“Kill The Babies” : Prinsip Fotografi Untuk Tulisan Yang Lebih Baik

Selamat Pagi Kawan MM!

Kill the babies“. “Bunuh bayi-bayi itu”.

Kejam banget terdengarnya, tetapi saya pikir, prinsip ini akan sangat membantu sekali seseorang untuk berkembang lebih baik bila diterapkan.

Pertama kali saya membaca tentang prinsip ini bukan di dunia tulis menulis. Prinip ini saya dapatkan dari dunia fotografi. Tepatnya ketika saya membaca sebuah blog fotografer jalanan muda bernama Eric Kim, seorang fotografer jalanan asal Amerika Serikat berdarah Korea.

Katanya, kalau mau jadi fotografer yang baik, “Kill the babies!”.

Foto-foto karyanya sendiri bukan selera saya, terlalu menekankan seni dan banyak pengeditan, tetapi kalimat ini sampai sekarang pun masih terus teringat.

Prinsip Kill The Babies

Keterikatan.

Inti dasar dari prinsip ini adalah menghilangkan keterikatan saat menilai karena hal itu akan membuat biasa penilaian yang dihasilkan.

Salah satu masalah terbesar bagi seorang fotografer adalah rasa terikat terhadap karya foto yang dihasilkannya. Susah sekali untuk mengabaikan hal ini, terutama karena untuk sebuah foto sudah banyak enerji, waktu, dan usaha yang dilakukan.

Perasaan “sayang” akan seringkali hadir dalam hati. Persis seperti rasa sayang kepada “bayi-bayi” karena itulah analogi bayi dipergunakan dalam prinsip ini.

Perasaan itulah yang menghambat seorang fotografer dalam menilai hasil karya sendiri. Keterikatan itu sulit menghasilkan sebuah penilaian yang adil dan jujur.

Tetapi..

Ternyata ada efek buruknya yang hadir, baik secara nyata atau dalam bentuk tak terlihat. Rasa “sayang” ini menimbulkan dampak nyata, seperti hard disk penuh karena foto baik jelek, agak jelek, agak lumayan, lumayan, agak bagus, bagus, dan terbagus, semua disimpan.

Yang paling “berbahaya” dan mengganggu perkembangan seseorang adalah standar penilaian mereka menjadi “turun” karena berkompromi dengan rasa “sayang” tadi. Ia menjadi tidak terdorong untuk menghasilkan yang terbaik.

Semuanya dianggap sama, semua disimpan. Kebanyakan dengan alasan pembenar, “Ah, siapa tahu nanti bisa dipakai”. Padahal, pada akhirnya foto-foto itu hanya akan memenuhi ruang penyimpanan saja.

Prinsip “Kill the babies” dalam fotografi berusaha menghilangkan hambatan tersebut. Seorang fotografer disarankan untuk terus menyeleksi dan menyortir semua foto hasil karyanya sendiri.

Tidak ada kompromi.

Yang jelek dan tidak memenuhi standar bukan sekedar disimpan di tempat lain, tetapi dibuang. Delete dan lempar ke tempat sampah.

Dengan melakukan prinsip ini, seorang fotografer akan

  • membiasakan diri sendiri menilai karyanya sendiri
  • terdorong untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik (kalau tidak mau usaha, tenaga, waktu dan uang tersia-sia)
  • melatih diri untuk melihat kelemahan-kelemahan dan pada akhirnya berujung pada peningkatan kualitas diri sendiri
  • meningkatkan kepercayaan diri karena setidaknya karya yang ditampilkan adalah yang “terbaik” yang bisa dihasilkan
  • berani mengambil keputusan karena sering dihadapkan pada dua-tiga foto yang sama bagusnya, tetapi saya harus mengambil yang terbaik saja

Tentunya, menjadi efisien menggunakan kapasitas penyimpanan, yang berarti hemat dan efisien.

Itulah makna dari prinsip yang terdengar kejam. Prinsip ini mengarah pada perbaikan diri sendiri. Bukan sesuatu yang baru dan mungkin prinsip ini berkesan bagi saya karena sebagian besar sudah disadari, dipegang, dan dilakukan. Hanya, dalam bidang yang lain lagi.

Prinsip Kill The Babies dalam blogging?

Jangan jadi penelan teori dan percaya begitu saja pada apa yang dikatakan orang lain. Seberapapun tertariknya, coba dulu dan jalankan, kemudian nilai. Itu prinsip saya.

Prinsip ini menarik buat saya. Tentu saja, saya sadar bahwa pandangan ini bukanlah hal baru dan sudah diketahui dalam istilah yang lain. Hanya kata-katanya saja yang begitu mengena dan terasa pas sekali, sehingga saya teringat kembali akan banyak hal.

Dalam fotografi, yap. Harus diakui prinsip ini luar biasa membantu sekali. Setelah mencoba menerapkan prinsip ini dalam hal yang sama persis, saya memang “merasa” menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Setelah ribuan, eh puluhan ribu foto dihapus, saya terbiasa sekali menilai karya sendiri dan lebih mudah menekan tombol delete.

Sudah 100% sesuai teori? Tidak lah. Sikon Eric Kim dan saya berbeda. Ia fokus pada fotografi dan hanya punya satu blog ber-niche fotografi, saya 14 blog dengan tema beragam. Standar penilaian berbeda. Kalau semua foto diseleksi dengan prinsip “Kill the babies”, saya harus banyak bergantung pada foto dari “luar” 100%.

Saya membuat standar ganda, untuk blog bertema fotografi dan umum. Yang masuk kategori “acceptable“, saya gunakan untuk blog bertema umum sebagai ilustrasi atau menggambarkan sesuatu. Untuk yang penilaiannya lebih tinggi, baru dipakai di blog bertema fotografi.

Dengan menerapkan prinsip ini, lama kelamaan juga saya semakin sedikit memotret. Di saat awal menekuni fotografi, saya banyak sekali menekan tombol shutter. Apa yang membuat saya tertarik, ya saya potret tanpa berpikir panjang. Dalam sekali perjalanan hunting foto, ratusan foto bisa dihasilkan.

Sekarang, 30-40 foto saja sudah bagus. Kenapa? karena sekarang, sebelum memotret, saya berpikir ulang lagi, apakah hasilnya akan maksimal atau tidak. Kemudian, saya juga berpikir, setting seperti apa yang bagus (sesuai kemauan dan tujuan).

Kalau melihat hasil foto-foto dulu dan sekarang, harus diakui prinsip ini membawa kebaikan bagi diri sendiri. Foto-foto yang dihasilkan sekarang jauh lebih baik dibandingkan yang dulu. Cara pengambilan, penyampaian ide, komposisinya juga lebih bagus.

Merasa prinsip ini bagus, saya pun berpikir lebih luas lagi. Karena intinya adalah sikap mental dari kehidupan, prinsip ini seharusnya bisa diterapkan di banyak bidang lainnya.

Salah satu bidang dimana saya coba terapkan adalah dalam hal blogging, menulis, yang merupakan bagian kehidupan saya lainnya.

Bisakah?

Tidak 100%, 70% saja mungkin tidak. Banyak hal yang tidak sesuai antara fotografi dan blogging. Namun, ada bagian dimana prinsip ini bisa memainkan peranan penting dan membuat saya lebih baik (setidaknya menurut saya sendiri).

Prinsip ini harus dimodifikasi mengingat adanya perbedaan lumayan besar antara fotografi dan blogging.

Tidak mungkin menerapkan seutuhnya. Sebuah foto bisa dibuang dengan mudah tanpa meninggalkan jejak, sebuah tulisan di blog kalau dihilangkan akan mengganggu “timeline” alias lini masa. Blog akan berubah namanya kalau tulisan jelek dihilangkan dna tidak lagi menjadi “log” atau catatan. Belum ditambah berbagai hal terkait tulisan yang dihapus, seperti menyebabkan broken link bagi yang memasang tautan ke sana.

Jadi, saya hanya mengambil beberapa inti prinsip ini saja, yang poin-nya berdasar pada “Bisakah kita menjadi seorang juri yang jujur bagi diri sendiri?”.

  1. Bisakah saya tidak terpengaruh oleh rasa sayang atau apapun ketika dihadapkan pada hasil karya sendiri?
  2. Beranikah saya mengambil langkah/keputusan terkait hal itu demi tujuan akhir?

Mudah? Teramat sangat TIDAK. Bahkan, saya yang sudah terbiasa menilai sesuatu secara logis dan “tanpa perasaan” saja, yang seperti ini sulit dilakukan. Tetapi, setelah dijalani, memang ternyata setidaknya memang membawa “kebaikan” (lagi-lagi menurut saya yah).

Yang saya lakukan “berdasarkan” reminder dari prinsip “Kill the babies”, seperti di bawah ini :

Membaca ulang tulisan lama

Blogwalking saya bukan hanya ke blog orang lain, tetapi juga ke blog sendiri. Saya buka arsip tulisan lama dari pertama kali ngeblog sampai sekarang. Tulisan-tulisan yang terlupakan.

Apa yang saya cari?

Kelemahan. Kesalahan. Baik dalam hal menulis atau dengan idenya.

Saya membaca tulisan itu sebagai pembaca saja. Bahkan, hal itu dilakukan di saat saya biasa berkelana ke blog orang lain, di kereta atau saat ada waktu senggang. Saya nilai tulisan saya dengan kriteria “sekejam-kejamnya”.

Bila untuk blog orang lain, misalkan, saya beri nilai 7, maka untuk tulisan sendiri, nilainya lebih rendah 5.

Dan, sikap ini, akhirnya menemukan banyak sisi kelemahan saya dalam penyampaian ide, kalimat-kalimat rancu dan tidak jelas, terkadang ide melebar, dan masih banyak lagi lainnya.

Kalimat-kalimat kembang bahasa pun termasuk sebuah “kesalahan”, menurut saya. Oleh karena itu, ya harus dieliminasi juga.

Tulisan itu di-delete, ya tidak. Seburuk apapun tulisan di masa lalu, itu adalah pengingat saya bahwa “Saya dulu seburuk itu loh”.

Tindakan lanjutan adalah saya “memperbaiki” berbagai kesalahan di tulisan itu (terutama kesalahan pengetikan dan kalimat rancu), tanpa merubah intinya. Kemudian, di tulisan berikutnya, saya coba mengeliminasi kesalahan-kesalahan itu.

Bukankah pengeditan bisa melakukan hal ini? Ada bagian yang bisa dihilangkan dengan pengeditan, tetapi ada yang tidak. Kesalahan penyampaian, alur, dan ide, tidak bisa dihilangkan pada saat pengeditan karena saya masih “terikat” dengan tulisan itu. Saya tidak bisa berpikir “bebas” dari rasa.

Saya hanya bisa menemukan itu ketika berperan sebagai pembaca yang sebelumnya “tidak tahu” (dan bisa disimulasikan setelah saya tidak ingat lagi tentang tulisan itu).

Membunuh blog

Saya sering menyebutkan kalau saya mempunya 14 blog. Itu sekarang. Sebelumnya, lebih dari itu. Hampir 3 kali lipat. Gila yah?

Lama kelamaan saya menemukan bahwa hal itu memang gila dan berlebihan. Banyak yang sebenarnya tidak bagus juga dan hanya sekedar menuruti keinginan saja.

Prinsip KTB ini akhirnya mendorong saya untuk “membunuh sebagian bayi-bayi itu”. Vonis menghilangkannya dari “dunia” dijatuhkan pada sebagian blog. Saya delete dan buang.

Tidak “sayang” pada waktu, tenaga, dan pikiran yang sudah dihabiskan untuk mengerjakan hal itu semua? “Sayang” pastinya , tetapi kalau mereka tetap ada, fokus saya akan terus teralih. Saya akan terhambat karena terlalu banyak beban.

Jadilah tanpa ragu, saya babat saja sehingga menyisakan hanya 1/3.

Itupun, tetap masih mungkin ada pemangkasan lagi setelah melihat sikon yang ada dan mempertimbangkan tujuan/target.

Maniak Menulis termasuk dalam pertimbangan untuk dihapus?

YA. Blog ini pernah termasuk dalam kategori yang “bisa dihapus“. Alasannya karena memang tidak menghasilkan banyak, jadi untuk apa dipertahankan kalau tujuannya adalah mendirikan blog yang menghasilkan uang untuk pensiun. Belum lagi, blogging bukanlah niche yang menguntungkan bagi iklan.

Jadi, memang pernah ada niat men-delete blog ini. Ke depannya? Bukan sesuatu yang posisinya tidak bisa dipertimbangkan kembali. Hanya saja, kalau melihat perkembangannya, dimana blog MM adalah outlet yang baik untuk “berkomunikasi” dan “berinterasi” dengan kawan-kawan blogger, blog ini tidak berada dalam posisi yang diutamakan untuk dihapus.

Dia punya peran dan tujuan yang menunjang.

Blog yang sangat tidak mungkin dihapus adalah Lovely Bogor. Blog pertama, idealisme saya yang mendasarinya, menghasilkan “uang” juga. Jadi, berada pada posisi 1, alias aman dari penerapan prinsip Kill The Babies.

Kecuali, tentunya, berbeda kalau saya mau berhenti jadi blogger.

Tampilan/Template

Blog MM makin sederhana kan? Begitu juga semua blog saya yang lain. Memang tetap ada blog yang lebih “kompleks” dari Maniak Menulis, tetapi dasarnya memakai prinsip yang sama.

Yang tidak diperlukan…BUANG! Bahkan sekedar garis saja, kalau dirasa tidak perlu, ya dihilangkan.

Dulu, blog MM sudah memakai blog lumayan sederhana, Linkmagz buatan Mas Sugeng dan beberapa blog lain juga. Cepat dan sudah sangat sederhana.

Namun, saya merasa ada yang mengganjal. Banyak yang sebenarnya saya anggap “tidak perlu”, contohnya seperti tombol “dark mode”. Untuk apa? Memang kalau tampilan blog bisa jadi gelap lebih enak dibaca tulisannya? Ya tidak juga.

Widget “popular post” atau “recent post” : “Sayang kan, pengunjung jadi punya banyak pilihan tulisan lain untuk dibaca“, tapi saya melihatnya ruwet banget. Memang benar membantu, tetapi rasanya tidak enak. Jadi, ya saya hapus yang satu. Toh fungsinya bisa dijalankan oleh salah satunya.

Image : “Sayang loh kalau tidak pakai image. Kesempatan lebih besar mendapatkan pembaca dari mesin pencari“. EGP saja lah untuk blog MM karena mayoritas pembaca blog ini datang bukan dari mesin pencari. Tidak ada gunanya memajang foto di sini, kecuali memang diperlukan sebagai bagian tulisan.

Tidak ada lagi rasa “sayang” dalam hal ini. Yang tidak perlu, ya buang dan hapus. Yang tidak bagus, ya jangan dipakai.

Semua yang dipasang harus memiliki fungsi dan bukan sekedar memuaskan ego yang punya saja.

Titik.

♠♠♠♠

Decluttering.

Pilih yang bermakna, berfungsi saja. Kira-kira begitulah padanan kata (mirip banget soalnya) dari prinsip “Kill the babies“. Tidak seratus persen sama, tetapi sangat mirip karena intinya sama, membuang yang tidak perlu dan fokus pada yang membuat senang, bermakna, dan bernilai (sesuai tujuan hidup dan gaya masing-masing).

Dengan begitu, maka akan terjadi “peningkatan” nilai kehidupan yang dijalani karena berkurangnya distraksi. Kebahagiaan yang menjadi target juga bisa diraih karena fokus akan dicurahkan ke arah sana.

Prinsip yang tidak berbeda dengan “Kill the babies” yang menargetkan kebahagiaan menghasilkan foto yang lebih baik, lebih baik, dan lebih baik lagi (selain tentunya terkenal, kaya, dan sebagainya)

Istilah yang sedang ngehit banget, terutama di dunia kaum blogger perempuan.

Mayoritas blog dari kaum hawa, yang pernah saya baca, menuliskan tentang betapa pentingnya decluttering bagi kehidupan. Tip dan trik soal yang satu ini bejibun di dunia blogger perempuan.

Tidak jarang tulisan seperti ini membuat saya tersenyum dan “urat jahil” terkena. Soalnya, ada yang membahas decluttering, tetapi blognya terlihat ruwet dengan pernak pernik yang sebenarnya “tidak perlu” bagi pembaca. Hal yang berarti, yang punya blog menekankan pada pemenuhan ego diri sendiri saja.

Tidak salah sebenarnya, karena hal itu adalah masalah selera, tetapi tidak sinkron antara apa yang dikatakan dan dilakukan.

Kepingin iseng juga saya kalau baca tulisan yang membahas decluttering dengan bertanya pada yang menulis. Berapa pakaian yang Anda punya? Berapa pasang sepatu yang Anda miliki? Suka beli aksesori yang “imut-imut” kah?

Tapi, saya tidak tanyakan karena pastinya nanti ada yang tersinggung karena kesenangannya terasa terganggu.

Saya cukup sadar kalau semua orang punya konsep decluttering masing-masing. Toh itu hanya sebuah konsep yang bisa diinterpretasikan dan diterjemahkan secara berbeda. Tidak mungkin sama dengan interpretasi saya yang benar-benar seminim mungkin.

Konsep decluttering dan Kill the babies, masuk akal untuk saya karena memang selama ini, ya itu yang saya jalani sejak dulu. Beli sesuatu berdasarkan fungsi saja dan bukan karena sekedar ingin. Begitu juga dalam hal blogging, semakin ke sini, saya semakin tidak perlu banyak hal, selain menulis. Tidak perlu dipuja, tidak perlu dipuji, dikomentari syukur, tidak ya tidak masalah juga.

Namun, saya sadar juga bahwa tidak bisa diterapkan 100% saklek. Buktinya saja saya masih sering mengalah sama si Yayang di rumah, yang kadang masih gemar beli perintilan sesuatu yang bikin gatel mata saya.

Meskipun kadang saya menerapkan prinsip “Kill the babies” di rumah (dengan membuang barang nggak perlu, menurut saya) , lebih seringnya saya harus mengalah dan berkompromi.

Resikonya terlalu berat. Tidak diurusin dan dicemberutin sebulan sama si Yayang adalah resiko yang sulit ditanggung kalau saya membuang barang “tidak berguna” miliknya. Walau perlahan ternyata ia pun bisa berubah, tetapi tetap saja saya harus berkompromi dengan situasi dan kondisi.

Walaupun begitu, perlahan dan kontinyu, saya akan terus mengupayakan penerapan prinsip ini, baik dalam fotografi, blogging, dan juga kehidupan. Prinsip ini bagus sekali dan memang membantu sekali dalam pengembangan diri, termasuk sebagai blogger.

Setidaknya, saya sudah lebih tepat mengarah ke tujuan yang saya tentukan (bisa diartikan lebih baik) dan merasa lebih nyaman dibandingkan 6 tahun lalu, saat baru memulai menjadi blogger dan sebagai fotografer.

14 thoughts on ““Kill The Babies” : Prinsip Fotografi Untuk Tulisan Yang Lebih Baik”

  1. Tulisan yang menarik banget karena bawa2 fotografi.

    Istilahnya agak-agak psiko sih…mungkin sulit mengkampanyekan ini pada wanita 😂

    Mungkin istilah kill the babies bisa disamakan dengan “discarding” daripada “decluttering” ya mas. Kalau saya enggak salah tangkap. Kita membuang bukan merapikan.

    Itu memang impact fotografi digital. Kita jadi kemaruk menyimpan data. Bandingkan dg fotografi yg masih gunakan rol film.

    Salah satu solusi yg saya lakukan saat foto utk mencegah “pembunuhan thd bayi2”, yaitu seleksi di tempat. Saat dapat beberapa sekuens foto..saat itu juga saya pilih mana yg terbaik. Oya, punya memory card dlm kapasitas terbatas juga membantu memaksa kita lebih selektif.

    Ohlalala kebayang jika mas Anton katakan itu “bajunya ada brp dsb” kpd blogger perempuan yg sdg semangat promo lifestyle…pasti seru menonton kelanjutannya 😂😂

    Reply
    • Wakakakaka..sudah pasti dikau “tertarik” lah karena dua hal ini kan bidangmu.. psiko dan fotografi. Jadi nggak aneh.

      Bisa juga sih disebut discarding, cuma karena ada beberapa bagian dari Kill the Babies yang bukan sekedar “membuang” saja, makanya saya masukkan dalam decluttering. Juga karena decluttering mengandung sebagian konsep discarding, jadi Kill the Babies, pandangan saya berada di wilayah decluttering.. wakakaka.. kebanyakan konsep dan teori jadilah ruwet nyocokinnya.. btw, makasih Pheb wat inputnya..

      Yup, pada akhirnya itu sikap mental yang terbentuk, seleksi bahkan sebelum motret, seleksi di tempat dan sikap-sikap preemptive dah istilahnya mah.. wakakak Betul banget memori terbatas itu membantu sekali membatasi diri.

      Hahahahahaha.. kebayang kan? Sebenarnya nggak masalah sih kalau seorang blogger mau mementingkan lifestyle, toh jalan yang dia pilih begitu. Tapi, kalau kemudian dia bahas soal decluttering atau minimalis, hasilnya ga sinkron… Iyah nih Pheb.. Apa perlu saya coba… soalnya saya juga pingin tahu reaksinya seperti apa #kompor dikau Pheb… 😀 😀 😀

      Reply
  2. “Tidak jarang tulisan seperti ini membuat saya tersenyum dan “urat jahil” terkena. Soalnya, ada yang membahas decluttering, tetapi blognya terlihat ruwet dengan pernak pernik yang sebenarnya “tidak perlu” bagi pembaca. Hal yang berarti, yang punya blog menekankan pada pemenuhan ego diri sendiri saja.”

    Sek sek, tak ngguyu!! 🤣🤣🤣🤣🤣
    Sumpah bagian ini tuh bikin ngakak dan nyentil. Terus keinget diri sendiri, hm.. jangan-jangan ada nih hal-hal yang aku tulis tapi tidak sesuai dengan realita. Tampar aku mas!!!

    Iya tahu, walaupun Mas Anton bilang, konsep begini ya tidak sepenuhnya bisa diterapkan. Masing-masing punya caranya sendiri. Cuman berasa gimana gitu, karena yang bisa menilai kan orang lain yaak..

    Prinsip kill the baby ini sangar! Aku baru denger mas.
    Well, dari pengalamanku, sudah beberapa kali ini tiap kali mau ada sesi foto aku ngekonsep dulu. Apalagi kalau foto-foto ini berhubungan sama kerjaan. Karena bener mas, aku ngerasa berat menghapus foto-fotoku. Dan mulai beberapa waktu lalu mulai melakukan konsep supaya fotonya lebih terarah, jelas, dan dilaksanakan dalam waktu singkat dengan jumlah minimal tapi hasilnya maksimal.

    Kalau tulisan blog, aku baca juga sih tulisan yang dulu, cuman nih cuman, aku g setegar Mas Anton. Jadi tiap kali habis baca tulisan lamaku, aku kayak nyerap energinya dan aku proyeksikan ulang di tulisanku saat ini. Makanya aku g sering-sering, takut kehasut sama masa lalu. 🙈🙈

    Reply
    • Pittt… kok aku jadi serem sendiri yah baca komentarmu.. wakakaka.. Jangan keras-keras minta ditampar Pit.. hahahaha..Kalau lagi kopdar kayak gini ga? Apa jaim? hahaha

      Hem.. memang merasa Pit? Haha.. Saya tidak menargetkan seseorang, tapi memang ada beberapa blog kawan wanita yang bahas cluttering secara panjang lebar dan terkait gaya hidup minimalis. Sayangnya ada di antaranya seperti tidak sesuai antara tulisan dan realita.

      Apakah Pipit merasa demikian? Yah jawabannya biarlah Pipit atau Ira saja yang tahu. Hahaha…

      Hemm.. begitu peduli kah Pipit terhadap penilaian orang? Bagaimana kalau saya bilang Pipit begitu? Akankah dikau mau merubah mengikuti penilaian saya? Hahahahah….Kalau saya sih terus terang nggak mau tahu penilaian orang lain kepada saya. Capek nanti malah nambah beban di hati.

      Saya boleh menilai, tetapi Pipit boleh kok mengabaikan.. hahahah

      Udah lama sih Pit. Sebenarnya bukan konsep fotografi, lebih kepada pengembangan diri dalam dunia fotografi, persis seperti yang Phebie untuk mengubah mentalitas menggampangkan akibat lahirnya fotografi digital.

      Kalau untuk kerjaan, pasti saya konsep dulu lah. Hahahaha.. repot kalau nggak. Cuma, saat hunting foto di jalanan, saya biasanya memang tidak mengandalkan konsep, tetapi lebih sebagai “pemburu” yang mengandalkan diri pada apa yang tersedia di jalanan. Makanya dulu, saya agak banyak membuang foto karena benar-benar mengandalkan naluri dan apa yang ada saja di jalanan.

      Tergantung genre juga Pit karena fotografi jalanan lebih banyak sifat sporadis dan tak terencananya (karena konsep natural/alami/apa adanya). Makanya, sekarang saya ngasih waktu juga sebelum menekan shutter dan berusaha menjadi lebih jeli.

      Kenapa Pit? Kok takut kehasut? Memang Pipit yang masa lalu itu segitu jeleknya kah sampai Pipit takut pada diri sendiri? Hahahaha.. kalau saya sih melihat, ya itulah saya di masa lalu.

      Reply
  3. Kalau penilaian orang lain, lebih ke gini.. komentar berupa kritik membangun akan aku pertimbangkan, I mean.. kita tahu siapa yang berbicara di hadapan kita, jadi kalau dirasa dengan hal itu mampu mengembangkan diri, why not untuk dicoba.

    Karena sebagai manusia, kita kalau menilai diri sendiri kan bias tuh, jadi perlu ada teman atau relasi yang mengingatkan.

    Aku kalau ketemu jaim dulu mas, ngecek ombak dulu soalnya. Ntar keluar tanduk duluan, ngibrit orangnya. 🙈

    Pas ikutan 30 days writing challenge, aku sempet baca tulisanku yang dulu. Nah g tau kenapa, pas mau update postingan, gaya tulisan yang lama itu ngikut mas. Akunya kan merinding disko, kek ketempelan. Dari pengalaman itu, jadi jaga jarak, kalau mau baca postingan lama ya baca aja, g pake kegiatan lain setelahnya.

    Mas, aku tiap kali nyoba komen, udah tekan tombol submit, tapi g masuk-masuk komennya

    Reply
    • Tanduknya lagi ga keluar kan Pit? Setelah baca tulisan-tulisanmu, justru kalau ketemu dan kamu jaim aku ledekin. Nggak sesuai banget dah… Haha.. Saya kalau ketemu Pipit justru berharap bisa melihat tanduk Pipit keluar. Seriously. Kalau kamu jaim, malah aku akan paksa tanduknya keluar.

      Penilaian sendiri bisa bias bisa juga tidak Pit. Memang “biasanya” penilaian terhadap diri sendiri cenderung bias, tetapi kalau orangnya dewasa, penilaiannya bisa cukup obyektif kok. Dan, kupikir dari cara penyampaian ide dan pikiran Pipit dalam tulisan, penilaianmu terhadap diri sendiri bisa tidak bias.

      Lagi pula, penilaian orang lain pun tidak selamanya tidak bias. Kata siapa pasti obyektif dan bebas bias?

      Aku baca tulisanmu cukup banyak dari tahun-tahun awal sampai sekarang. Yang aku lihat adalah perjalanan dari seorang anak gadis yang bengal, ceplas ceplos, keras kepala dan seenak udelnya yang beranjak menjadi seorang wanita dewasa.

      Semua orang pun mengalami proses pendewasaan seperti ini, saya juga begitu. Cuma, saya mungkin sekarang sudah “menerima” bahwa begitulah saya di masa lalu, kalau dikau kayaknya masih “malu” dan “takut”.

      Kupikir kamu nda perlu takut melihat seperti apa kamu di masa lalu. Toh juga tidak ada yang menakutkan dan memalukan. Memang pemikiranmu banyak di luar keumuman (mungkin ada yang merasa jengah/tidak enak membacanya), tetapi kurasa, banyak hal yang justru menurutku bagus.

      Kalau dikau merasa “ketempelan”, ya karena kenyataannya, kamu terbentuk salah satunya dari kamu di masa lalu itu. Hal itu masih ada di kamu.

      Kalau dikau merasa “takut” wajar saja, pandangan orang dewasa dan anak gadis pastinya punya standar yang berbeda. Sebagai wanita dewasa kamu melihat kamu di masa lalu itu konyol, dan rasanya semua manusia dewasa akan begitu melihat dirinya di masa lalu.

      Sistem koreksimu bagus menurutku, makanya aku lebih suka bertanya, “Apakah Pipit merasa demikian?” Kupikir orang “sejenis” kamu tidak perlu banyak diberi penjelasan.. hahahahaha..Karena biasanya yang kayak kamu akan menelaah , berpikir sendiri, dan kemudian mengambil keputusan/solusi dari sana.

      Btw, supaya penasaranmu nda panjang, kujawab ya. TIDAK. Tulisan ini bukan berdasarkan pada blogmu. Hahahahahahaha…No embel embel..

      O ya, makasih sudah info soal kolom komentar.. dah coba aku perbaiki, kalau ada masalah tolong info lagi yah

      Reply
  4. Kill the Babies..Menurut si Eric Kim.😳😳

    Tapi menurut saya ada benarnya juga kong…Kalau kita mau maju sebenarnya lihatlah kedepan bukan melihat yang sudah pernah kita lakukan sebelumnya… Menurut si Eric janganlah kita menumpuk2 hasil sebuah photo masa lalu, Dan membadingkannya dengan hasil yang sekarang… Dalam artian mungkin kita seolah merasa karya kita atau hasil photo yang kita buat dimasa lalu selalu jadi dambaan. Yaa kalau begitu tidak akan ada perubahan pastinya.😊😊

    Dan benar juga apa yang dirimu katakan kong, Kill the Babies bisa kalau kita terapkan pada hal lain meski tidak full 100%… Tetapi makna dan tujuannya tetap sama.

    Contoh sederhana… Kita punya blog banyak hanya beberapa yang sanggup kita kelola, Yaa sisanya hapus saja. Urus yang kita sanggupi..Mungkin dengan begitu kita justru tidak terbebani. Pemikiran kita juga tidak bercabang-cabang. Dan Kill the Babies ini bisa juga kok kita terapkan dalam hal keseharian dirumah meski metodenya berbeda tetapi tetap intinya perubahan dan kemajuanlah yang kita dapat, Meski semua perlu waktu.😊

    Jadi inget dulu punya 7 blog di MWB semuanya aktif paling telat 3 hari ada post terbaru… Cuma pas MWB tutup bagi saya itu sesuatu pasti ada akhirnya…Dan artikel blog saya tidak hilang sebenarnya karena MWB menyiapkan pemidahan artikel ke blogspot dan wordpress….Tetapi saya tetap tidak minat, Karena bagi saya percuma saja. Punya blog baru dengan artikel lama yang ada cuma jadi brokenlink doang buat apa…Saya lebih memilih artikel itu hilang dan tenggelam. Dan memulai semuanya dengan yang baru.😊😊

    Tetapi ada juga sebagian blogger MWB yang memindahkan artikelnya di WP dan BP… Faktanya mereka pada malas nulis lagi cuma bisa meratapi artikel lama yang brokenlink… Setiap saya tanya tentang blog selalu menjawab “Masih enakan dulu sewaktu di Mwb”….Makanya nggak maju2 mereka sampai sekarang haaahaa..🤣 🤣 Faktanya saya sering nemu blog mati baik di WP dan BP dengan artikel2 buangan dari MWB.🤣 Artikel broken dibanggain buat apaan.🤣 🤣

    Ingin maju yaa berubah….Apa ada perbedaan pasti ada, Tinggal masalah waktu saja dan kita yang menikmatinya nantinya.😊

    Reply
    • Nah, ternyata Kangmas Satria menangkap maksudnya dengan baik. Memang kenyataannya, sistem ini membuat saya menjadi lebih baik dari sebelumnya.

      Memang butuh pengorbanan tetapi dengan begitu kita bisa menghadapi masa depan. Jadi, yah mau tidak mau memang harus dilakukan.

      Makasih banget ceritanya Tong. Saya nda bisa balas panjang karena intinya memang begitu dan begitu jugalah pandangan saya terhadap prinsip ini.

      Masih nda bisa komentar kah.. kayaknya aku harus nyari ada apa dengan sistem komentar disini, padahal ga diapa-apain..

      Reply
  5. Wuih bahasanya, seram ugha 😂

    Saya jadi kepikiran sama draft posts saya hahahahaha, soalnya nggak saya hapus karena kepikiran, sayang ah nanti bisa dipublish kalau moodnya dapat 😆 Memang sih ada beberapa yang dipublish, tapi mayoritas tetap teronggok di sana 🤪

    By the way, saya pernah baca komik Conan, yang salah satu tokohnya, seorang arsitek, membakar hasil karyanya (berupa bangunan) karena dia merasa karyanya yang itu buruk rupa 😂 Apa mungkin dia belajar Kill the Babies, ya. Wk.

    As usual, nice post, gan! Selalu suka sama pembahasan mas Anton 😍

    Reply
    • Iyah, makanya saya jadi inget banget karena bahasanya yang berbeda. Tidak teoretis dan keinget terus.

      Hahahaha… Hem.. Kalau saya tidak pakai sistem stok seperti itu sih Eno. Saya lebih suka stok ide daripada draft. Jadi nggak ganggu “mata”. paling sepet kalau lihat ada yang tidak selesai. hahaha

      Mungkin sebaliknya, yang nelurin ide Kill the babies itu yang terinspirasi. Soalnya kalau mengingat isinya, sesuatu hal yang memang banyak dilakukan orang untuk “fokus” pada satu tujuan.

      Wakakakaka.. iya sis.. makasih sudah datang kesini.. Maaf belum sempat mampir ke “rumah” yah

      Reply
  6. Dibaca dengan seksama, terus pengen melipir ke bawa meja, mengikuti hal yang sering dilakukan anak saya yang kecil, kalau dia melakukan kesalahan hahaha.

    Btw kalau untuk foto, saya belom berani dan belum punya waktu juga sih hahaha.
    Jadi tuh foto numpuuukkk aja di hardisk.
    Etapi bukan foto pemandangan atau lainnya sih, lebih ke foto narsis wakakaka.

    Gimana mau di delete, orang setiap angle itu ada kenangannya wakakak.

    Btw, saya juga dulu udah sempat banyak melempar postingan lama ke draft, cuman belom di hapus sih, masih nongkrong di draft.

    Tapi lainnya, saya pilih pertahankan, palingan di edit dengan teori SEO dikit, bahasanya tetap nggak diubah, biar saya bisa tahu bagaimana perjalanan menulis dan hidup saya *uhuk 😀

    Reply
    • Wooii jangan Rey.. kasian mejanya itu badan nggak akan muat.. hahahahaha..

      “Kenangan” ceilee… yah yang kayak gini ini yang bikin hard disk cepet penuh hahahahaha…

      Kalau postingan sih saya nggak pernah Rey. Justru disitu ada catatan perjalanan dan bukan catatan kenangan bernarsis ria.. hahahaha.. Malah jarang yang diedit kecuali typo saja yang diperbaiki.

      Reply

Leave a Reply to jingga satria Cancel reply