Influencer : Bukan Sebutannya Yang Penting

Influencer : Bukan Sebutan Yang Penting

“…We’re all influencers, and that question is, when people come to your page: Do they walk away better or worse?.. (Kita smeua adalah influencer, dan pertanyaannya adalah ketika orang datang ke laman kita: Apakah ketika mereka pergi, mereka menjadi lebih baik atau buruk)”~ Prince Ea

Filosofis.

Sangat mungkin sulit untuk dipahami oleh masyarakat era digital seperti sekarang. Bukan tidak mungkin pernyataan ini dipandang sebagai sebuah bentuk alasan dan pembenaran dari seorang yang gagal tenar saja.

Tapi…

Sebenarnya, kalau kita mau sejenak meluangkan waktu dan mencoba menelaah, pernyataan ini akan memperlihatkan sebagian inti dari bagaimana manusia seharusnya. Kutipan pernyataan ini bukanlah berasal dari orang sembarangan. Mungkin ia kurang terkenal di Indonesia dimana masyarakatnya mendewakan budaya pop dan instan, tetapi ia adalah seorang antropologis, musisi, dan motivator yang punya nama.

Bukan berasal dari orang yang gagal menjadi terkenal dan kemudian mencari alasan untuk kegagalannya.

“…We’re all influencers….

Kata influencer sendiri adalah kata yang sudah umum dipakai, bahkan di banyak negara yang tidak memakai bahasa Inggris, seperti Indonesia.

Kata ini diasosiasikan dengan ketenaran, kepopuleran, dan kekayaan. Mendengar kata ini akan membawa pikiran banyak orang kepada akun Instagram, Facebook, Twitter, atau media sosial lain dengan jumlah follower / pengikut yang bejibun.

Banyak orang bermimpi untuk mendapatkan status influencer. Bagi mereka, influencer adalah mimpi yang harus dikejar dengan berbagai cara, bahkan kalau perlu dengan menjatuhkan atau merendahkan orang lain demi mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya.

Padahal, sebenarnya tidak demikian.

Jika kita mau coba melihat isi dibandingkan kulit, kata ini sebenarnya merupakan kodrat yang ada dalam diri setiap manusia. Setiap manusia lahir, sejak awal ia sudah ditakdirkan sebagai seorang influencer.

Bingung ?

Cobalah sedikit merenungkan apa yang terjadi ketika seorang bayi lahir ke dunia, bahkan kalau mau sebelum seorang bayi dilahirkan. Apa yang terjadi? Mayoritas manusia akan berbahagia menanti dengan tidak sabar sang bayi untuk lahir, yang lain merasa cemas dan tidak berharap hal itu terjadi.

Pasangan suami istri akan berusaha mempersiapkan segala sesuatu meski sang bayi belum lahir. Yang lain akan berusaha dengan berbagai cara agar ia tidak pernah keluar dari kandungan ibunya.

Di dalam perut pun, kehadiran seorang manusia sudah akan “mempengaruhi” kehidupan manusia lainnya.

Kaitkan dengan arti dari kata influencer sendiri yang artinya “orang atau sesuatu yang bisa mempengaruhi orang lain”. Seorang bayi sekalipun, secara langsung atau tidak sudah bisa mempengaruhi kehidupan orang lainnya, bapak ibu, kakek nenek, adik kakak, dan sebagainya.

Ketika ia lahir, semakin besar pengaruh dirinya terhadap orang di sekitarnya, guru, tetangga, dan banyak orang lainnya akan ikut terpengaruh.

Kata pertama yang keluar dari anak balita bisa mengharu biru dan menimbulkan rasa bahagia tidak terhingga bagi ayah dan ibunya. Saat ia bisa berdiri, sang ibu bisa terharu dan mengeluarkan airmata bahagia. Di kala seorang bayi sakit, cemas, sedih, takut akan merasuki hati orangtuanya.

Itu adalah contoh kecil bahwa manusia adalah seorang influencer bahkan sejak ia masih di dalam perut.

Beranjak dewasa, seorang manusia akan bisa mempengaruhi orang lain dalam bentuk lebih banyak. Seorang anak bisa mempengaruhi orangtuanya untuk bekerja lebih keras atau melakukan korupsi. Bisa membuat kedua orangtuanya bangga atau patah hati.

Seorang wanita bisa membuat manusia lain, seorang pria bekerja siang malam hanya dengan kata-kata lembutnya. Seorang pria bisa membuat wanita bertekuk lutut dengan kata-kata romantisnya.

Dan, masih banyak lagi hal dalam kehidupan sehari-hari yang menunjukkan bahwa pada dasarnya setiap orang adalah seorang influencer, disadari atau tidak.

Setiap hari selalu ada kejadian dimana manusia menjadi influencer bagi manusia lainnya.

Semua itu terjadi karena mempengaruhi orang adalah kodrat dari seorang manusia.

Sayangnya, dalam peradaban dimana kapitalisme merajai, kata tersebut mengalami penyempitan makna. Paham yang mengagungkan besaran angka dan jumlah menggiring pemikiran manusia bahwa butuh lebih dari sekedar menjadi manusia untuk menjadi influencer.

Kodrat manusia dinafikan.

Tidak lagi cukup hanya menjadi manusia untuk menjadi influencer. Butuh angka dalam bentuk follower / pengikut agar gelar yang sebelumnya gratis bisa disematkan pada diri seseorang.

Padahal, dengan begitu terjadi pengkastaan manusia.

Yang tidak punya follower di medsos adalah manusia biasa. Yang punya ribuan follower di akun medsosnya influencer pemula, puluhan ribu kelas menengah, ratusan ribu kelas atas, dan jutaan pengikut influencer premium.

Khas kapitalisme dimana segala sesuatu diukur dengan angka.

Mungkin itulah yang membuat apa yang dikatakan pria bernama asli Richard Williams ini akan sulit dipahami oleh masyarakat yang dijiwai kapitalisme. Meski ia mengatakan sesuatu yang merupakan kodrat manusia, di tengah masyarakat yang terbiasa melihat kulit saja, pernyataannya sangat mungkin dipahami sebagai omong kosong saja.

“…and that question is, when people come to your page: Do they walk away better or worse?”

Ingat kasus Ferdian Palenka, youtuber yang membagi sampah kepada para banci di Bandung?  Walaupun kasusnya berakhir damai, tetapi kasus yang satu ini dengan tepat menggambarkan pernyataan berikut dari Prince Ea.

Pengejaran terhadap status influencer, ketenaran, kekayaan, jumlah follower, mendorong orang terfokus pada kata-kata ini saja. Mereka mengabaikan berbagai hal lain, seperti norma, etika, sopan santun, baik, dan buruk.

Ia tidak peduli kalau kontennya akan menyinggung orang. Tidak peduli kalau penghinaan yang dilakukannya bisa dicontoh orang lainnya.

Ia tidak peduli kalau orang lain menirunya dan memandang menghina orang lain sebagai kewajaran. Ia tidak menaruh perhatian ada orang lain yang menjadi manusia yang “buruk” akibat konten yang dibuatnya.

Yang penting, selama ketenaran hadir, ia tidak peduli akan hal itu.

Bukan hanya Ferdian saja sebenarnya.

Banyak sekali konten yang dibuat oleh blogger tidak mempedulikan efek dan imbasnya kepada para pembacanya. Selama pembaca datang ke website, membaca tulisannya, ya sudah. Yang penting Google Analytics atau statistik menunjukkan grafik menanjak dan yang menulis menjadi tenar.

Tidak peduli jika setelah membacanya ada orang yang terinspirasi berbuat keburukan, yang penting, yang menulis mendapat follower dan pembaca. Selebihnya terserah pembaca dong.

Padahal, sebelum membuat konten, seorang blogger, youtuber, atau siapapun akan selalu punya pilihan. Ia bisa mengarahkan / menginspirasi orang menjadi “baik” atau menjadi “buruk”.

Jika Anda secara bercanda mengatakan menghina orang lain tidak apa-apa selama iseng, jangan pernah berpikir bahwa tidak akan ada orang yang percaya terhadap perkataan Anda.

Seorang anak remaja masih sangat mungkin untuk terilhami oleh perkataan tersebut dan menganggapnya wajar. Ia bisa kemudian meniru dan melakukannya kepada orang lain.

Kodrat manusia sebagai influencer memang selalu menyediakan kedua opsi itu kepada semua orang. Secara otomatis, pembuat konten, yang juga manusia memiliki pilihan tersebut.

Pilihan itu selalu ada bagi siapapun.

—-

Blogger , sebagai manusia, dan sebagai pembuat konten, mungkin harus selalu mengingat pernyataan si “Pangeran Bumi” ini.

Mengejar status influencer tidak seharusnya menjadi tujuan utama karena pada dasarnya sudah ada dalam diri manusia. Hal itu bukanlah hal penting yang harus menjadi perhatian utama. Toh, tanpa status itu, sebenarnya kita memang bisa dan akan terus mempengaruhi orang lain.

Jangan sampai pengejaran terhadap status ini membuat kita lupa akan sesuatu yang lebih penting lagi, yaitu menentukan salah satu dari dua pilihan, yaitu membuat pembaca (pengunjung blognya) menjadi orang yang lebih BAIK atau BURUK saat ia meninggalkan blog kita.

Tapi..

Pilihan ada di tangan Anda, bukan saya.

Bogor, 9 Juni 2020

22 thoughts on “Influencer : Bukan Sebutannya Yang Penting”

  1. Betul. Sejatinya tulisan bisa membawa kita pada kebaikan atau keburukan. Hidup adalah pilihan. Pemikiran semacam ini pula yang bikin saya mikir dua kali sebelum tulisan dipublish.
    Karena seringkali tulisan menimbulkan efek diluar dugaan. Bahkan bagi penulisnya sendiri.
    Saya jadi ingat tulisan saya sekitar 10 tahunan yg lalu ternyata mampu membuat seorang mahasiswa dari keluarga tidak mampu berhasil masuk Perguruan tinggi. Dan sampai sekarang efek tulisan itu masih saya rasakan. Padahal sudah lama sekali. Dari situ saya sadar, kita bertanggungjawab atas apa yg terjadi di sekitar. Apa yang kita anggap biasa bisa jadi begitu berarti bagi orang lain. Satu hal yg saya ingat sampai kini, jangan pernah bermain2 dengan tulisan. Atau akibatnya rasakan sendiri.

    Reply
    • Kita tidak pernah tahu kemana tulisan kita bisa mendorong seseorang, tetapi kita bisa mencoba menginspirasi mereka agar mengarah ke "kebaikan" dan bukan sesuatu yang jelek.

      Sebisa mungkin kita harus bisa menghasilkan sesuatu yang "positif" dan bukan sekedar mengejar apa yang kita mau.

      Salut untuk Mbak Santi yang sudah bisa mendorong orang lain untuk berprestasi, semoga saya bisa menirunya

      Reply
    • Tuhhhh….Dengerin Pak apa kata Mbak Santi,Jangan Main – Main dengan tulisan. Hahaha……

      #Kaburr ahhh…soalnya ada tulisan yang belum kelar -kelar di tulis.Ntar ada yang nagih , hahah….

      Reply
  2. Tapi memang kehidupan ini ada yang namanya plus dan minus ya Pak.
    Sama dengan dunia nyata di mana banyak yang memilih kebaikan, ada juga memilih jalan yang belok-belok, demi tercapaiya sebuah tujuan, demikian juga dengan dunia maya.

    Dan mungkin bisa dikatakan, terlebih dengan zaman sekarang, di mana dunia maya udah nyaris jauh lebih ramai ketimbang dunia nyata, persaingan semakin ketat, semakin aneh-anehlah orang demi bisa tampil di atas.

    Dari yang namanya settingan, konten nyeleneh atau lainnya.

    Yang bisa kita lakukan emang terus berusaha menampilkan hal-hal positif, kalaupun memang ada tuntutan pedapatan, setidaknya tidak terlalu menyimpang dari norma yang ada 🙂

    Reply
    • Perkembangan dunia memang selalu menghadirkan dinamika baru Rey. Persaingan memang ketat, tetapi pilihan tetap sama, apakah mau pembaca / pemirsa kita menjadi lebih baik atau lebih buruk? Pilihannya tidak berubah.

      Kalau kita mengedepankan sekedar viewer, hasilnya kita kerap mengabaikan banyak hal dan terfokus hanya pada pengejaran popularitas dan duit saja. Tapi, disadari juga kalau terlalu menekankan idealisme hasilnya mungkin uang dan ketenaran tidak didapat.

      Saya rasa selalu ada sisi kompromi atau mencari keseimbangan dalam hal ini, tapi dengan tetap mengedepankan sebuah kesadaran bahwa setelah pergi dari blog kita, seseorang harus menjadi lebih baik dan bukan lebih buruk.

      Saya pilih tetap berada di jalur dan norma yang ada dalam berbagai hal. Saya pasti tidak akan bersih dari kesalahan, tetapi jangan sampai kesalahan itu disengaja

      Reply
  3. Baca artikel ini sambil ngangguk2 setuju. Apalah arti influencer dg semilyar followers kl perbuatan kita malah berdampak buruk buat sekitar. Sedih bgt sih pas kasus yutuber itu, huhu
    Semoga kita sbg blogger nggak hanya berkarya demi viewers semata, tp lebih ke konten tg berkualitas. Aamiin

    Reply
  4. makanya pas pelajaran sosiologi dulu ada yang namanya imitasi, sugesti, dan kawan-kawannya. lupa sana namanya apa yang jelas kalau enggak salah proses meniru

    ini yang bikin saya juga enggak habis pikir kenapa status influencer begitu diinginkan banyak orang terutama kaum muda
    padahal, dengan kebaikan yang ia tebar dan karya yang ia suguhkan, meski sederhana, ia adalah influencer sejati.

    tulisan yang bagus pak
    salam kenal

    Reply
    • Salam kenal Ikrom..

      Yang itulah budaya populer yang mengedepankan "kulit" dibandingkan isi. Rasanya juga disebabkan kapitalisme yang seperti tak terbendung terus merasuki jiwa setiap manusia.

      Reply
  5. Ahh… ternyata influencer bawaan lahir…. betul juga yah.. gak perlu pusing sama istilah ini sebetulnya. Setiap hari kita juga influencer bagi teman dan keluarga terutama.

    Termasuk pak Anton ini salah satu yang ikut mempengaruhi dunia blogging saya.

    Reply
    • Mas juga influencer buat saya karena ada bagi pemikiran saya yang hadir karena bermain ke blog mas dan membaca berbagai tulisan disana.

      Reply
  6. OMG, kata-kata pembukanya nusuk banget. Emang sih ya, banyak yang pengen punya status influencer karena ngga bisa dipungkiri hidup jadi influencer itu bisa ngasilin duit yang ngga sedikit. Modal posting doang bisa dapet ratusan ribu bahkan jutaan. Jadinya kek nemu jalan pintas untuk hidup enak. Ngga sama kayak dulu kalo mau hidup enak mesti sekolah, mesti kerja dari pagi sampe sore. Yaaah, dunia udah berubah. Apapun itu, saya jadi bisa ngambil positifnya berhubung kita disini sebagai blogger, yang bisa jadi influencer bagi pembaca blognya, yah udah sebaiknya kita ngasih artikel positif juga. 🙂

    Reply
    • Welcome ke Maniak Menulis Mbak… hahaha.. disini memang diusahakan tanpa basa basi.

      Yap, usahakan yang terbaik agar orang terdorong menjadi lebih baik dan bukan lebih buruk saat datang ke blog kita

      Reply
  7. sampai saat ini justeru saya masih tergeleng-geleng sama followernya yg bisa bejibun itu. Heran aja. Sekarang ini kebanyakan yg mencoba diiunfluence itu bukan karena kelebihan (pengetahuan) maupun skillnya, namun lebih kepada materi, penampilan dan gaya hidu[ mevvah.

    Dulu saya nggak ngerti endorse artis kok bisa bejibun, oh ternyata ya karena memang followernya bnyk. tapi kbnykn "influence" hanya berkisar itu2 saja.

    Makanya, sampai saat ini saya tidak memiliki ketertarikan utk memfollow orang2 yg katanya influencer. Cukup meyakini bahwa kita, seperti yg mas Anton bilang , untuk menjadi influence yg mampu mempengaruhi diri sendiri.

    Reply
    • Budaya populer memang makin digandrungi…Menebar impian mbak dan bukan pengetahuan.

      Saya juga ga follow akun-akun kayak gitu dna pilih jalan saya sendiri

      Reply
  8. intinya influencer itu seseorang yang bisa memberikan pengaruh pada kita ya, pastinya memberi pengaruh yang baik.. saya sebenernya juga heran mas dengan anak-anak jaman sekarang, mereka seperti membenarkan banyak cara untuk mendapatkan apa yang di inginkan, tidak peduli baik dan buruk nya pada sekitar, termasuk saya sendiri juga seperti itu kadang 😀

    Reply
    • Betul, influencer itu seseorang yang mempengaruhi orang lain.

      Mungkin karena perkembangan juga mas Khanif. Pola pendidikan. Kebiasaan dan lingkungan. Tantangannya memang disana. Bisakah kita menjadi influencer yang baik dan mengarahkan orang ke hal positif

      Yuk kita coba bareng-bareng

      Reply
  9. Wah.. Keren mas…👍memang zaman sekarang ini segala sesuatu dinilai berdasarkan angka atau dari luarnya saja dan mengabaikan arti yang sebenarnya. Dan demi angka yang bagus itu orang rela melakukan apa aja, nggak peduli kalau itu bikin orang lain rugi. Ckckck… Secara nggak langsung mereka juga lupa sama tuhannya.

    Saat saya menulis sebuah artikel, saya harap artikel saya bisa bermanfaat buat orang lain, walaupun cuma sekedar menghibur😊

    Reply
    • Saya sih percaya kalau Mbak Astria termasuk influencer yang baik. Soalnya sebenarnya sudah sering baca tulisannya, cuma kadang jadi jelangkung, tidak meninggalkan jejak hahaha.. maaf, abis sering lupa

      Reply
  10. Sebelumnya kan Mas Anton sudah membaca tulisan saya terkait angka-angka jahanam, jadi itu pun cukup menyimpulkan bahwa saya juga tak peduli sama jumlah pengikut seseorang. Biar kata pengikut dia cuma puluhan, selama bisa bikin saya tertarik mah bakal saya ikuti dengan senang hati. Lagi pula, saya juga benci pesohor yang mendewakan angka pengikutnya.

    Dulu saya sering berpikir bodo amat sama tulisan di blog. Lah, blog-blog saya, terserah dong mau diisi sama tulisan apa. Syukurlah dua tahun terakhir ini bisa lebih mengontrol diri. Saya sebisa mungkin mengurangi hal-hal yang bersifat negatif, apalagi tak bisa dimaklumi oleh diri sendiri. Sekarang saya gemar menyaringnya. Sebelum benar-benar ditampilkan kudu ada pertimbangan. Namanya pengunjung blog kan belum tentu semuanya dewasa dan bisa mengambil baiknya maupun membuang buruknya. Bagaimana jika ada bocah yang menyasar ke blog saya? Di situlah ada tanggung jawab terhadap pembaca. Agar seminimal mungkin tidak memberikan pengaruh buruk.

    Reply
    • Terus terang membaca tulisan mas Yoga itu menyenangkan memberi wawasan baru. Meski kadang jujur saja termasuk topik yang agak berat dan bukan populer, tetapi buat saya yang selalu mencari hal baru senang melihat jenis tulisan yang berbeda dan punya karakter sendiri seperti itu.

      Tidak umum. Ngajak mikir.

      Saya pikir memang seharusnya begitu. Kebebasan berekspresi tidak harus selalu berarti tanpa batas, terkadang kita harus secara sukarela membatasi diri sendiri demi sesuatu yang lebih baik.

      Saya cukup salut dengan keberanian mas Yoga menekankan pada sisi idealisme mas dibandingkan sekedar mengejar follower. Setidaknya saya merasa punya teman dalam hal ini.. hahahaha

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply