Menggunakan Istilah dan Kalimat Bahasa Asing Sebaiknya Berhati-Hati

Hola Kawan MM!

Saya baru sempat rehat sejenak sehabis berkeliling di dunia blog Indonesia. Kebetulan sedang malas menulis akibat satu dua hal beberapa hari ini, jadi waktunya saya pergunakan untuk berkelana dari satu blog ke blog yang lain.

Bukan blogwalking (jalan-jalan antar blog) karena kebetulan sedang kehabisan stok keinginan untuk berinteraksi. Pada beberapa blog memang saya tetap meninggalkan komentar, tetapi saat berada di sekitar 90% blog yang dikunjungi, saya mengaktifkan mode jelangkung.

Saya hanya membaca, buka arsip, baca lagi, dan pergi.

Selama itu, saya menemukan suatu hal yang sudah dipandang biasa dalam dunia blogging Indonesia. Dianggap biasa. Dan, memang sebenarnya sebuah hal yang wajar karena merupakan salah satu cara berekspresi dari sebagian orang.

Hal yang saya maksud adalah maraknya penggunaan istilah atau kalimat bahasa asing (terutama bahasa Inggris, Korea, dan terkadang Jepang) dalam sebuah tulisan.

Masalah buat saya? Tidak lah. Tidak ada masalah sama sekali. Saya memandangnya dari sudut pandang budaya. Di sana ada salah satu bukti penetrasi dari budaya asing ke dalam budaya Indonesia dan perlahan diadopsi oleh masyarakat Indonesia.

Penetrasi atau pengadopsian budaya (dalam hal ini bahasa) merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam dunia yang semakin “mengglobal”. Budaya yang kuat akan menyusup dan merasuk ke dalam diri budaya yang lebih “lemah”.

Bukan merendahkan budaya bangsa sendiri, tetapi itulah salah satu ciri dari “hasil” benturan antar budaya. Penerapan sebagian budaya asing dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah bentuk “kemenangan” budaya yang lebih kuat.

Teori hukum rimba berlaku sekali di dalam dunia kebudayaan. Siapa kuat dia menang.

Tapi, saya memandangnya sebagai sebuah hal yang biasa, wajar dan tidak terelakkan.

Yang menjadi perhatian saya adalah sadarkah bloggernya bahwa pemakaian istilah asing atau bahkan kalimat bahasa asing itu punya resiko sendiri? Iya lah, semua tindakan ada konsekuensinya.

Dari sudut pandang marketing, pemakaian bahasa asing dalam artikel akan menambah kesan bona fide, kesan gaul, keren, millenial.

Namun, dari sisi lain, penyisipan bahasa asing, dalam bentuk istilah atau kalimat bisa mengurangi “keterbacaan” artikel itu sendiri bagi kalangan pembaca tertentu.

Coba saja bayangkan (contoh pemakaian bahasa Inggris)

  • bagi kalangan yang berpendidikan S1 dan punya setidaknya dasar kemampuan berbahasa Inggris, tentunya membaca istilah atau kalimat bahasa Inggris yang disisipkan pada artikel tentunya bukan sebuah masalah
  • bagi kalangan lain, yang tidak memiliki kemampuan itu, maka pasti ia akan kesulitan menangkap maknanya. Ujungnya, artikelnya menjadi seperti terhenti karena ketidakmampuan pembaca menerjemahkan kalimat bahasa Inggris

Kalangan blogger sendiri biasanya sih tidak masalah karena setidaknya memiliki kemampuan dasar berbahasa Inggris (atau asing lainnya). Tapi, bagi pembaca umum, mereka “belum tentu” bisa.

Resiko penyisipan bahasa asing ini salah satunya adalah seperti menyortir/menyeleksi pembaca secara otomatis. Kamu tidak bisa bahasa asing, ya udah, jangan baca.

Kita, para blogger bisa berargumen, “Ah, kan ada Google Translate”. Tetapi, apakah mereka bersedia melakukannya? Belum tentu. Meski saya tidak tahu angkanya, tetapi saya menduga akan banyak calon pembaca yang melihat tulisan yang tidak dimengertinya memutuskan pergi.

Mereka tidak mengerti dan lebih jauh bisa tidak merasa terhubung dengan penulisnya.

Itu dugaan saya. Karena begitulah saya kalau melihat tulisan dalam bahasa Korea dalam artikel yang saya baca . Saya pilih melompati atau pergi daripada capek-capek membuka Google Translate. Kenapa gue harus ribet nyari terjemahannya? Toh, saya bukan penggemar drakor atau K-Pop. Kenapa harus pusing?

Penempatan istilah atau kalimat asing (tanpa adanya terjemahan) juga rentan mengganggu alur tulisan di mata pembaca.

Coba saja dudukkan posisi Kawan sebagai pembaca yang kebetulan tidak mengerti bahasa Inggris (contoh saja). Kemudian tutupi “sisipan istilah atau kalimat berbahasa Inggris” dalam sebuah tulisan, kemudian silakan baca. Biasanya akan terasa aliran tulisan melompat dan tersendat.

Itu percobaan yang saya lakukan terhadap beberapa tulisan seperti ini.

Tentu saja, jika memang kita sekedar menulis untuk senang-senang, yang seperti ini bukanlah masalah sama sekali. Silakan saja sebebas-bebasnya.

Begitu juga kalau memang targetnya sesama blogger. Meski tidak semuanya, sebagian besar tidak akan mempermasalahkan karena sudah terbiasa.

Tapi..

Jika target pembaca Kawan adalah kalangan umum, dengan beragam latar belakang pendidikan dan kemampuan, lakukan pemakaian istilah atau kalimat bahasa asing dengan hati-hati.

Bila mau menggunakan, sebaiknya

  • berikan terjemahannya (di samping) istilah atau kalimat bahasa asing yang dipergunakan, dengan begitu pembaca bisa memahami dan tetap menjaga alur tulisan di mata pembaca. Kalau perlu tambahkan cara pengucapannya
  • tempatkan pada posisi di mana tidak mengganggu alur tulisan
  • pergunakan jika memang perlu saja dan kalau istilah dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan
  • pergunakan istilah asing yang sudah umum

Kita bisa berbahasa asing, apapun itu, adalah sesuatu yang patut disyukuri dan untuk itu kita harus merasa senang. Tetapi, kehati-hatian sedikit saat menggunakannya akan membantu menghindarkan terjadi penyortiran pembaca secara otomatis dan tidak disadari. Kecuali, kalau itu memang kita menghendakinya.

Jadi, kalau boleh saran *bisa diabaikan kalau mau* saat berniat menyisipkan istilah atau kalimat bahasa asing dalam tulisan, tanya dulu pada diri kita, “Apa memang perlu dan tidak bisa dihindari?”. Kalau ya, lakukan, kalau tidak ya jangan lakukan.

Bisa juga tanyakan, “Pembaca repot kah kalau saya memakainya?

Lagi-lagi itu sekedar saran saja, bukan pemaksaan. Siapa sih yang bisa memaksa para blogger?

Mungkin saja ini cuma efek dari kebanyakan membaca blog.

Iya nggak?

22 thoughts on “Menggunakan Istilah dan Kalimat Bahasa Asing Sebaiknya Berhati-Hati”

  1. Kak Antoonnnnn, baru tadi pagi aku ke sini untuk ngecek tulisan baru ada atau nggak soalnya udah beberapa hari ini nggak lihat blog MM update πŸ˜‚. Akhirnya sekarang update lagi! Yeay! *Fans detected*

    Lagi lagi Kak Anton mengangkat topik yang menyentil πŸ˜‚, aku langsung mikir lho, selama ini aku ada menyelipkan istilah bahasa inggris, apakah jadi mengganggu pembaca atau tidak πŸ˜‚ benar kata Kakak, sepertinya secara tidak sadar, aku mengsamaratakan para pembaca sebagai yang bisa berbahasa inggris padahal belum tentu semua bisa. Cumann.. gimana ya, kadang menulis dalam istilah bahasa inggris lebih ringkes gitu, Kak, dan kadang rasanya lebih enak dikatakan, jadi untuk beberapa kata lebih enak pakai bahasa inggris 🀣 seperti istilah “btw” yang dalam bahasa indonesianya “ngomong-ngomong…” Kan ngetiknya kepanjangan 🀣.

    Namun, tulisan Kak Anton jadi masukkan banget sih untukku. Next kalau aku membuat post khusus review yang target pembacanya luas, sebaiknya mengurangi penggunaaan bahasa inggris demi kenyamanan pembaca. Thank you Kak Anton atas masukkannya! πŸ€ΈπŸ»β€β™€οΈ

    Reply
    • Hahaha Hola Peri Kecil.. Iyah kebetulan karena ada satu situasi, bener-bener nggak bisa fokus nulis.

      Kalau istilah yang umum seperti “btw”, kemungkinan konsekuensinya kecil, tapi kalau sudah bergeser ke misalkan “toxic positivity” konsekuensinya membesar, karena tidak semua orang paham kedua kata ini. Kecuali kalau memang target pasarnya blogger, yang sudah sering bahas.

      Kamu tidak bisa menyenangkan semua orang Lia, jadi itu juga sebuah pilihan. Kalau merasa ekspresi dirimu menjadi berkurang kalau tidak memakai itu, tidak masalah menggunakan istilah asing. Tapi, berarti, pembaca yang tidak memahami tidak bisa ikut merasakan tulisanmu.. πŸ˜€

      Hahaha.. tugas blogger ya nulis masa males sih. Bisa nulis 200-300 kata, cuma dua kata saja males.. wakakakak dasar peri

      Reply
    • Hahaha Lia aku juga langsung inget-inget, kayanya banyak deh aku nyelipin istilah asing hahaha
      πŸ˜‚
      Eh tapi kalau emang tujuannya buat tips masyarakat luas, sepertinya uda pakai bahasa Indonesia yang cukup baik #pembelaan

      Reply
  2. Mas, klik baca judul ini kok mendadak iklannya jadi bahasa Cina semua ya? Nyambung banget dengan artikelnya hahaha

    Wow. Jauh banget pemikirannya mas sampai membuat pembaca jadi tidak nyaman. Di satu sisi masuk akal, tapi itu menurut saya sih ya itu baru terjadi kalau penggunaannya terlalu banyak. Kalau kalimat-kalimat singkat, sih mungkin tidak terlalu berdampak, ya.

    Saya malah melihatnya justru sebagai karakter dari seorang blogger, sih. Ada blogger yang memang bicaranya campur-campur english seperti Cinta Laura, atau seperti anak JakSel yang padu padan Indonesai English. Lihatnya lucu dan terkesan gaul begitu. Mungkin pembaca muda jadi lebih relate.

    Ada juga blogger yang sesekali menulis satu artikel dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lain Nah, itu biasanya memang target pembacanya follower kawan-kawan dia yang sesama perantau di LN. Apakah bikin follower lain mundur, nggak juga…Yang ada paling artikelnya di skip lalu baca yang bahasa Indonesia. Karena kekuatan tetap di konten.

    Tentu saja yang fatal kalau keselip salah di grammar….itu bisa mengundang datangnya Grammar Nazi…hahaha…

    Tapi ini memang masukan yang menarik. Bukan karena lagi sebel sama blog yang banyakan ngomong rahasia-rahasiaan pakai bahasa Korea kan mas?. :))

    Reply
    • Kalau iklan mah, berarti itu kerjaan Google Pheb. Bukan sayah.. hahaha kan dia pakai cookies, rupanya dikau abis kelayapan ke blog yang berkaitan dengan Cina yah, makanya iklan berbahasa Cina muncul.

      Tergantung target pembacanya Pheb. Dan, memang seperti saya bilang, bagi saya pribadi kalau bahasa Inggris no problem, tetapi kalau ada yang mempergunakan bahasa Korea, ya puyeng. Kecuali ada terjemahannya.

      Setuju bahwa itu merupakan bagian berekspresi, makanya seorang blogger juga harus mempertanyakan, apakah mereka menulis untuk pembaca atau untuk diri sendiri. Kalau untuk diri sendiri, ya monggo wae, tetapi kalau untuk pembaca, pemakaian istilah asing yang tidak dimengerti bisa berakibat fatal.

      Tidak ada yang bisa menghitung berapa banyak pengunjung yang tertarik atau pergi akibat itu. Itu hanya dugaan saya karena saya begitu. Kalau sudah “kebanyakan”, yo wis. Dan, saya pikir akan ada cukup banyak yang seperti saya di dunia..

      Itu juga kenapa saya bilang “bahasa asing” yang umum masih bisa diterima. Tapi kalau sudah susah dimengerti pasti akan ada konsekuensinya.

      Hahahaha… nggak sebel hasil pemikiran akibat nemuin banyak tulisan yang memakai bahasa asing, tetapi lupa ngasih terjemahan pada kata itu. Banyak yang menganggap orang Indonesia = Orang Korea = Orang Cina.

      Reply
  3. Saya berusaha sekali untuk tidak menggunakan istilah bahasa asing, kecuali untuk kutipan atau memang kata/istilah itu belum ada padanan dalam bahasa Indonesianya.

    Cuma ya repotnya, setiap menemukan istilah asing, saya harus cek dulu ada di KBBI atau tidak, ada padanannya atau tidak. Kalau ada saya ikuti, kalau tidak ada ya sudah terpaksa dipakai.

    Seperti terakhir saya menulis tentang digital nomad, apa ya bahasa Indonesianya. Bisa sih diIndonesiakan dengan menulis artiannya secara harfiah, tapi jadi panjang istilahnya. Akhirnya saya tetap tulis digital nomad, tapi saya jelaskan dulu definisinya di alenia pembuka.

    Reply
    • Betul sekali mas…

      Kalau memang belum ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia, itu yang paling sulit. Kayak digital nomad, memang susah menjabarkannya karena justru memakai kata-kata yang lain kehilangan esensinya.

      Memang repot mas. Saya juga merasakan tentang itu, cuma saya pikir, untuk pembaca ada baiknya menyederhanakan karena tidak semua orang seperti saya. Jadi, saya coba tempatkan diri pada posisi pembaca.

      Tulisn yang digital nomad itu bagus loh mas…

      Reply
      • Hmm, hmm, jadi mikir, kemarin saya ada nulis apa aja ya, hehe.
        Di satu sisi, kadang saya asik aja sih, kalo baca, ada campuran inggrisnya, mungkin karena saya masuk kategori yang ngerti. Tapi kalo bahasa asing lain seperti korea, saya angkat tangan deh, wkwk.
        Sebagai blogger, kadang saya ngga ngeh sudah nulis apa aja. Tapi sudahlah toh saya malas mikir. Untuk ke depannya mungkin bisa dipertimbangkan πŸ˜„

      • Kok mikir, nulis ajah.. wakakaka..

        Yup, biasanya kalau kita ngerti memang kita ga permasalahkan. Saya juga kalau yang berbahasa Inggris atau Jepang, masih lah bisa menangkap dengan baik. Kalau Korea, yo wis, bloggernya ga mau tulisannya saya baca dan mengerti, jadi saya lewat saja..

        Kok dpertimbangkan.. dilewat saja.. wakakaka

  4. Saya termasuk yang sering pakai gaya bahasa gado-gado, alias campur dengan bahasa Inggris. Tapi karena blog saya tidak ditujukan untuk “semua orang”, jadinya sah-sah saja buat saya πŸ˜„ Jadi fungsi sortir itu justru saya perlukan.

    Soalnya saya memang mencari “crowd” yang bicara dengan cara begitu juga [coret]misalnya anak jaksel[/coret]. Eh enggak ding, maksudnya nyari yang sama-sama relate aja. Kalau nggak cocok dengan gaya tulisan keminggris-keminggris ala mbak-mbak, nggak masalah kalau nggak membaca blog saya. Hihi…

    Tapi memang, saya juga gatal kalau lihat ejaan inggris campur-campur. Jadi saya usahakan nggak terlalu banyak, atau ya tetap disiplin pakai italic. meskipun suka lupa juga πŸ˜†

    Reply
    • Nah, berarti Mega melakukannya dengan kesadaran penuh dan memang punya tujuan. Berarti setidaknya dilakukan dengan pertimbangan.

      Tentu saja sah sah banget dong. Bahkan kalau dilakukan dengan tidak punya pertimbangan sekalipun, saya akan bialng sah dan tidak bisa diganggu gugat.

      Bagian terakhir komentar dikau menunjukkan “Benar kan” bahwa pemakaian istilah campur campur menyebabkan hadirnya rasa “gatal”, dan tentu saja rasa lainnya dalam diri pembaca.. wakakakak Bisa bayangkan rasa orang yang tidak bisa memakai bahasa tersebut?

      Reply
      • he-he iya. Saya gatal kalau melihat tulisan sendiri yang istilah asingnya lupa di-italic. πŸ˜…

        Terus, dulu saya juga suka galau menentukan judul tulisan karena merasa harus konsisten, pakai bahasa Indonesia dan bukan bahasa Inggris. Nggak ramah mesin pencari, pikir saya. Sebisa mungkin selalu saya terjemahkan.

        Tapi tetap ada yang mentok karena 1. Merasa nggak ada istilah yang lebih sesuai, 2. Merasa “kurang nendang” kalau pakai Bahasa Indonesia, 3. Merasa terlalu kaku. Nggak personal, nggak ~saya~ banget.

        Jadi kalau sekarang sudah lebih nrimo, campur campur dikit gapapa, majalah cosmopolitan juga gitu kok (lho, jadi patokannya cosmo?) 🀣🀣🀣

        Yang penting dirincikan lagi di subheader di dalam tulisan. Supaya tetap terdeteksi sebagai h1, h2 gituu niatnya.

        Tapi ini cuma bahasa Inggris saja. Kebetulan belum pernah sih menemukan blog campur-campur yang isi tulisannya banyak bahasa lain tanpa terjemah misal korea atau jerman atau perancis.

        Kalau sebagai catchphrase menurut saya gapapa sih ya, bisa jadi ciri khas. Tapi kalau kebanyakan iya setuju, pasti pusing karena skip skip πŸ˜…

      • Kalau melihat tujuan Mega, ya kenapa tidak Meg. Cuma kalau bertujuan ke SEO, ini memang jadi masalah besar karena tidak SEO sama sekali penggunaan bahasa asing, sedangkan isinya bahasa Indonesia.

        Kalau memang punya target pasar spesifik, misalkan blogger atau yang berpendidikan di atas S1, penggunaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris ya wajar. Kayak Cosmopolitan kan memang targetnya menengah ke atas yang berpendidikan, jadi penggunaan istilah bahasa Inggris tidak akan jadi masalah.

        Menurut saya sih tergantung pada target pasar dan tujuanmu Meg.. Cuma kalau pakai mesin pencari, berarti ke pembaca umum dan itu bisa jadi sebuah hambatan juga..

        Gitu pandangan saya mah

  5. Aku suka gaya tulisan pak Anton, mudah dicerna.
    Cukup panjang tapi ga sulit untuk beresin bacanya, itu satu yang perlu aku pelajari dari pak Anton, hehe..

    kedua, soal bahasa gado-gado indo-inglis, masukan yang cukup penting karena aku ga pernah memikirkan hal ini sebelumnya dari sisi seorang pembaca, dan cukup masuk akal, tapi karena biasanya aku pake bahasa inggris yang dasar banget, sepertinya masih mudah dipahami.

    Dan mungkin karena selama ini aku blogging sekedar suka-suka aja dan jarang punya pembaca (baru beberapa bulan ini aja blogku mulai rame) jadi jarang banget evaluasi tulisan, apalagi dari sisi pembaca.

    Terima kasih pak Anton untuk insight-nya. dapet ilmu lagi, kusenang!

    Reply
    • Masa sih, jadi mau senang.. wakakakaka…Kamu akan menemukan jalan dan caramu sendiri Dy nantinya. Hanya butuh waktu sedikit dan konsistensi saja.

      Yang penting mah, bukan tidak boleh atau dilarang. Coba lihat target pasar dan tujuanmu saja. Pertimbangkan dan pasti ada konsekuensi dari setiap tindakan.

      Nah, kan untuk sementara masih untuk diri sendiri, mau pakai sebanyak apapun, ya ga masalah. Cuma nanti kalau sudah kebanjiran pengunjung, ya ga masalah juga.. wakakak biasanya kalau sudah punya fans, mereka ngerti ga ngerti ya coba dibaca.. hahahaha..

      Makasih juga sudah berkunjung ke blog ini Dy..

      Reply
  6. Blog saya banget ini mas, bahasanya campur aduk πŸ˜‚ Kayaknya karena terbawa keseharian saya yang kalau bicara pun campur aduk bahasanya πŸ™ˆ Hehehehe. Saya jadi tau bahwa ternyata hal tersebut bisa membuat pembaca luas kesulitan. Mungkin karena selama ini saya nggak begitu ambil target pembaca luas, alias yang baca ya yang tau tau blog saya saja, jadi saya nggak memusingkan tata bahasa saya yang berantakan πŸ˜† However post ini akan saya jadikan pertimbangan ke depannya untuk lebih rapi dalam menyusun kalimat hehehehehe.

    By the way, untuk bahasa Korea di blog saya biasanya saya kasih arti tambahan di sampingnya. Tapi kalau untuk bahasa Inggris, kadang ada kadang nggak ada artiannya tergantung ingat apa nggak πŸ˜‚ Wk. Terima kasih for the insights, mas ~ 😍

    Reply
    • Kan tujuan Eoo ngeblog senang senang dan sepertinya tidak menargetkan kalangan umum dan mesin pencari. Saya pikir malah sudah pas banget.

      Kecuali, kalau Eno memang berniat mengembangkan blog untuk menjangkau kalangan yang lebih luas lagi, mungkin bisa dipertimbangkan untung ruginya.

      Makasih sama-sama Kak Eno yang keren..

      Reply
  7. aku langsung pengen ngumpet baca artikel ini… kalau lagi pengen kadang bahasa jawa sunda inggris aku masukin semua dalam satu artikel. Lalu dibaca lagi, kerasa banget sentuhan emosinyaa. wkwk

    Baru tahu tentang keterbacaan ini tiga hari yang lalu mas anton. Selama ini aku kan pakenya pengaturan bahasa inggris ya, pantesan readibility selalu merah ternyata ya karena pakenya bahasa inggrisnya tulisannya bahasa indonesia. sekarang meski harus adaptasi pake bahasa indonesia (bahasa sendiri tapi ternyata butuh adaptasi ya) akhirnya beberapa tulisan bisa ijo-ijo nih, seneeeng…

    Reply
    • Pake Yoast yah.. hahaha… Iyah itu yang disebut keterbacaan.

      Kalau saya sih mikir nggak masalah sebenarnya, cuma sebaiknya memberikan terjemahannya dengan begitu si pembaca bisa tetap relate dan alurnya tidak terputus putus. Kompromi, ekspresi diri tetap jalan, pembaca juga nyaman. Dua duanya bisa untung…

      Seneng kan lihat lampu ijo.. wakakakakaka

      Reply
  8. hehehe aku kadang nyelipin dikit bahasa jawa,, dikitttt

    kalau aku baca post yang ada campuran englishnya masih bisa dipahami, baru kalau bahasa jepang, rusia, angkat tangan dah hahaha

    Reply
    • Iya lah saya juga puyeng kalau bahasa Rusia mah.. lewaatt sajaaa…

      Sebenernya sih pakai baahasa asing nggak masalah sih, asal dikasih sedikit penjelasan tentang artinya. Kalau nggak, ya bisa ada yang ga mudeng

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply