Mengajak Berpikir Bukan Mendikte

Selamat Pagi Kawan MM!

Jangan lupa olahraga karena badan yang sehat dibutuhkan dalam kondisi pandemi seperti sekarang yah!

Bagi yang sudah lama bergaul dengan blog MM, mungkin sudah menyadari bahwa dalam setiap judulnya, tidak pernah kata “HARUS” atau “WAJIB” digunakan. Padahal, kalau melihat perkembangan penulisan online dewasa ini, justru kata-kata itu banyak sekali dipakai, bahkan dengan tidak seharusnya.

Sebagai contoh yang banyak digunakan,

  • 7 peralatan yang WAJIB dibawa saat traveling
  • 10 hal yang HARUS dilakukan saat berwisata

Bahkan, sebisa mungkin blog MM mengurangi pemakaian kata-kata tersebut dalam bagian tulisannya.

Kenapa? Karena pemiliknya, yaitu saya lebih suka “mengajak berpikir” dan bukan “mendikte”. Lagipula, saya tidak punya wewenang untuk memaksa orang lain.

Kata harus dan wajib adalah dua kata yang bermakna “keras” alias menekan. Biasanya dipergunakan oleh mereka yang memiliki wewenang atau dilandaskan pada sesuatu yang tidak terbantahkan.

Misalnya,

  • Kamu “harus” menyeberang di zebra cross (karena peraturan hukumnya ada dan ada sanksi saat melanggar)
  • Kamu “wajib” sholat lima waktu (kalau tidak berdosa menurut aturan agama)

Kedua kata ini memiliki konotasi “pemaksaan” yang dibenarkan dalam masyarakat, mendikte dan tidak memberikan ruang untuk pilihan lain, kecuali dilakukan oleh orang yang berwenang.

Padahal, dalam judul-judul yang banyak ditemukan sekarang, sebenarnya hal itu tidak ada.

Contohnya saja dalam judul yang sudah dianggap biasa “7 Kota Yang Wajib Dikunjungi Saat Main Ke Jepang”, biasanya para blogger traveling sering menggunakan itu.

Tidak kah kita bertanya

  • Hukum yang mana yang mengharuskan pergi kesana? Apakah ada hukum di Jepang yang mengharuskan wisatawan hanya bisa pergi ke kota-kota itu?
  • Posisi si penulis itu sebagai apa? Kok bisa mengatakan hal itu sebagai sebuah keharusan bagi orang lain?
  • Terus apa sanksinya kalau tidak dilakukan? Bagaimanapun kata wajib itu berkaitan dengan sanksi yang akan dikenakan kalau sesuatu tidak dijalankan

Kalau ditelaah, ya tidak ada.

Lalu kenapa kata wajib disana digunakan?

Jawabannya cuma satu karena penulisnya ingin tulisannya “TERLIHAT” dan “TERKESAN” penting sekali. Ia memilih kata yang “KUAT/KERAS” untuk mencitrakan bahwa apa yang akan ditemukan di dalam tulisannya, sesuatu yang “LUAR BIASA PENTING”.

Padahal, isinya sebenarnya hanya sebuah saran menurut sudut pandang dia saja.

Di sisi lain, ia secara tak sadar berusaha “mendikte” pembaca agar mengikuti pandangannya. Secara halus dia ingin menampilkan pandangannya yang paling benar dan yang pandangan lain tidak usah diikuti.

Sesuatu yang sudah dianggap umum karena media resmi atau blogger kerap melakukannya.

Semua demi mendapatkan perhatian pembaca.

Padahal, disana ada banyak masalah

  • Menurunkan derajat kata harus dan wajib (tidak berbahasa Indonesia dengan benar) karena artinya diselewengkan menjadi sekedar “saran”
  • Clickbait : pernah terpikirkan kah bahwa judul dan isi seharusnya saling sesuai? Judul harus mewakili isi tulisan. Sekarang judulnya keharusan, isinya saran? Nyambung?
  • Seorang penulis, seperti blogger, seberapapun yakinnya akan opini atau sudut pandangnya, “seharusnya” tetap memandang pendapatnya sebagai subyektif. Oleh karena itu, ia harus memberikan “ruang” agar pembacanya tahu bahwa ada opsi lain yang mungkin dia pilih atau harus dia cari
  • Posisi seorang penulis seperti blogger maksimum hanya memberi saran dan masukan, keputusan akhir ada di tangan pembaca. Tidak ada hak yang memberi blogger atau penulis wewenang untuk memaksakan sesuatu kepada pembaca. Ketika kata HARUS dan WAJIB digunakan tidak pada tempatnya, hak pembaca itu dirampas

Oleh karena itulah dalam semua tulisan di Maniak Menulis, saya menghindari pemakaian kedua kata tersebut. Saya menyadari batasan maksimum sebagai blogger adalah memberi saran, menyodorkan masukan, mengajak berpikir, dan jelas bukan mendikte pembaca.

Seberapapun inginnya saya agar blog MM kedatangan pengunjung, saya menolak untuk “merampas” hak-hak pembaca dan mendikte mereka dengan pemikiran saya. Tidak ingin juga menampilkan judul yang tidak mencerminkan isi hanya sekedar supaya mereka mau membaca.

Saya juga tidak ingin masyarakat pembaca pada akhirnya menganggap kata HARUS dan WAJIB itu berarti “SARAN”. Bagaimanapun kebiasaan akan menimbulkan efek samping dalam jangka panjang.

Baca juga : Empati Kepada Pembaca? Perkecil Ukuran Laman!

Sulit terbayangkan kalau masyarakat mengartikan kedua kata itu hanya sebagai SARAN. Polisi akan kerepotan karena pandangan masyarakat tentang peraturan “WAJIB HELM” diartikan sama dengan “DISARANKAN MEMAKAI HELM”.

Seperti juga tulisan ini, tidak ada keharusan untuk mengikutinya. Semua saya serahkan kepada Anda untuk mencoba mencerna, apakah tulisan saya masuk akal atau tidak?

Atau Anda bisa memilih mengatakan kalimat klise, “Ah, itu kan sudah biasa keles, santuy saja”

Itu pilihan Anda.

18 thoughts on “Mengajak Berpikir Bukan Mendikte”

  1. Another good insight, mas ~

    Saya pribadi nggak ingat apakah saya sering menggunakan kata harus dan wajib atau nggak ada postingan saya, tapi kalau dalam judul sih nggak ada sepertinya 😂 dan saya setuju sama mas Anton, kata harus atau wajib ini memiliki penekanan berbeda, jadi pada kehidupan sehari-hari pun saya amat sangat jarang menggunakannya even sama staff, karena menurut saya, dua kata itu terlalu ‘keras’ ~ Saya lebih sering pakai, “Saya sarankan…” atau, “Kalau bisa…” yang untungnya tetap didengar 🙈

    Eh jadi merembet ke dunia nyata *maaf mas* hahahaha. Tapi memang yang mas tuliskan di atas bisa diimplementasikan ke dunia nyata 😍 soooo, terima kasih banyak untuk pengingatnya, mas ~

    Reply
    • Hahahaha.. justru saya khawatirnya dampak ke dunia nyata Mbak Eno. Banyak sekali tingkah laku masyarakat yang begitu permisif pada sesuatu yang seharusnya dipatuhi. Banyak yang menggampangkan.

      Saya pikir disana ada sebagian kontribusi dari pemakaian kata yang salah terus menerus, berulang-ulang sehingga pemahamannya menjadi tidak lurus..

      Saya sama si Kribo saja lebih suka memberikan opsi daripada mendikte.

      Reply
  2. Masuk diakal. Kalau dipikir-pikir, aku pribadi, kalau melihat tulisan “7 Hal Wajib/Harus ….” jadi merasa tergiring dengan opini sang penulis dan beranggapan bahwa semuanya ini benar, apa yang ditulis penulis udah yang terbenar. Padahal kalau diteliti ulang, nggak semuanya benar sih hahaha.
    Dan, menurutku, banyak orang di luar sana yang mengalami hal yang sama seperti aku, juga banyak yang langsung menelan bulat-bulat apa yang dibaca, jadi nggak heran kadang hoaks dan mitos bisa cepat tersebar
    *eh komentar ini nyambung nggak sih*
    *kayaknya nggak nyambung ya*
    *yauda kabur aja deh*
    *lari ala ninja*

    Reply
    • #Dah lari kan, jadi nggak perlu dibales komentarnya.

      Yah itu juga salah satunya Lia. Efeknya sebenarnya panjang bagi mindset banyak orang. Makanya saya masih concern dengan yang satu ini sebenarnya

      Reply
  3. Jadi, apakah saya harus edit judul tulisan multitasking saya, Mas Anton? Huahahaha

    Memang sesekali butuh komentar “jahil” seperti Mas Anton, biar saya banyak belajar dan bisa koreksi ke depannya. So thank you atas kejahilannya Mas 🤭

    Reply
  4. Saya taunya yang pakai kata ‘harus’ dan ‘wajib’ hanya web-web besar yang ingin narik trafik. Meskipun terkesan mendikte, saya tidak pernah ada masalah dalam penulisan kata ‘wajib’ dan ‘harus’, selagi konteksnya tepat sepertinya akan saya gunakan juga. Toh, kata tidak lahir dari kekosongan.

    Reply
    • Wahh.. berarti Mas Rahul maennya harus jauhan dikit wakakakaka.. Serius loh. Dalam circle blog yang beberapa diantaranya mas Rahul sering datangi saja, saya sudah menemukan lumayan juga masalah Harus dan Wajib

      “Konteks yang tepat” bukankah kuncinya disitu mas. Pergunakan pada tempatnya. Kalau konteksnya tidak tepat, apakah mas Rahul akan menggunakannya?

      Justru karena kita tidak lahir dalam kekosongan budaya, saya concern pada masalah yang satu ini. Kecil kelihatannya, tetapi besar dampaknya

      Reply
      • Siap mas Anton. Saya mah tidak menganggap itu sebagai sebuah permasalahan juga. Kalau dibedah dengan pisau EYD dan PUEBI, saya yakin tulisan saya juga masih bermasalah. Tapi untuk saya, tidak ada masalah.

        Kalau konteks yang tepat saja saya bilang ‘sepertinya akan’, bagaimana dengan konteks yang tidak tepat.

      • Yup, sudut pandang yang berbeda ya mas.. Cuma jadi nggak seru neh.. wakakaka… padahal pengen diskusi lebih lanjut lagi.

        Bukankah sebenarnya ini bukan sekedar masalah EYD dan PUBI karena berkaitan dengan “makna” yang berbeda. Kalau masalah EYD dan PUEBI sih sebenarnya justru hal itu sangat dimengerti karena dalam bahasa, variasi bahasa dan dialek itu banyak.

        Tapi pergeseran makna akan menyebabkan pergeseran yang banyak dalam pemikiran, tradisi dan budaya yang besar sekali. Bukan sekedar masalah ejaan yang tidak menggeser apa-apa.

  5. Sok atuh mas Anton.

    Kalau yang mau mas Anton permasalahkan adalah makna dari kata ‘wajib’ dan ‘harus’, kan sudah saya bilang, kata tidak lahir dari kekosongan. Artinya, kata diciptakan manusia (dengan niat, emosi, nilai, atensi, dll), sama juga ketika dipakai/baca (juga oleh manusia yang punya niat, emosi, nilai, atensi, dll). – Eka.

    Kalau paragraf terakhir, saya ngga nangkap poin mas Anton.

    Reply
    • Tah kitu atuh.. Hayuk

      1. Betul kita tidak lahir dari kekosongan, nah pertanyaannya, bukankah ketika kita lahir dan sudah sejak lama kata HARUS dan WAJIB itu mempunya makna, unsur penekanan bahwa hal itu adalah KEWAJIBAN. Tekanan pada nilai WAJIB dan HARUS DILAKUKAN ada di dalamnya

      Lalu, kenapa digeserkan kepada makna SARAN dan tidak MENGIKAT? Spesifik yah, karena disana ada nilai yang tidak sesuai dengan nilai yang ada.

      2. Makna dari sebuah kata bukan hal KOSONG mas karena disana ada cermin pemikiran, karakter, budaya, tradisi, pola sosial, karakter dari masyarakatnya. Sebuah kata lahir dari manusia dalam kehidupan sebagai makhluk sosial, jadi bukan sembarangan meski tidak diketahui siapa pembuatnya.

      Sebuah kata dibuat agar hubungan antar manusia itu bisa berjalan sesuai dalam sebuah sistem yang “disepakati” dan bisa diterima oleh masyarakat (menurut sistem yang ada).

      Pergeseran makna dari kata HARUS dan WAJIB bukanlah sekedar sinonim yang hanya merubah bentuk, tetapi tidak makna. Pergeseran saat ini menunjukkan pergeseran yang jauh sekali maknanya dan rentan menghasilkan perubahan dalam tingkah laku masyarakat.

      Contohnya, ya saya berikan tadi.. Bagaimana kalau nanti seorang polisi menilang pemotor yang baik ke trotoar.

      Kemudian, si pemotor menolak karena kata HARUS/WAJIB dianggap sekedar saran dan himbauan saja? Pergeseran ini sangat mungkin terjadi mengingat setiap hari mereka dicekoki judul-judul yang tidak sesuai dengan kaidah umum.

      Perubahan bentuk kata sering terjadi dalam bahasa manapun, tetapi pergeseran makna terhadap sebuah kata bisa dikata tidak pernah terjadi dalam bahasa manapun karena hal itu berkaitan dengan pola kehidupan sosial, keteraturan, dan sistem dalam masyarakat.

      Mungkin saya berpikir terlalu jauh, tetapi saya pikir banyaknya orang yang menggampangkan peraturan dan hukum di Indonesia sebagian dikontribusikan oleh pemakaian kata yang tidak sesuai konteks dan arti sebenarnya. Semua serba digampangkan untuk diubah.

      Gitu mas..

      Saya tunggu pandangannya

      Reply
  6. 1. Saya kira mas Anton typo saat respon pertama. Ternyata memang salah membaca kalimat saya. Yang saya maksud adalah ‘kata’, bukan ‘kita’.

    2. Poin no. 2 saya juga sependapat. Bahwa kata tidak lahir dari kekosongan.

    Kalau itu, saya pikir lebih cocok disebut tafsir. Diluar dari ada permainan “what if” disana, wajib dan harus sudah diketahui pleh semua lapisan masyarakat sebagai sebuah hal yang harus dikerjakan. Kita tarik dari garis mayoritad agama saja, dimana ibadah lima waktu hukumnya wajib. Kecil kemungkinan masyarakat akan menafsirkan itu sebagai sebuah saran.

    Reply
    • 1. Saya pikir juga tidak salah paham mas, karena kata dan kita tidak lahir dalam kekosongan. Kata berasal dari kita mas Rahul, manusia. Jadi, tidak akan lepas bisa lepas dari kita, makanya saya pakai kita, asal muasal kata itu berasal. Tidak akan ada kata kalau tidak ada “kita”

      Kita sendiri sebagai manusia tidak pernah lahir ketika dunia ini kosong. Kita lahir dari rahim manusia lain. Jadi, kita tidak lahir dari kekosongan adalah sumber dari kata tidak lahir dari kekosongan.

      Jangan berpikir kalau kata bisa lahir tanpa kita karena hal itu tidak mungkin. Juga jangan pernah berpikir bahwa kita lahir dalam kekosongan, karena itu tidak ada.

      Itulah kenapa manusia disebut sebagai makhluk sosial. Ini pangkal dari filosofi kata tidak lahir dari kekosongan karena selalu berkaitan dengan kehidupan manusianya.

      2. Nah, harus sudah diketahui? Siapa yang mengharuskan? Kalau kata harus sendiri digeser menjadi bermakna “saran”. Jadi, saya bisa menerjemahkan kalimat mas Rahul kalau “harus sudah diketahui” menjadi “disarankan untuk diketahui”. Apakah mas Rahul bisa menerima? Kayaknya sih nggak ya mas?

      Pasti meradang lagi kalau saya katakan sholat itu “disarankan” bukan wajib? Padahal, kalau mau fair, mas harus menerima karena saya menggeser makna kata seperti yang mas sudah setujui dan bisa terima. Bahwa harus dan wajib boleh diartikan sebagai saran.

      Maaf itu bukan permainan “what if”. Juga bukan berandai. Fakta di lapangan adalah banyak yang menerjemahkan harus dan wajib sebagai saran atau himbauan yang tidak mengikat. Jadi, di lapangan kenyataan itu ada. Lalu kenapa disebut permainan? Ataukah fakta seperti itu terlewat oleh mas Rahul? Seperti mas menyebutkan bahwa “cuma” media berita besar yang memakai kata harus dan wajib tidak pada tempatnya

      Saya malah bingung kalau mas Rahul menganggap itu sebuah permainan karena fakta di lapangan menunjukkan bahkan kata sekedar “wajib masker” diterjemahkan menjadi “saran” dan banyak yang menolak memakainya.

      Ironis saja buat saya ketika mas Rahul berkata menganggap wajar pergeseran makna, tetapi disisi lain berharap orang tahu beda “harus” dan “wajib” yang artinya mengikat. Yah, boleh dibilang buat saya sih cermin ketidakkonsistenan.

      Juga, merasa janggal juga kalau mas tidak sadar bahwa “kata” itu berasal dari “kita” pada poin satu. Karena tidak akan pernah ada kata kalau tidak ada kita mas.. Kira-kira mas Rahul sadar nggak tentang itu? Bukankah saya sudah jelaskan juga bahwa dalam kata itu tercermin tata nilai, sistem dalam kehidupan manusia, dan sebagainya.

      Kata adalah bagian dari kita mas.. Tidak berdiri sendiri.

      Bisa sampai kah ke sini? Atau berkutat pada perbedaan pemakaian kata dan kita saja? Memandang sebuah filosofi pada titik permukaannya saja sebenarnya sebuah langkah yang tidak tepat, mas harus coba menggali arti lebih dalam dari filosofi tersebut dan bukan sekedar bergelut di permukaan saja. Lalu kaitkan dengan manusia, karena filosofi itu tentang manusia dan bukan benda mati. Benda mati tidak bisa berfilosofi, tetapi manusia bisa.

      Nah, itu pandangan saya.

      Sebelum mas merasa tersinggung , karena ini dalam diskusi, saya membebaskan diri sendiri untuk menggunakan gaya bahasa yah. Jadi, bukan karena marah atau kesal, tapi saya perlu menekankan betapa banyak kejanggalan dalam pernyataan mas…tidak sinkron (menurut saya), silakan dibantah

      Reply
  7. 1. Oh, ternyata dibawah ke ranah filsafat. Saya kira mau didefinisikan secara eksplisit saja biar sayanya juga bisa ngerti.

    2. Kalau mau mempermasalahkan wajib dan harus yang akan ditafsirkan sebagai saran, saya rasa memang tidak bisa menerimanya.

    Kalau memang tidak berandai, artinya saya cukup salah menafsirkan kalimat “bagaimana kalau” dari mas Anton. Ohya, saya juga baru ngeh kalau beberapa orang menafsirkan “wajib masker” adalah sebuah saran, bukan perintah. Karena, tidak ada saran yang dibarengi dengan pemeriksaan.

    Menyangkut masalah ‘kata’ dan ‘kita’, kayaknya saya akan skip dari topik itu. Disamping dari saya yang belum cukup ngerti teori itu, saya juga mau bilang bahwa diskusi ini mungkin akan berakhir tidak sehat jika diteruskan lagi. Untuk tanggapan terakhir ini, saya cuma ingin bilang terimakasih sudah menjadi teman diskusi yang menyenangkan mas Anton. Jika ada kata atau redaksi kalimat yang kurang berkenan, mohon dimaafkan 😁

    Reply
    • Nggak mas.. makasih banyak sudah mau berdebat dan berdiskusi dengan saya.. Terus terang, saya malah merasa senang.

      Meskipun saya sekarang sudah mengerti jalan pemikiran mas Rahul. Hahahaha..

      Tidak ada yang perlu dimaafkan, karena saya sebenarnya memang sering menunggu kesempatan seperti ini, berdiskusi dan saling mengutarakan pendapat.

      Hahaha.. maaf kalau gaya saya terlalu keras ya mas.. Karena saya pikir dengan begitu, saya akan mendorong mas merespon lebih terbuka…

      Oke mas.. saya berterima kasih atas kesempatannya untuk bisa bertukar pikiran..

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply