Menulis Itu Menyembuhkan

Writing is healing. Menulis menyembuhkan.

Paling tidak itu merupakan hasil penelitian dari Asosiasi Psikolog Amerika Serikat. Dalam sebuah penelitian yang melibatkan sekelompok orang dengan penyakit berat, seperti HIV/AIDS, Asma dan Artritis, ditemukan bahwa kebiasaan menulis ternyata membantu meningkatkan sistem imunitas dari mereka yang melakukan kegiatan ini secara rutin.

Padahal, mereka hanya diminta untuk menuliskan perasaan, pengalaman, dan berbagai hal kecil dalam kehidupan mereka. Tetapi, hasilnya ternyata, selain memperbaiki kondisi psikis, emosi, juga membantu peningkatan ketahanan tubuh.

Kalau ada yang mau baca, silakan langsung tulisan berjudul “Writing to heal” ini (dalam bahasa Inggris).

Menulis Itu Menyembuhkan Dan Membantu Menjaga Kewarasan

Saya “Sakit”

Tapi, saya belum pernah merasakan secara langsung manfaat menulis yang satu ini. Alhamdulillah, sejauh ini saya sehat-sehat saja dan tidak memerlukan terapi menulis. dalam artian benar-benar pengobatan.

Hanya saja, pengalaman selama #dirumahaja memberikan sedikit gambaran bahwa memang benar adanya menulis itu memberikan dampak positif, setidaknya memperbaiki kondisi psikis seseorang.

Terkurung di rumah selama hampir 40 hari terus menerus tidaklah memberi pengaruh baik bagi seseorang. Apalagi, kalau orang tersebut terbiasa beraktivitas dan bekerja di luar. Berada di dalam

Terus terang saja, hampir sebulan penuh kepala saya terasa penuh dan sulit berpikir. Analisanya memang karena kebosanan, tekanan kekhawatiran dan kecemasan, berkurangnya interaksi sosial, dan tambahan sedikit rasa “kangen”, menyebabkan otak dan hati seperti mesin yang berkarat.

Tidak bisa bergerak dan berpikir.

Jangan tanya tentang masalah blog deh. Boro-boro menelurkan postingan baru. Terkadang, meski laptop menyala, tangan saya hanya bermain dengan mouse dan membuka website-website lain saja. Tidak jarang juga saya membuka sebuah blog bukan untuk membaca, tetapi hanya sekedar ingin tahu saja.

Lebih menyebalkannya lagi, banyak blog yang biasa dikunjungi tidak lagi menerbitkan tulisan baru. Jadi, tidak ada “kesegaran’ yang bisa didapat.

Padahal, saya punya buku dan catatan tentang ide yang bisa dijadikan bahan tulisan. Seharusnya mudah sekali untuk mengolahnya, tapi hal itu saya tidak lakukan. Buku catatan hanya dibuka, dilihat, dan ditutup lagi.

Itu saja dan dilakukan berulangkali. Memang, masih untung ada pekerjaan kantor yang harus dikerjakan, meski tidak banyak, tetapi otak masih dipaksa untuk beroperasi meski di bawah kapasitas normal.

Pikir punya pikir, saya harus mengakui bahwa saya sedang “SAKIT”.

Bukan secara fisik. Secara fisik semua normal-normal saja. Makan saya tetap banyak, terutama karena mantan pacar tersayang benar-benar berusaha memastikan orang-orang tersayangnya tetap dalam kondisi fit dalam situasi sekarang. Tidak juga ada gejala-gejala sakit.

Tetapi, manusia bukan hanya terdiri dari fisiknya, ada sisi lain, yaitu sisi psikis atau kejiwaan.

Dan, rasanya suasana suram bin muram pandemi Covid-19 mulai menggerus bagian yang satu ini dan menimbulkan dampak negatif.

WFH (Work from home) memang menyenangkan, secara kasat mata. Sayangnya, disana banyak sekali hal yang tidak terlihat. Kekhawatiran akan nasib perusahaan tempat mencari nafkah, kecemasan akan terjadinya penutupan perusahaan terus menggelayut setiap hari. Apalagi informasi yang berkaitan dengan keuangan perusahaan yang drop karena berkurangnya order terus diterima tanpa henti.

Tekanan semakin besar setiap harinya. Terlebih berita mengenai jutaan orang yang sudah kehilangan pekerjaan seperti tak henti hadir di depan mata.

Semua ini menghadirkan sebuah rasa cemas yang tidak kunjung berakhir. Terlebih ditambah dengan kenyataan bahwa bocah kesayangan kami, si kribo cilik akan kuliah, yang artinya butuh biaya besar. Hal yang akan terhambat kalau sesuatu terjadi pada tempat dimana saya mencari nafkah.

Rasa khawatir dan cemas tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai orangtua terus bertambah setiap harinya. Rasa yang pada akhirnya seperti menjadi beban tersendiri dalam hati.

Secara fisik, ya saya tetap sehat, tetapi secara psikis, dampak pandemi Corona tak henti menerjang dan mengikis semua ketenangan yang ada.

Psikosomatik/psikosomatis. Istilah itulah yang muncul di kepala, yaitu penyakit “kejiwaan” yang diakibatkan kecemasan/kekhawatiran yang berlebihan.

Meski bukan dokter atau tenaga kesehatan, saya berani mengambil kesimpulan, itulah yang sedang saya alami sekarang. Ketidakpastian apa yang akan terjadi menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan, dan kemudian menghadirkan tekanan dalam hati.

Memang, masih dalam level ringan saya rasa. Jika membaca berbagai tulisan tentang yang satu ini, pada tingkat yang berat, seseorang bisa mengalami gangguan fisiknya juga, seperti keram perut dan sebagainya. Saya belum sampai tahap tersebut, masih hanya kepala yang susah diajak mikir.

Mirip dengan yang pernah saya alami, belasan tahun yang lalu.

Sekitar 14 tahun yang lalu, perusahaan tempat saya bekerja gonjang ganjing dan mengalami kerugian terus menerus. Pada masa itu, kekhawatiran yang sama juga hadir dan menimbulkan dampak yang tidak berbeda dengan yang sedang dihadapi sekarang.

Itulah mengapa saya berani mengatakan saya memang sedang “SAKIT”.

Menulis Itu Menyembuhkan

Ketika Menulis Menjadi Obat

Lumayan lama juga saya tenggelam dalam kebingungan dan situasi seperti ini. Satu bulan kurang lebih, kepala rasanya “penuh” , berat dan otak seperti malas bergerak.

Sampai, satu waktu, sekitar 10 harian yang lalu, saya membuka blog personal yang memang dilahirkan tanpa tujuan “jelas”, Blog Si Anton.

Blog ini memang sengaja dibuat sekedar untuk menuliskan hal-hal terkait diri saya dan keluarga. Kerap juga dipakai untuk menuliskan uneg-uneg, kejengkelan, atau apapun yang menurut saya tidak bisa dimasukkan ke dalam blog di Lovely Bogor Network.

Tidak dimonetisasi. Tidak rajin diupdate karena setelah dilihat isinya terakhir kali adalah tanggal 27 Juli 2019. Sembilan bulan yang lalu.

Dimulai dengan iseng mengutak atik template, sekedar karena tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk menulis lagi disana.

Tidak berdasarkan teori. Isinya seenak udelnya saja. Mulai dari hanya sekedar foto yang dijepret beberapa tahun yang lalu, sampai dengan celotehan kekesalan terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan wabah Corona ini.

Tidak pakai segala macam kata kunci dan teoori SEO. Pokoknya, sekedar menulis, dan menulis saja. Selain itu saya juga mengisi blog yang bertema sama, tetapi dalam bahasa Inggris, Blogopix. Bisa dikata ini kembaran beda bahasa saja.

Saya cuma menulis, menulis, dan menulis saja. Apa yang ada di kepala, ya saya tuliskan. Itu saja. Kadang hanya berupa kutipan saja, kadang panjang juga. Pokok’e, seenak udelnya sendiri saja.

Ndilalah, kok setelah menulis dengan cara begitu, kepala menjadi seperti terasa lebh ringan. Hati juga agak lapang. Semua menjadi terasa lebih “ringan”, walau logika mengatakan sebenarnya situasi di dunia masih ribet dan mencemaskan.

Hanya saja, di dalam diri sendiri ada sedikit perasaan lega. Ujungnya mesin di kepala, otak, seperti perlahan mulai bergerak dan beroperasi kembali. Masih pelan sekali karena “karat”nya masih disana sini, tetapi semua seperti mulai bergulir.

Memang, terkadang, sang “mesin” berhenti kembali. Sesuatu yang bisa dimaklum karena gir-nya, baut, dan murnya semua masih karatan, tetapi ketika dipaksakan untuk menulis lagi secara bebas seperti tadi, perlahan tapi pasti, mesin itu mulai bergerak menuju “normal”.

Saya bisa “berpikir” kembali. Saya bisa produktif kembali, bukan hanya sebagai seorang karyawan, tetapi juga sebagai seorang blogger.

Sejak hari itu, saya mulai bisa menulis lebih banyak dan terarah. Belum mencapai titik normal yang biasa, tetapi hari demi hari langkahnya semakin cepat. Jumlah tulisan pun semakin bertambah setiap harinya.

Dari sinilah, saya belajar dan mendapatkan bukti bahwa menulis memang bisa menyembuhkan. Memang, saya tidak tahu efek apa bagi imunitas tubuh, tetapi dari segi psikis, saya merasa lebih baik dibandingkan sebelum “menulis” tadi.

Saya lebih SEHAT sekarang.

Penutup :

Tidak berarti masalah sudah selesai.

Fakta bahwa dunia masih di bawah cengkeraman si Covid masih terlihat jelas. Situasinya masih runyam, suram, dan muram dimana-mana. Berita tentang pemutusan hubungan kerja masih bertebaran dimana-mana.

Bedanya hanya, kali ini saya bisa menghadapinya dengan lebh tenang. Pikiran lebih bisa berjalan normal menganalisa sesuatu dan kemudian mengambil tindakan atau keputusan.

Rupanya, sesuatu yang sesederhana, seperti menulis sudah memberikan dampak positif bagi kondisi psikis saya.

Mengingat, masa muram seperti sekarang masih akan berlangsung cukup lama, setidaknya beberapa bulan ke depan, saya bisa memastikan bahwa cengkeraman kecemasan suatu waktu akan datang lagi. Tidak bisa tidak karena situasinya masih penuh ketidakpastian.

Suatu waktu, saya sangat mungkin akan mengalami kondisi yang sama lagi, SAKIT lagi. Kepala tidak bisa mikir jernih lagi.

Tetapi, setidaknya, saya tahu pemecahannya, yaitu dengan menulis. Bukan untuk memecahkan masalah kehidupan, tetapi untuk memastikan otak dan hati tidak terlalu “penuh” dengan beban sehingga tidak bisa bergerak.

Dengan menulis, saya memiliki cara untuk memberikan “ruang” tersebut. Dengan begitu, saya bisa berpikir jernih.

Pengalaman inilah yang membuat saya mau tidak mau menyetujui kalau menulis memang bisa menyembuhkan, setidaknya masalah kejiwaan ringan dari manusia. Tapi, saya tidak berharap sama sekali diberi kesempatan membuktikan bahwa menulis bisa menyembuhkan masalah kejiwaan berat.

Saya berharap pandemi Corona cepat berlalu, dan semua bisa kembali normal.

Bogor, 30 April 2020.

12 thoughts on “Menulis Itu Menyembuhkan”

  1. Setelah baca dari awal sampai akhir, sepertinya tidak jauh beda dengan apa yang saya alami, terkadang untuk menghilangkan rasa khawatir dan cemas, saya selalu menyibukkan diri dengan menulis, karena menulis dapat meningkatkan kinerja otak untuk terus berfikir positif dan kreatif.

    Reply
  2. Hhee bener banget mas, dengan menulis terasa lebih menyenangkan, nyaman, dan bahagia.. Kalau sakit gitu juga kalo udah menulis lupa kalau sakit, sampe gak inget waktu udah malem aja.. Wah gatau nih ketagihan hhi

    Reply
  3. Jangankan Pak Anton yg sudah lama nongkrong dirumah ,saya saja pusing kalau terlalu lama di dalam rumah, otak jadi mentok,tubuh terasa ngak enak, nulis ngak konsen, dompet kering kerontang pulak,hahaha……

    Reply
  4. Mungkin kaitannya antara menulis dan kekebalan tubuh .. penyebabnya adalah kita jadi bisa ngeluarin 'uneg-uneg' apa yang ada di pikiran kita.

    Pikiran dan batin kalau bawaannya lega, hidup pun jadi terasa ringan dijalani.

    Eh, tapi itu cuma pendapatku, loh ..
    Benar tidaknya biar ahlinya saja yang bicara xi xi xi 😁🤭

    Reply
    • Sangat bisa jadi.. jangan jangan mas Him adalah salah satu ahlinya nih bisa menjelaskan seperti itu..

      Pekabar om?

      Reply
  5. Kembali ke artikel ini hanya untuk menuliskan komentar.

    Saya setuju sekali dengan pernyataan bahwa menulis bisa menyembuhkan. Karena saya juga mengalaminya langsung.

    Apa yang saya alami mungkin lebih dari sekedar kebosanan karena WFH.

    Ini adalah pengalaman hidup yang tak terlupakan bagi saya pada tahun 2012. Blog telah menjadi jalan bagi kesembuhan saya.

    Oleh karenanya, walau kadang ada rasa malas. Saya tidak bisa benar-benar meninggalkan blog. Bagi saya menulis di blog memiliki arti yang lebih dalam dari sekedar iseng atau uang.

    Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply