Di bawah ini adalah sebuah cuplikan layar dari salah satu artikel di Detik(dot)com, sebuah media massa online ternama di Indonesia.
Paling tidak dalam satu artikel, terdapat 3 kali salah ketik. Dan, ini hanya satu kasus dari cukup banyak typographical error atau typo alias kesalahan ketik yang bisa ditemukan dalam berbagai artikel berita mereka.
Beberapa media lain pun sama. Kompas atau Tribunnews pun tidak luput dari hal yang satu ini.
Terkadang bukan hanya dalam kontennya, tetapi juga pada penulisan judul. Masalah yang sama kerap bisa ditemukan.
Apa yang ditunjukkan dengan semua ini ?
Jawabannya adalah salah ketik itu manusiawi sekali. Namanya manusia, pasti akan selalu membuat kesalahan. Tidak ada manusia yang luput dari itu. Bahkan, dalam sebuah organisasi media yang dikelola para profesional sekalipun, hal itu sering luput dari perhatian mata jeli para redaktur.
Hal itu sangat bertentangan sekali dengan apa yang biasa dikatakan para ahli blogger, baik di dalam dan di luar negeri.
Kebanyakan tutorial mereka mengatakan “Periksa, edit, periksa, edit” sampai bebas dari adanya kesalahan ketik. Lebih lanjut, biasanya mereka mengatakan bahwa salah ketik bisa berakibat fatal yang berujung pada berkurangnya kesan profesionalitas dari penulisnya.
Hilangkan kesalahan, kalau tidak mau pengunjung kabur. Begitu katanya.
Yah, tidak salah seratus persen sebenarnya. Memeriksa dan mencek ulang setelah penulisan itu wajar saja. Bahkan, kalau bisa memang harus dilakukan.
Tetapi…
Tidak selalu berarti harus “sempurna”.
Tidak berarti bahwa dalam sebuah tulisan tidak bisa dan boleh ada kesalahan pengetikan. Baik ejaan atau tata bahasa.
Tidak akan berarti bahwa Anda tidak profesional.
Salah ketik adalah bagian dari dunia penulisan. Dimanapun. Dalam bentuk apapun. Bukan hanya media massa saja, bahkan buku cetak sekalipun banyak yang tidak bebas dari salah ketik. Pasti ada.
Padahal, media massa atau buku sudah melewati banyak tahap sebelum sampai proses terbit atau cetak. Tetap saja, pasti ada kesalahan di dalamnya.
Hal ini bukan berarti bahwa kita bisa melakukan salah ketik sebanyak-banyaknya. Jangan diartikan seperti itu. Tetap, sebagai orang yang bergelut dalam dunia tulis menulis, kita harus berusaha sebaik mungkin dalam segala hal, termasuk menghindari terjadinya kesalahan penulisan.
Tetap harus dilakukan.
Hanya, tidak perlu menjadi manusia sempurna. Tidak perlu juga menekan diri dengan keharusan dan paksaan membuat tulisan yang sempurna juga. Tidak harus takut akan konsekuensi dari sebuah kesalahan ketik seperti ini.
Profesionalitas seorang penulis tidak hanya diukur dari berapa kesalahan ketik yang dilakukannya. Profesional atau tidak akan dilihat dari banyak hal, seperti cara penyampaian ide, cara penulisan, cara ini dan cara itu. Banyak sekali.
Lakukan pengeditan seperlunya, sampai diri sendiri merasa puas dengan hasilnya. Kalau ternyata setelah terbit masih ada kesalahan, perbaiki. Kalau sudah merasa puas, terbitkan saja.
We are not super human. Kita bukan manusia super.
Kesalahan adalah bagian darinya.
Apakah pengunjung kabur setelah itu? Biarkan saja itu hak mereka. Tetapi, saya, sebagai pembaca tidak pernah meninggalkan sebuah tulisan yang menarik hanya karena beberapa kesalahan ketik yang saya temukan.
Banyak blog rekan-rekan sesama blogger yang berisi beberapa salah ketik dan saya tetap saja berkunjung untuk membaca. Karena saya sadar kalau saya pun melakukan hal yang sama.
Sama seperti saya masih rutin membaca Detik, Kompas, atau Tribunnews. Meski saya menemukan banyak salah ketik disana.
wkwkwk betul bang, yang minim salah ya robot. aku termasuk yang sering slah ketik. makanya aku juga pasang pendamping untuk cek sgala typo di blogku. ya walaupun gak smuanya bisa terdeteksi, paling gak ya gak parah banget. Tapi ya tulisan yang baik tidak hanya dari segi salah ketik kan? tp juga dari nyawa dari tulisan itu sndiri
Yang penting berusaha yang terbaik.. bukan berarti harus sempurna. Pembaca juga manusia kok dan bisa memaklumi.
Yap karena sehari hari baca tribun saya pun terkadang menemukan salah ketik disana. Bahkan baru saja tadi saya menemukan artikelnya dengan judul yang membuat saya jadi salah kaprah. Judul dengan isi berbeda arti, tetapi ya tidak apa apa lah toh saya bukan pembaca judul saja dan isinya juga masih mengandung informasi yang baik bagi saya.
Nah kan.. berarti manusiawi sekali kesalahan itu. Tidak usah dijadikan sesuatu yang menakutkan
Berita ternama yang sudah ada tim khususnya saja, masih sering dijumpai salah ketik.
apalagi hanya seorang blogger yang semua hal bahan berita dibuat sendirian, jika terjadi kesalahan hal yang lumrah.
Dan pembaca juga memakluminya. Ngeblog kan sebagai sarana belajar, bukan tempat ajang kepintaran.
Saya mah sering banyak salahnya 🙂
Sama dong.. berarti sama-sama manusia yah?
Hahahahaha, saya ngakak *opssss..
Semalam saya baca review teman tentang sebuah buku yang dia beli dengan harga lumayan.
Sudahlah tulisannya kecil, ada beberapa typo pula, lalu sekarang, baca tulisan ini jadi ngakak lagi.
Jadi ingat beberapa tulisan teman-teman yang amat sangat idealis, bahwa janganlah berani mempublish tulisan sebelum di cek n ricek terlebih dahulu typonya.
Dan juga beberapa editor yang mengatakan bahwa mereka bekerja seteliti mungking sehingga dipastikan tidak ada satupun typo dalam buku yang sudah mereka edit.
Padahal, kita ini manusia ya.
Saya juga sering typo, biasanya sih gara-gara nulis cepat-cepat, atau ngetik nggak konsen, kadang sambil rebutan keyboard ama si bayi, kadang sambil nyusuin, kadang sambil diajak ngobrol sama si kakak, hahaha.
jadinya ya gitu, selain kadang antar paragraf nggak nyambung atau aneh, karena ketiknya berjeda, pun sering ada typo hahaha
Tapi meski demikian, jika saya membaca ulang dan ditemukan typo, saya segera edit sih 🙂
Ya pastilah Rey kalau memang kita menemukan pasti kita perbaiki.
Cuma, nggak berarti kita bisa bebas typo seratus persen. Selama kita masih manusia, dan seperti kata Mas Djangkaru, hanya bekerja seorang diri, ya pastinya potensi membuat kesalahan ketik sangat besar.
Memaksa diri untuk mengedit, mengedit, dan mengedit, sebenarnya bukan sesuatu yang ideal. Dan, yang lebih tidak ideal adalah "memaksa" orang agar menjadi sempurna