Ketika Kata Terbaik Sebenarnya Hanya Omong Kosong Saja

Ketika Kata Terbaik Sebenarnya Hanya Omong Kosong Saja

HIKKSS…..

Sedih memang sebenarnya menulis tentang yang satu ini. Serasa ada ganjalan di dalam hati ketika mengetukkan jari di atas keyboard. Apalagi terbayang bahwa hal ini sesuatu yang seperti memberi nama buruk pada orang lain, sesama blogger. Dan, bahkan mungkin menghadirkan ketidakpercayaan kepada sesama blogger pada umumnya.

Sudah lebih dari satu tahun ide ini ditunda untuk dituliskan.

Tetapi…

Tidak adil juga kepada kalangan awam kalau fakta sebenarnya tidak diungkap. Mereka bisa saja tersesat karena apa yang mereka baca sebenarnya ditulis bukan oleh mereka yang paham atau ahli. Tulisan yang mereka baca dibuat oleh blogger atau penulisnya sekedar untuk menarik pembaca dan untuk mendapatkan keuntungan saja.

Paling tidak secara moral, saya sudah lagi terbebani dengan membuat tulisan seperti ini. Meski, entah siapa yang mau baca. Toh blog itu salah satu fungsinya melepaskan uneg-uneg.

Tulisan Daftar Terbaik Sebenarnya Hanya Omong Kosong

Yak. Begitulah pandangan saya tentang berbagai tulisan berjenis “Daftar Terbaik” ala para blogger. Setidaknya, kalau mau diperhalus sedikit untuk menghargai sesama blogger menjadi “mendekati” bullshit alias omong kosong.

Serius.

Kasar memang, tetapi itulah pandangan saya terhadap jenis tulisan yang satu ini. Ada banyak hal yang mendasari opini ini dan pernah saya tuangkan dalam tulisan “10 Blog dan Blogger Terbaik Indonesia” versi Maniak Menulis.

Secara singkat, dasar pemikirannya adalah :

1. Blogger tidak punya kredibilitas untuk menentukan yang terbaik

2. Blogger tidak punya sumber daya untuk melakukan penelitian dan penilaian secara ilmiah

3. Kata “TERBAIK” bersifat subyektif dan tidak ada kriteria standar yang berlaku umum

Sebagai blogger, saya cukup paham bahwa jenis tulisan yang satu ini memang mengundang pembaca. Kebutuhan informasi di dunia begitu besar sehingga para pencarinya bersedia melahap apa saja tanpa mempertimbangkan hal lain. Ia akan menelan apa saja yang ditampilkan mesin pencari, bahkan kadang tanpa menyaring isinya.

Itulah yang menjadi sasaran para blogger untuk mendulang trafik ke blognya. Oleh karena itu, berbagai jenis tulisan berisi daftar terbaik banyak sekali dibuat.

Disanalah ada sedikit masalah moral yang timbul.

Begitu bebasnya dunia maya membuat siapapun bisa membuat tulisan apapun, dengan gaya apapun, sesuai yang dikehendaki. Tidak ada larangan. Berbagai panduan dasar dan etika menulis pun dibablas demi trafik pengunjung blog.

Tidak heran, orang yang tidak bisa memasak tiba-tiba menulis tentang 100 Daftar Resep Makanan Terenak Di Dunia. Jangan melotot kalau ada artikel 10 Tempat Terindah di Dunia sementara penulisnya, pergi ke luar kota saja tidak pernah.

Itulah dunia maya, ketika semua orang bisa memakai topeng apa saja sesuai kehendaknya.

Hasilnya adalah sebuah informasi yang sebenarnya sangat “tidak sahih”, “tidak bisa dipercaya”, dan hampir menjadi sekedar pepesan kosong.

Bukan karena tidak ditulis dengan baik. Mayoritas blogger adalah penulis dan kemampuan rata-rata menulis blogger tidak salah kalau disebut lebih baik dibandingkan masyarakat awam.

Yang jadi masalah adalah ketika informasi ditulis oleh orang yang sebenarnya tidak paham dan mengerti tentang apa yang ditulisnya, bisakah disebut informasi?

 

Wilayah Abu-Abu

 

Kalangan blogger tentu akan tersinggung dan mempertahankan pendapatnya bahwa itu adalah hak mereka dalam menyatakan pendapat dan penilaiannya.

Betul sekali.

Setiap orang memang berhak menyatakan pendapat dan penilaiannya.

Argumen kaum blogger biasanya adalah mereka sudah melakukan “riset” dengan berkunjung ke website-website atau blog-blog ternama sebelum membuat tulisan “terbaik” versinya. (Padahal, kata riset yang dipergunakan saja tidak tepat karena ia hanya membaca saja yang artinya hanya melakukan studi pustaka saja.)

Pada beberapa jenis pengetahuan memang riset dilakukan dengan meneliti tulisan-tulisan , literatur lainnya. Contohnya SEJARAH dimana ahli sejarah, memang banyak sekali melakukan penelitian selain terhadap peninggalan fisik, juga pada tulisan-tulisan yang pernah diterbitkan.

Tetapi…

  1. Bisakah sebuah resep masakan disebut terbaik ketika orang yang menulisnya tidak bisa memasak?
  2. Bisakah masakan itu disebut terenak kalau ia juga tidak pernah mencicipi masakan-masakan itu?
  3. Bisakah informasi yang diberikan dipercaya kalau penulisnya sebenarnya hanya comot sana comot sini saja dan sebenarnya tidak mempunyai kemampuan di bidang itu?

Secara aturan, tidak ada yang dilanggar. Tidak ada kesalahan. Semua orang boleh mengemukakan pendapatnya dan opini subyektifnya di dunia maya. Mereka juga punya dasar pemikiran dan referensi.

Sayangnya, secara moral, ada banyak pertanyaan yang butuh jawaban.

Tapi, bagaimanapun …..

Kalau soal resep masakan, bisakah memasak dilakukan sekedar membaca tulisan lain. Comot sana comot sini dan kemudian dibuatkan resep baru, atau daftar terbaiknya?

Memasak butuh praktek. Skill yang satu ini butuh pengalaman panjang di dapur dalam hal mengolah bahan untuk dijadikan sebuah resep masakan. Tidak bisa hanya dilakukan hanya dengan membaca. Para chef merelakan waktu ratusan jam terkadang untuk berpikir menemukan ramuan masakan yang enak.

Lalu, ketika seorang yang tidak bisa memasak menulis tentang sebuah resep yang merupakan hasil kombinasi dari beberapa info comotan, bisakah resepnya dipertanggungjawabkan?

Jawabannya, ya itu tadi.

Resep buatannya sebenarnya hanyalah omong kosong saja.

Sang penulis memang bisa mengemasnya menjadi sesuatu yang menarik. Apalagi kalau ditunjang foto yang menarik juga. Cuma informasi yang disampaikannya, sebenarnya adalah omong kosong saja dan bisa menyesatkan.

Itulah mengapa tulisan seperti daftar terbaik, bagi saya, adalah omong kosong saja. Yang menulisnya tidak memiliki keahlian untuk menulisnya dan artinya ia sebenarnya hanya menuliskan khayalannya saja. Omong Kosong.

Para penulisnya bermain di “wilayah abu-abu”, area tidak jelas.

Secara aturan tidak salah. Blog adalah wilayah pribadi dan setiap orang berhak menulis apa yang dia mau.

Informasi yang disampaikan pun bisa jadi benar (karena berasal dari orang lain yang mungkin sudah mencoba sendiri), bisa jadi salah.

Kalau pembaca percaya tulisan kita dan tidak berhasil menjalankannya, ya salah sendiri mau percaya.

Begitu juga tulisan bersifat daftar terbaik yang banyak ditulis.

Ya ga salah. Meski sebenarnya isinya pepesan kosong saja karena tidak hanya hasil comot sana sini, selama pembaca percaya, kenapa tidak. Soal benar atau tidak, urusan lain, toh orang lain juga tidak akan bisa membuktikan.

Wilayah abu-abu.

Herman Yudiono, Blogodolar, Folder Tekno

Pernah mendengar nama Herman Yudiono ? Pasti lah. Blogger kawakan kelas atas yang jejaknya ingin diikuti ribuan blogger.

Ia berani keluar kerja hanya untuk menjadi blogger full time dan berpenghasilan besar. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa ia memiliki beberapa blog selain Blogodolar, salah satunya Folder Tekno yang membahas teknologi.

Dari sanalah pandangan saya bahwa tulisan jenis “Terbaik” pada dasarnya cuma omong kosong saja. Ada dua tulisannya (yang sepertinya sudah diupdate sekarang) yang membuat saya berpikir, “Ini tulisan dibuat orang yang nggak ngerti

#Hadeuh.. kasar saya jadinya.

Dua tulisan itu ada di bawah ini : (silakan klik linknya untuk membaca, kalau mau)

  1. 10 Kamera DSLR Terbaik tahun 2019 (Folder Tekno)
  2. Studi Kasus Blog Afiliasi #6: Setahun Folder Tekno (Trafik dan Penghasilan) (Blogodolar)

Dari yang nomor satu saja, kepala saya langsung pening dan pikiran jelek langsung keluar, “Nih orang kayaknya nggak pernah pegang kamera . Nggak pernah tahu jenis-jenis kamera sepertinya”

Gila mungkin bagi orang kalau saya berpandangan itu tentang salah satu blogger ternama di Indonesia.

Cuma, dari daftar “Kamera DSLR Terbaik Tahun 2019” yang dibuatnya, bagi masyarakat awam terlihat keren, tetapi bagi penggelut fotografi, lucu dan sangat bisa mungkin dianggap ngawur. Lebih ngawur lagi ketika teknik para blogger mengupdate tulisan usang dilakukan.

Ini screenshoot tulisannya dan sebagian daftarnya.

Ketika Kata Terbaik Sebenarnya Hanya Omong Kosong Saja

Kenapa saya sebut ngawur dan mendekati omong kosong?

1. Canon EOS 5D dan Nikon D 750 adalah kamera full frame dan Canon EOS 700D hanya punya APS-C sensor, kelasnya beda.

Kamera full frame dengan ukuran sensor yang lebih besar sudah pasti akan selalu membuat hasil foto lebih tajam dan jelas dibandingkan kamera dengan sensor APS-C.

Fiturnya juga lebih banyak dan kecepatannya lebih tinggi.

Kamera full frame adalah impian bagi penggemar fotografi.

Dan, penulis menempatkan Nikon D750, kamera full frame di bawah Canon EOS 700D.

Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak menyadari bahwa ada pembagian kelas dalam kategori kamera DSLR.

Mereka yang menggemari fotografi akan tertawa keras karena mereka pastinya bersedia menukar Canon EOS 700D dengan Nikon D750 bekas kalau ada yang mau bertukar.

2. Ia tidak memasukkan DSLR Nikon D810, Canon EOS 7D yang merupakan kamera full frame juga. Padahal kemampuannya pasti berimbang dengan Canon EOS 5D dan jauh di atas EOS 700D.

Terus terang, kalau ada yang mau, saya dengan senang hati menukar EOS 700D saya dengan Nikon D810/Canon EOS 7D

3. Dia memasukkan Canon EOS 750D dan EOS 760D yang sebenarnya merupakan pengembangan dari Canon EOS 700D (lebih baru dengan kemampuan lebih baik) (dengan harga sedikit lebih tinggi

4. Yang lebih lucu lagi, karena daftar itu sudah diupdate tahun 2019, ia tetap memasang EOS 700D dan EOS 750D. Padahal, EOS 700D sudah tidak ditemukan di pasaran lagi karena generasi baru sudah muncul yaitu EOS 750D dan EOS 760D

Kasus yang sama dengan Nikon D5200 dengan D5500. D5500 adalah pengembangan dari D5200.

Tandanya, sebenarnya sang penulis/blogger tidak mengikuti perkembangan di dunia fotografi.

Jujur saja, bahkan saya tidak yakin dia pernah memotret dengan kamera-kamera yang disebutnya sebagai terbaik.

Update Tapi Tidak Up t odate

Judulnya memakai tahun 2019, terlihat baru. Tetapi, sebenarnya ini merupakan tulisan lama karena saya sudah membacanya hampir 2 tahun yang lalu.

Jelas sekali, sang blogger memakai teori klasik, yaitu mengupdate tulisan lama supaya tetap SEO friendly.

Cuma, sayangnya, yang diubah hanya judulnya saja. Yah, mungkin sedikit isinya.

Tapi..justru disini semakin terlihat kekonyolannya. Data yang seharusnya ikut diubah, ternyata tetap ada.

Canon EOS 700D dan Nikon D5200 bisa dikata sudah tidak dilanjutkan produksinya di tahun 2019. Hal ini biasa karena sudah ada generasi penerusnya, seperti Canon EOS 750D dan 760D, serta Nikon D5500 dan D5600.

Produk yang sudah tidak diproduksi lagi, bisakah disebut terbaik?

Konyol buat saya mah.

Tulisan ngawur dari orang yang sebenarnya tidak mengetahui dunia fotografi.

Riset yang bukan riset

Riset artinya penelitian untuk menambah data baru.

Sebagai contoh, dalam kasus merebaknya virus Corona di Cina, pastilah ribuan ilmuwan akan melakukan berbagai riset. Mereka akan berusaha mencari data baru tentang virus tadi.

Tujuannya, tentu untuk menemukan jalan agar penyakit yang disebabkan virus Corona bisa teratasi.

Itulah salah satu definisi riset.

Agak berbeda dengan kata studi atau telaah. Memang sama-sama meneliti, tetapi pada studi dan telaah biasanya tidak ada data baru. Yang ada adalah mencari data yang sudah ada sebelumnya.

Nah, sekarang bisa lihat tulisannya di Blogolar, yang membesarkan namanya. Link kedua yang saya cantumkan di atas.

Dalam tulisan itu ia menjelaskan bagaimana tulisan “Terbaik” itu dibuat, dengan mengambil contoh tulisannya yang lain.

Begini katanya.

Bisakah sekedar membaca 10 website disebut riset? Tidak ada data baru yang ditambahkan. Ia hanya mengutip saja apa yang sudah ada. Lalu, dimana penelitian yang dimaksudnya?

Bengong..?

Saya belum… Yang seperti, studi pustaka, membaca literatur itu juga memang harus dilakukan dalam sebuah penelitian.

Baru ternganga setelah saya menyadari kalau untuk membuat daftar kamera terbaik versinya, sang blogger kawakan…TIDAK MENCOBA SECARA LANGSUNG KAMERANYA!

Padahal, para fotografer kawakan, sekelas Entje Tjin yang banyak mengulas kamera saja, serta sering diminta membuat tulisan di DETIK ia akan mencoba kameranya secara langsung.

Percobaan ini harus dilakukan karena kamera bukan sekedar spesifikasi tertulis saja. Setiap kamera punya karakter, seperti auto fokus yang cepat, ketajaman warna, kemampuan memotret dalam gelap, dan lain sebagainya.

Para fotografer senior selalu mencobanya sendiri, sebelum kemudian menilai. Tidak jarang mereka membandingkan satu demi satu, poin demi poin. Barulah mereka kemudian membuat ulasan tentang kelemahan dan kelebihan masing-masing kamera.

Bukan sekedar berkunjung ke website olshop dan kemudian membandingkan spesifikasi saja.

  • Bagaimana bisa mengatakan bagus atau jelek, kalau belum dibuktikan dan dibandingkan? 
  • Bagaimana bisa mengetahui bahwa kemampuan sebuah kamera di atas kamera yang lain, kalau tidak melihat hasilnya, mencoba kemampuannya? 
  • Bagaimana bisa menjadi juri dan membuat daftar yang paling bagus kalau tidak tahu apa yang harus dinilai?

Ini seperti main cap cip cup berdasarkan angan-angan. Dan, itulah yang terlihat di dalam tulisan tentang 10 Kamera DSLR terbaik versi Folder Tekno itu.

Ketahuan sekali kalau penulisnya sebenarnya buta fotografi dan dia hanya berlagak tahu tentang kamera saja. Pantas dia menempatkan kamera kelas pemula Canon 700D dan Nikon D5200 di atas Nikon D750.

Karena pada dasarnya dia nggak ngerti apa yang ditulisnya.

Konyol …

Penutup

Jika hasil seorang blogger kawakan yang menjadi panutan ribuan orang seperti ini, bagaimana dengan para pengikutnya yang mengidolakannya..?

Lebih ngenes lagi membayangkan mereka yang percaya bahwa tulisan ini memang benar. Mereka di tahun 2020 akan mencari dan berusaha membeli Canon EOS 700D dan Nikon D5200.

Harga murah, rangking 2 dan 3 terbaik.

Padahal, mungkin mereka tidak akan pernah berhasil mendapatkannya karena keduanya tidak lagi diproduksi. Paling hanya bisa beli bekas atau seken saja.

Lalu, pertanyaannya, tidak kah penulisnya merasa terbebani sudah menggiring orang pada fakta yang salah?

Nah, itu saya tidak bisa jawab karena moralitas tiap orang berbeda.

Hanya, bagi diri saya sendiri, tulisan Daftar Terbaik sejenis ini pada dasarnya bullshit saja, omong kosong. Penulisnya “lebih terfokus” pada mendulang trafik pembaca saja dibandingkan berniat memberikan informasi yang akurat.

Logikanya, kalau memang mereka berniat begitu, untuk apa mereka menulis sesuatu yang sebenarnya mereka tidak tahu?

Iya nggak sih..?

Terserah Anda menilai saja.

Tidak ada larangan kok untuk menulis yang sejenis ini. Hanya, ada baiknya kita bertanya dulu kepada diri sendiri sambil membayangkan saudara, teman, keluarga yang tersesat karena “omong kosong” yang kita kemas dalam daftar terbaik seperti ini.

Maukah kita?

Pepesan kosong meski dikemas dalam kemasan yang baik, tetap saja pepesan kosong. Hanya terlihat keren saja di depannya.

Di atas Commuter Line, 28 Januari 2020

Catatan :

1. ada kemungkinan tulisan pada link yang diberikan di atas direvisi atau dihapus oleh penulis aslinya

2. penulis artikel ini seorang penggemar fotografi dan mengelola blog LB Fotografi

13 thoughts on “Ketika Kata Terbaik Sebenarnya Hanya Omong Kosong Saja”

  1. Sebetulnya dengan memberikan informasi yang salah, bisa bikin orang tersesat dan salah jalan. Kalau netizen bilang itu berita hoax, kebohongan publik. Karena info tadi gak sesuai kenyataan.

    Potensi dosa juga timbul di sini.

    Tapi apa boleh baut, banyak blogger yang bikin info, enggak mikir sejauh itu. Yang penting "duit".

    Tapi, apakah jadi berkah?

    Cari amannya sih, nulis pengalaman sendiri aja, lebih nyata dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

    Betul begitu pak Anton?

    Mohon maaf, saya bukan berceramah, cuma meyampaikan unek-unek aja. hehehe. pissss

    Reply
  2. Saya bisa dibilang salah satu orang yang terkecoh sama artikel 10 bla bla terbaik hahahahaha. Meski bukan dari blog yang mas sebut di atas, tapi saya sudah beberapa kali memang mengambil keputusan berdasarkan dari informasi 10 terbaik yang sebenarnya bisa dibilang nggak ada informasi valid alias hanya berdasarkan asumsi si penulis 😀

    Dulu beli kamera mirrorless juga karena info 10 terbaik, padahal setelah kebeli ya menyesal juga karena nggak riset lebih jauh. Alhasil kamera mau dijual lagi, tapi harga jualnya rendahhhh. Dan sekarang teronggok nggak terpakai karena saya pakai kamera lainnya. Habis itu kena juga waktu mau cari tablet heheheh, salah saya memang, terlalu percaya sama artikel 10 terbaik seperti yang mas Anton jabarkan di atas. Tapi setelah 2x gagal fokus, sekarang saya sudah nggak pernah terlalu percaya sama artikel 10 terbaik dan sejenisnya :d

    Saya harap penulis-penulis yang membuat tulisan seperti itu betul-betul memikirkan side effectnya. Karena bisa jadi beberapa orang atau bahkan banyak orang mengikuti referensi tersebut dan akhirnya menyesal. Iya kalau uangnya banyak jadi bisa beli yang lain, nah kalau ternyata itu uang satu-satunya yang sudah ditabung sekian lama demi barang yang diinginkan tapi ternyata referensi yang diikuti salah, apa nggak jadi beban moril yaa :<

    Sekian, curhatan saya kali ini :))

    Reply
    • Curhatan diterima dengan baik.. wkwkwkw

      Saya rasa curhat Mbakyu ini memang inti dari tulisan ini. Dulu waktu saya belum jadi blogger, saya pun kerap mengalami yang sama.

      Cuma, setelah jadi blogger dan menyadari prosesnya, saya tidak lagi terpaku pada tulisan jenis ini. Lebih teliti lagi.

      Sayangnya, banyak orang sama seperti saya dan mbak Creameno dulu. Kesalahan mereka juga sih tidak teliti, tetapi sebagai bagian dari penyampai informasi, tentunya ada sisi moral juga bahwa informasi yang disampaikan bisa dipertanggungjawabkan.

      Bukan sekedar mengejar popularitas dan mengorbankan pembaca

      Reply
  3. Saya bacanya terengah-engah sambil membayangkan tulisan-tulisan saya. Aduh, jangan-jangan saya menjadi "of of them" yang suka nulis hasil riset yang tidak riset, hiks hiks.

    Karena blogging yang dicari adalah PV jadi membuat artikel yang mengundang orang mau membaca. Orang pun akan berkata, buat apa nulis kalau tidak ada yang baca? Orang kaya saya yang pernah beragument "suatu saat akan menemukan pembacanya sendiri" jadi garuk-garuk kepala.

    Pernah suatu saat di blog platform wordpress nulis ttg perbedaan Bake, Grilled dan Roasted dulu tidak ada yang menulis ini dan saya pikir ga akan ada yang nyari, tulisan ini saya tulis berdasarkan permintaan suami yang penasaran apa bedanya. Kami telusuri (th 2013 kalau ga salah) tidak ada artikel yang menjabarkan hal tsb. Akhirnya hasil mebaca beberapa artikel berbahasa inggris saya mencair jawaban dan merangkumnya. Sempat P1 di kata kunci pencarian tersebut.

    Dari pengalaman tersebut, pas saya bilang 2019 lalu ingin punya blog TLD suamipun beliin dan bilang menulislah apa yang orang cari tapi ga ada jawabannya "SUSAH" banget permintaan dia. Untuk mempercepat proses tak iya-in saja.

    Dan kembali ke tulisan ini, saya beneran mikir takut akan memberikan pemikiran demikian terhadap orang-orang. Meski saya bisa bilang kalau yang saya tulis adalah apa yang sudah saya alami dan ketahui untuk saat ini. Kalaupun hasil riset istilahnya saya akan sertakan sumbernya.

    Ini komentar yang bisa jadi 1 artikel hahaha.

    Reply
    • Seru malah baca komentar yang seperti ini .. hahahaha..

      Saya pikir batasannya memang agak rancu dan bisa diperdebatkan. Sesuatu yang sifatnya menyampaikan informasi, tidak selalu perlu juga mengalami sendiri. Seperi beda Bake, Grilled, dan Roasted, kayaknya juga tidak perlu mengalami sendiri.

      Tetapi, ketika bilang Bake lebih baik dari Grilled dan Grilled lebih baik dari Roasted, maka sudah terjadi penggiringan ke arah mana yang lebih baik. Disana tidak mungkin dilakukan tanpa memahami proses masing-masing dan itu tidak bisa dilakukan tanpa mengalami sendiri.

      Daftar terbaik ini, berisikan opini, mirip dengan ulasan, dengan review, tinjauan. Ada barang fisiknya dan bukan sekedar proses. Bukan sekedar menyampaikan informasi tetapi menggiring orang untuk mengikuti "kemauan" si penulis. Dan dalam hal ini, tidak fair juga kalau kenyataannya sang penulis tidak melalui proses yang benar.

      Studi pustaka itu wajar dan bagian dari penelitian, tetapi dalam banyak bidang, harus dilanjutkan dengan "penerapan" di lapangan untuk mendapatkan data yang bisa dipercaya.

      Karena itulah saya jarang mau mengulas sebuah produk, bahkan kamera. Saya lebih suka berperan sebagai penyampai informasi saja dalam hal ini, bukan memasukkan asumsi dan pandangan saya ke dalam tulisan. Karena saya tidak mau orang lain tergiring oleh opini dan pandangan pribadi.

      Seperti dalam komentar Mbak Creameno, itu hasil dari penggiringan opini tanpa data yang benar. Kekecewaan akan hadir, sementara si penulis ga peduli.

      Reply
  4. Sy sering memantau blog yg update judul saja tapi isinya gak update. Hanya menambah kata update + bulan. Hadeuh…

    #Oot Btw om blog MM sudah dapat matched content kah?

    Reply
    • Iyah om Rafi… betul sekali banyak yang begitu.

      Blog MM belum mendapatkan matched content . Temanya terbatas, jadi sepertinya akan sulit mendapatkannya

      Reply
  5. Bapaakkkk… duuhh mau kasih standing applaus dulu dah hahahaha!

    Bahagia minta ampun dah, berkunjung ke sini dan disuguhi artikel kayak gini, meskipun saya sedang berpikir, mungkin saya pernah sekali dua kali jadi a part of them bahahahahahhaa.

    Setidaknya, mungkin pada artikel sponsored post yang nggak pernah nyoba, cuman ngulas hahahaha.

    Itu kenapa sekarang saya lebih melirik produk kecantikan, soalnya mereka selalu mengirimkan sample buat saya coba, dan saya bisa menuliskan pengalaman saya mencoba produknya.

    Satu hal yang bikin saya tetap ngotot mengelola blog personal dengan niche amburadul ya karena memang saya memilih menuliskan semua pengalaman pribadi saya.
    Yang saya pernah alami, pernah rasakan, saya pikirkan, meskipun keywordnya sama sekali nggak SEO hahaha.

    Makanya saya kadang cuman mesem-mesem kalau ada yang bilang, siapa yang mau baca tulisan curhatan?
    Padahal ya curhatan itu jauh lebih terpercaya ketimbang artikel yang memenuhi page one google tapi hasil copas.

    Kalau hasil penelitian even cuman melalui website, menurut saya sih oke-oke saja Pak.

    Asalkan..
    Nelitinya pakai data, dan harus disebutkan sumbernya dengan jelas.

    Misal, kayak kamera di atas.
    Dia bisa sebenarnya melakukan penelitian tersebut, asal juga pantengin testimoni yang ada.

    Lebih baik lagi kalau real testimoni.

    Jadi bisa di tulis dengan 10 kamera terbaik pilihan netizen berdasarkan testimoni bla bla bla, begitu…

    Apa lagi ya, kok ya lupa mau nulis apa, hahahaha.

    Oh iya, mengenai resep terbaik, juga bisa saja menulis hal itu, meski dia nggak bisa masak (eh kok dia, saya juga sih ga bisa masak, hahaha)

    Akan tetapi, lampirkan sumbernya, misal kayak dari blog siapa, atau aplikasi apa, kan bisa tuh kita lihat testimoni resep tersebutd ari komen-komen yang ada.

    demikian pula dengan makanan enak.

    Boleh aja nulis jenisnya, meski dia belum pernah mencicipi.
    Asaaall, dijelasin, itu versi apa? sekalian tulis juga, sayapun ingin mencicipinya, begitu hahahaha.

    Haduh, apalagi ya Pak? tadi pas baca itu, pengen langsung komen aja rasanya, sekarang blank hahaha.

    Oh ya Pak, sekalian rekomendasiin kamera mirrorless budget 5 jutaan yang bagus dan cucok buat selfie dong Pak, wakakaka.

    Yang Fuji dan Canon, jangan Sony, saya bete ama Sony soalnya hahaha.

    Haduh publish dulu deh, nanti baca kembali baru lanjut komen wkwkwkwkw

    Reply
    • Nah saya baca kembali baru ingat, saya dong belum ngeh sama blogger Herman Yudiono 😀
      Tapi kalau blogdolar kayaknya pernah sekali dua kali saya kunjungi buat baca artikel di sana kayaknya.

      Dan satu hal yang saya herankan di sini adalah, orang-orang kok ya nggak malu gitu ya, berani menyimpulkan sesuatu tanpa pernah nyoba, misal kamera tersebut, trus dibaca ama yang lebih ahli, kan malu tuh ketauan asal nulis hahaha.

      Mbok ya kasih keterangan, kalau itu versi ini, dan CMIIW hahahahaha.
      Btw, CMIIW itu cara praktis menghindari malu kalau ketauan ngasal hahahaha

      Oh ya, kalau menurut saya, itulah mengapa website berita masih selalu merajai page one google, meskipun leleeeet bin lemot kalau dibuka, soalnya mereka hanya berani menayangkan berita yang benar.

      Dan itupula yang bikin saya lebih suka baca tulisan ilmu dari website yang terpercaya ketimbang blog perorangan, meski dia ada di page one google.

      dan itupula yang bikin saya lebih memilih nulis curhat pengalaman pribadi, meski seonya ancur hahaha.

      Oh ya Pak, saya share di fesbuk ya tulisan ini 😀

      Reply
    • Wakakakaka… artikelku kalah panjang dengan komentarmu.. Tapi kereeennnnn……

      1. Dalam beberapa topik dan tema, penelitian pustaka alias sekedar mencomot informasi dari sana sini bisa. Tetapi, ada banyak hal yang harus dibuktikan untuk mendukung teori dan kesahihan dari apa yang ditulis. Contohnya, seperti hal makanan atau memasak, agak sulit kalau penilaian dilakukan oleh orang yang tidak mengerti dengan baik

      2. Memberikan referensi atau rujukan darimana teori itu diambil bisa memberikan pertimbangan lain dimana pembaca tahu bahwa penilaian dilakukan hanya berdasarkan studi pustaka saja

      3. Memberikan kata "versi" memang membuatnya menjadi sebuah opini atau pandangan, yang bisa menambahkan keabsahan sebuah teori, cuma tetap saja kalau datanya tidak valid, teori itu sama saja dengan omong kosong. Contoh di atas merupakan perpaduan dari banyak hal, termasuk data yang nggak jelas karena orangnya tidak mengerti tentang apa itu kamera dan fotografi

      4. Menulis berdasarkan pengalaman memang yang terbaik, sifatnya menjadi opini dan pandangan pribadi. Sulit dibantah karena tidak semua orang mengalami hal yang sama dan pengalaman setiap orang berbeda-beda tergantung situasi dan kondisi. Ini yang terbaik

      5. Kamera Mirrorless 5 jutaan rasanya belum ada, tetapi kalau DSLR ada. Cuma tanpa Vari-angle atau layar LCD yang bisa dilipat atau berputar untuk selfie. Tapi, kalau budget dinaikin dikit ke angkat 7-an ada lumayan banyak kamera dengan vari angle untuk selfie.

      Sebenarnya ada pilihan lain, yaitu Prosumer alias bridge camera, dan kalau memang targetnya cuma selfie saja mah, lebih dari cukup bahkan bisa untuk belajar fotografi. Nggak perlu Mirrorless atau DSRL.

      Kelas Fuji seri Finepix termasuk lumayan untuk itu dan harga berada di kisaran bawah 5 jutaan. Coba cek deh. Lumayan ga ribet kalau pakai prosumer ga perlu ganti ganti lensa

      Sebenarnya, kalau untuk selfie dan fotografi sederhana, seperti untuk isi blog, kamera terbaik itu smartphone. Dengan harga 5 jutaan, biasanya lensa dan kameranya sudah akan menghasilkan foto yang tajam dan jelas. Praktis dibawa kemana-mana dibandingkan harus nenteng DSLR atau Mirrorless. Kurang keren, tapi akan sedia setiap saat.

      6. Penyakitnya sama dengan saya, kadang suka tiba-tiba blank karena kebanyakan ide yang mau ditulis.

      7. Makasih banget kalau dishare ke FB.. hahahahaha

      Ikutan jadi panjang… wakakakakak

      Reply
    • Hahahaha, memang intinya, orang-orang pengennya masuk page one dengan konten incaran banyak orang, tapi mereka nggak pernah tahu pasti, jadinya make cara seperti itu.

      Kalau dipikir-pikir benar juga sih Pak, semacam saya yang sedih beli laptop berdasarkan googling dan baca-baca artikel yang sebenarnya buat lomba blog hahahaha.

      Alhasil setelah beli, semuanya sungguh tidak sesuai harapan, hiks.

      Oh ya, Pak Anton malah bikin galau ih, betul juga sih, kadang saya bingung enakan beli hape dengan harga agak mahalan, ketimbang kamera yang cuman berfungsi 1 aja.

      Tapi kadang juga pengen punya kamera gitu, biar lebih profesional ngambil gambar kalau ada endorse *eh 😀

      Reply
    • Yawda beli.. pusing amiir seh… kamera memang sangat spesifik fungsinya tapi hasilnya lebih baik.

      Kalau saya sih, pilih kamera.. maklum penggemar fotografi

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply