mungkin juga. Tapi saya pikir alasan utamanya adalah karena memang saya Malas.

    Tapi sesungguhnya, beberapa debat didasari oleh rasa peduli. Jika seseorang tidak memiliki kepedulian, biarin saja orang lain salah. Egp.

    Reply
    • Wakakakakak… kok tau sih Nisa? Saya kalau ga peduli sama seseorang, ya bodo amat. Mau kecebur sumur ibaratnya, ya saya diemin.. wakakaka..

      Debat is cuma satu cara saja dalam bertukar pikiran. Ada yang suka, banyak yang tidak, ya namanya juga bagian dari dunia, pasti ada yang seperti ini.

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply