TRINITY Berhenti Menulis Buku

TRINITY Berhenti Menulis Buku

Pernah dengar nama Trinity? Pasti lah. Kalau Anda seorang blogger, rasanya sulit untuk tidak kenal dengan nama yang satu ini. Namanya termasuk dalam kategori blogger papan atas Indonesia. Blognya the Naked Traveler juga berulangkali disebut oleh banyak orang, mulai dari media sampai blogger ecek-ecek tidak mau ketinggalan menyebutkan namanya.

Penikmat buku sekaligus traveler karena sang blogger ini sudah menelurkan seri buku dengan judul yang sama dengan nama blognya sampai seri ke-7. Yang suka film juga mungkin tahu karena satu film berjudul the Nekad Traveler iklannya berulang-ulang ditayangkan di dalam Commuter Line, kendaraan andalan saya pulang pergi kantor-rumah.

Jadi, kenal dong? Setidaknya tahu namanya.

Saya juga tahu. Tapi nggak kenal. Lha, ya mau gimana kenal. Baca blognya saja cuma sekali dua saja selama  jadi blogger. Tulisannya bukan tipe yang saya sukai. Bukunya apalagi, sejauh ini cuma tahu kalau beberapa bukunya dipajang di Gramedia, tempat biasa saya mengantar si kribo beli buku kesukaannya (dan seri dari Mbak Trinity ini bukan pilihannya). Boro-boro nonton filmnya, karena memang malas nonton film Indonesia.

Lah, terus kenapa tulisan ini dibuat? Mau menunjukkan ketidaksukaan terhadap sang blogger terkenal?

Iseng saja.

Lagipula, kalau membaca tulisan terakhirnya, sepertinya Trinity akan berhenti menulis buku. Ini screenshot dari tulisannya yang menyatakan hal itu.

TRINITY Berhenti Menulis Buku

Alasannya kenapa? Kenapa nggak langsung pergi ke blognya saja sih untuk mencari tahu? Cuma kayaknya sang penulis merasa gerah dan down karena situasi “perbukuan” di Indonesia yang terus surut. Maksudnya, masyarakat tidak rajin membeli buku.

TRINITY Berhenti Menulis Buku

Situasi ini “sepertinya” membuat “ia” merasa tidak ada guna lagi menulis. Bukunya, seperti juga banyak buku-buku cetakan lainnya tidak lagi mendapat tempat di hati pembaca. Jadilah, mungkin ia merasa kurang dihargai.

Ada nada “menyalahkan karakter masyarakat Indonesia” yang lebih gemar beli ponsel daripada buku. Paling tidak begitu tangkapan saya.

Maybe. Mungkin.

Tidak tahu pasti. Kalau mau pasti tanyakan sendiri.

Cuma, ya cuma. Bukankah seorang penulis juga harus paham dengan perkembangan masyarakat? Dimana-mana, bukan hanya di Indonesia, buku cetakan dan e-book tersaingi oleh kehadiran media sosial. Blog juga begitu rasanya.

Itu sebuah perkembangan yang tidak bisa dipungkiri terjadi di belahan dunia manapun. Sulit dicegah dan ditahan. Apalagi di Indonesia, yang budaya literasinya dari dulu memang rendah, dan sekarang pun semakin tertekan karena kehadiran berbagai media sosial.

Rupanya, masyarakat lebih tertarik pada sesuatu yang interaktif dimana mereka bisa terlibat di dalamnya. Mereka bisa merasa jadi bagian dari sebuah kelompok “besar”. Sesuatu yang tidak bisa didapatkan dari sekedar membaca pengalaman orang atau khayalan, atau curhatan orang lain.

Buku, walau merupakan gudang ilmu, tidaklah interaktif. Monolog. Satu pihak saja.

Buku menghadapi saingan yang sangat powerful, kuat.

Dan, bukan salah masyarakat memilih yang mereka mau. Tidak ada kewajiban dari mereka untuk membeli buku, karangan siapapun. Itu hak pribadi masing-masing. Lalu, kenapa ketika masyarakat memilih mereka harus disalahkan?

Bingung.

Dengan situasi yang memang seperti ini,dan kemungkinan akan memburuk, dalam artian, buku cetakan semakin kurang diminati, adalah tugas seorang penulis untuk mencoba menarik kembali minat masyarakat membaca buku. Mereka harus berjuang agar perhatian teralih kembali kepada buku-buku karangan mereka.

Menyalahkan masyarakat tidak ada gunanya. Mereka tidak peduli apakah sebuah buku akan laku atau tidak. Yang penting mereka hepi. Kalau membeli buku, hanya sekedar supaya penulisnya senang, tetapi mereka runyam, ya mana mau.

Situasi buku cetakan memang berada di persimpangan. Pertarungan jenis bahan bacaan lama ini sedang berhadapan face-to-face dengan pesaingnya, yang kebanyakan berbentuk digital. Dan, itu harus disadari oleh setiap orang yang berniat membuat dan menerbitkan buku.

Mereka harus menerima fakta dan memasukkannya dalam perhitungan sebelum mengetikkan kata pertama dari buku mereka.

Perlukah disayangkan akan berhentinya Trinity? Yah, apalah awak ini. Tetapi, untuk apa disayangkan. Itu adalah keputusannya. Jika dia merasa sudah saatnya untuk berhenti, dengan alasan apapun, ya apa mau dikata. Jika dia merasa itu jalan terbaik, situasinya tidak berbeda dengan masyarakat yang lebih memilih membeli HP daripada buku. Haknya untuk melakukan itu.

Apalagi, segala sesuatu yang ada di dunia pasti akan ada akhirnya. Pertemuan akan diakhiri dengan perpisahan (dalam bentuk apapun).

Tidak ada alasan untuk menyayangkan keputusannya. Toh suatu waktu akan ada gantinya lagi, seperti seorang blogger kenalan saya yang sedang mempersiapkan bukunya (nama dirahasiakan). Saya hanya bisa mengatakan “Good Luck”, “Semoga Sukses”.

Sementara saya sendiri, lebih suka menjadi blogger saja. Setidaknya saya agak terjauh dari mengeluhkan masyarakat yang makin malas membaca. Setidaknya saya tidak pusing kalau tidak ada yang mau baca dan beli. Toh , sejauh ini kegembiraan itu sudah didapat dari menulis apa yang ada di pikiran saya.

Entah, nanti kalau saya sudah mulai berpikir tentang duit. Pada saat itu, bisa jadi saya seperti Trinity yang mungkin lagi mutung, tetapi mungkin juga tidak.

Who knows? Saya tidak bisa mendahului Yang Maha Kuasa dalam hal ini.

Ya sudah. Itu saja. Intinya, pandang saja tulisan ini sebagai informasi bahwa Trinity akan berhenti menulis buku. Tulisan selebihnya, silakan diabaikan saja karena itu cuma pemikiran saya saja. Sang blogger katrok bin ndableg.

11 thoughts on “TRINITY Berhenti Menulis Buku”

  1. Saat mendengar Trinity, pikiran saya ngga jelas kemana. Tapi kalo naked traveller, pernah dengar sih.

    Membaca buku atau tidak memang hak masing-masing orang. Saya pribadi masih membaca buku, terutama novel Tere Liye, tapi yang lainnya juga malas sih, hehe.

    Reply
  2. saya tau trinity dan naked travelernya. pernah baca blognya tapi cuma sesekali aja dan enggak secandu maniak menulis. Yah… risiko menulis buku kalau enggak laku ya nasib, positif thinking aja. Tapi ngomong-ngomong temen bloggernya pak Anton yang sedang persiapan membuat buku siapa? kenalin dong. 🙂

    Reply
  3. Wah saya yang kurang gaul atau ngak hobi travel, Saya baru dengar nama Trinity. Ada benarnya juga Peminat buku semakin berkurang, saya aja yang hobi baca dah gak pernah beli buku lagi padahal dulunya sebulan sekali ke toko buku. Lebih banyak baca di internet lebih praktis dan murah

    Reply

Leave a Reply to Adin Ikhwan Cancel reply