Review atau Ulasan Buruk – Perlukah Diterbitkan ?

Reviw atau Ulasan Buruk - Perlukah Diterbitkan ?

Sebuah pertanyaan yang setiap saat selalu dihadapi oleh banyak blogger, terutama yang berurusan dengan traveling, wisata, atau kuliner adalah, ya itu seperti yang dicantumkan sebagai judul di atas. Review atau ulasan buruk, perlukah diterbitkan?

Kenapa demikian?

Hey. Bagaimanapun, tidak semua hal bagus kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hal yang buruk pun kerap kita alami dan hadapi setiap waktu.

Dalam hal ini, sebagai seorang blogger, yang niche-nya berada di wilayah wisata, kuliner, dan traveling, sudah pasti sebagian dari tulisannya akan bersifat review atau ulasan tentang sebuah tempat wisata, atau tempat makan, atau pelayanan yang diberikan.

Tidak mungkin menghindarkan diri dari tulisan-tulisan jenis itu.

Mau tidak mau.

Masalah utamanya adalah tidak semua yang dialami bagus. Banyak juga yang tidak bagus, jelek, menyebalkan yang dialami. Tidak semua rumah makan pelayanannya ramah. Tidak semua hidangan yang dicicipi enak seperti yang digembar gemborkan.

Hidangan yang lambat keluar. Petugas yang sangat judes. Bahkan kecurangan harga pun kerap dihadapi.

Jadi, selalu ada masalah yang harus dipecahkan saat membuat artikel, posting, atau ulasan (entah apa namanya). Haruskah hal-hal buruk nan tidak mengenakkan seperti itu dimasukkan ke dalam tulisan? Perlukah kejadian buruk yang dialami disebarkan dan diketahui banyak orang?

Merujuk pada kebebasan berpendapat dan beropini yang dijamin oleh konstitusi, jawabnya adalah perlu. Kalau ditambah dengan pandangan bahwa masyarakat berhak tahu kebenaran, maka sudah seharusnya apa yang kita alami ditulis sebagaimana adanya.

Masalahnya, kalau hal-hal jelek tersebut diterbitkan dan beredar di dunia maya, maka hal itu bisa menimbulkan dampak yang tidak baik pula bagi tempat atau sesuatu yang diulas. Nama buruk, pengunjung yang berkurang hanyalah sebagian dari efek yang mungkin ditimbulkan sebuah tulisan.

Tentu saja, sebagai blogger, saya bisa berargumen bahwa hal itu adalah bersifat opini, tetapi tahu tidak, kawan? Opini yang dipercaya sering menjadi tindakan atau landasan bagi orang lain bertindak. Opini kerap dianggap menjadi sebuah kebenaran. Dari sanalah, pada akhirnya lahir hoax yang terbukti bisa menjadi “senjata” perusak.

Dan, dalam masalah ini, sebuah ulasan buruk, walau bersifat opini, bisa berubah menjadi senjata yang menghancurkan.

Sebuah review jelek tentang restoran, bisa membuat orang tidak mau datang kesana. Kalau pengunjung berkurang perlahan tapi pasti, restoran tersebut akan merugi. Jika tempat itu merugi, hasilnya sang pemilik dan pengusaha akan terpaksa harus melakukan tindakan untuk menekan kerugian yang dialaminya. Menutup usaha atau mengurangi pegawai bisa menjadi salah satu yang diambilnya.

Kehidupan mereka-mereka yang terlibat dalam usaha itu bisa terancam dan terganggu hanya karena ketidakpuasan dari kita, yang mungkin hanya seorang.

Setiap opini, tulisan, atau artikel, bahkan dari seorang blogger bisa mengubah banyak hal. Bisa kecil, bisa besar. Contoh yang besar salah satu blogger Saudi Arabia, Raif Badawi, yang kerap menyuarakan persamaan hak wanita disana, pada akhirnya menyebabkan hubungan diplomatik antar Saudi Arabia dan Kanada dihentikan. Memang tidak secara langsung, tetapi karena pemerintah Kanada mengkritik penangkapan Badawi dan hal itu tidak diterima oleh Kerajaan Saudi Arabia.

Dan, itu adalah contoh dari betapa dalam sebuah tulisan tersimpan kekuatan “bom waktu” yang bisa membangun atau menghancurkan.

Begitu juga dengan reviw atau ulasan buruk pada sesuatu. Hampir pasti tetap ada efeknya. Besar kecilnya tergantung pada banyak hal.

Nah, itulah mengapa dilema seperti ini banyak dialami oleh para blogger karena bisa jadi tulisan mereka mempengaruhi kehidupan banyak orang lainnya.

Termasuk saya.

Yang bukan sekali dua selalu bertanya kepada diri sendiri, pemecahan apa yang terbaik saat menemukan pengalaman tidak mengenakkan. Apakah saya harus menuliskannya dan kemudian menerbitkannya?

Cukup lama sebelum pada akhirnya diambil satu keputusan bahwa “tidak menerbitkannya” sebagai jalan terbaik. Tidak mampu saya untuk menghadapi kemungkinan menimbulkan kesulitan bagi orang lain hanya karena sekedar melampiaskan rasa tidak puas dan kecewa, atau hanya karena sekedar ingin mendapatkan pengunjung.

Jika pun masih bisa, saya akan memperhalusnya dalam bahasa yang tidak mengarahkan. Tetapi, kalau tidak bisa, saya memilih untuk mengedit dan menghilangkan bagian “buruk” yang berpotensi menggiring orang untuk bertindak.

Saya tidak akan menuliskan review atau ulasan buruk tentang satu hal. Bagi saya, setidaknya karena hanya saya yang dikecewakan, cukup “hukuman” itu datang dari saya saja, yang tidak akan datang untuk kedua kalinya ke tempat itu.

Kalau ulasannya bagus, ya saya terbitkan karena disana ada harapan bisa membantu orang lain.

Bagaimana dengan Anda? Diterbitkan atau tidak?

8 thoughts on “Review atau Ulasan Buruk – Perlukah Diterbitkan ?”

  1. Kalau saya pribadi dan pernah suatu lokasi wisata kuulas apa adanya …, karena aku lengkapi foto areanya sebagai bukti.

    Tapi kalau tidak ada bukti foto, hanya sekedar tulisan menggambarkan hal yang kurang layak atau kurang baik, menurutku lebih baik jangan dipublikasikan.
    Takutnya berimbas buruk, baik untuk si penulis sendiri ataupun suatu tempat jadi merasa dirugikan.

    Reply
    • Saya setuju kalau yg kita tampilkan berupa gambar, krn ada buktinya. Tapi alangkah lebih baik lagi kalau foto2 yg ditampilkan berimbang agar terlihat juga sisi keelokannya. 🙂

      Reply
    • Betul om Him… saya juga takut merugikan pihak bersangkutan. Kasihan juga kalau sampai ada imbas buruk bagi mereka

      Reply
  2. Kalau saya ulas apa adanya Pak, tapi di pilah dulu efeknya pencemaran nama baik apa enggak. soalnya sekarang rame yang namanya pelaporan pencemaran nama baik. kalau saya sih tujuannya kritik biar pihak pengelola memperbaikinya.

    Reply
    • Saya yakin Mas Andi orangnya jujur, sehingga setiap penulisan tertulis apa adanya di blog Mas Andi.

      Namun saya ragu apakah si pengelolah membaca masukan dari Mas… 🙂 saya khawatir yang membacanya adalah konsumen atau penggunanya, sehingga mereka terpengaruh dan kemudian memilih langkah seribu. 🙂

      Reply
    • Persis seperti Kata Kang Nata.. jarang-jarang pengelolanya membaca.. kebanyakan yang membaca adalah orang yang berniat kesana. Jadi, kritik kita biasanya tidak akan sampai ke pengelola

      Itu salah satu unsur yang saya pertimbangkan juga

      Reply
  3. kalau tidak salah ingat, saya jarang menerbitkan kata2 atau kalimat yang akan menjatuhkan orang lain atau suatu usaha di blog saya,saya khawatir mereka sakit hati dan kecewa sehingga koleksi dosa kita akan menumpuk.

    Saya pilih saja cara aman, yaitu buat kalimat yang muaniss – muaniss saja, hahaha….

    Penulisan yg berbau mengkoreksi atau mengomel ada baiknya juga, sebab bisa untuk dijadikan bahan masukan untuk menuju perbaikan. Tapi masalahnya apakah orang yang dikoreksi sempat membacanya ?

    kalau tidak,mungkin lambat laun citranya akan memburuk.

    Dan kalau ternyata citranya memburuk dan kemudian jatuh, maka si penulis sudah turut andil dalam memperparah keadaanya.

    Reply
    • Poin yang masuk akal sekali Kang.. salah satu yang juga saya khawatirkan…

      Bahkan untuk sesama blogger sekalipun saya usahakan tidak menampilkan nama..hehehehe walau ada juga yang kadang sengaja dengan banyak pertimbangan

      Reply

Leave a Reply to Kang Nata Cancel reply