Menerjemahkan Manga atau Komik Jepang Pernah Menjadi Cara Mencari Uang Jajan

Menerjemahkan Manga atau Komik Jepang Pernah Menjadi Cara Mencari Uang Jajan

Boleh percaya atau tidak, sampai sekarang, setiap berkunjung ke Toko Buku Gramedia, salah satu bagian yang sering saya datangi adalah rak-rak Manga atau Komik Jepang dalam bahasa Indonesia.

Bukan, bukan untuk membelinya. Masa itu sudah lewat, meskipun saat saya sudah bekerja di perusahaan tekstil Jepang sekalipun, saya dan adik masih sering membeli beberapa seri manga, seperti Kungfu Boy, Master Keaton, Swan, dan masih banyak lagi lainnya. Tetapi, sejak menikah dan kemudian si kribo lahir, kebiasaan itu sudah tidak dilanjutkan lagi.

Maklum saja, uang untuk beli komik lebih baik dipakai untuk membeli susu si kribo.

Kebiasaan itu sering dilakukan tanpa sadar. Ada dorongan untuk selalu melirik sejenak ke deretan komik Jepang dimanapun berada. Tanpa membeli satupun. Bahkan, tidak membuka satupun komik itu.

Bingung kan?

Tidak apa.

Hal itu saya lakukan, karena ada keinginan sejenak mengenang sebagian masa lalu dalam kehidupan saya. Tepatnya, sekitar 25-28 tahun lalu, saat saya masih menjadi mahasiswa di Program Studi Jepang, Jurusan Asia Timur, Universitas Indonesia.

Manga, atau komik Jepang, adalah salah satu sumber uang jajan yang menyenangkan bagi kami para mahasiswa Sastra Jepang. Hal itu bukan karena orangtua tidak memberikan uang untuk makan siang yang cukup, tetapi namanya juga mahasiswa senang mencoba hal-hal baru, apalagi mendapatkan yang tambahan.

Senang rasanya.

Bagaimana komik-komik itu bisa memberikan uang jajan?

Kami tidak berjualan komik-komik itu. Tidak juga punya toko buku. Yang kami lakukan adalah menerjemahkannya dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia.

Sangat kebetulan sekali, saat saya belajar di Fakultas Sastra Jepang, manga sedang sangat booming di Indonesia. Permintaannya luar biasa. Dalam setahun bisa ratusan judul yang diterbitkan dan setiap judul terdiri dari beberapa seri.

Tentunya, tidak serta merta komik-komik itu masuk dalam bahasa Indonesia. Ketika diterima oleh penerbit, komik-komik itu masih dalam bahasa Jepang. Huruf-hurufnya masih Hiragana, Katakana, dan Kanji.

Dan, kamilah, para mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang menerjemahkannya. Bagi kami saat itu, selain mendapatkan uang jajan, juga mendapatkan kesempatan untuk berlatih bahasa itu sendiri. Banyak istilah yang tidak umum tetapi sering dipakai dalam keseharian ditemukan saat menerjemahkan komik-komik itu.

Bayarannya sendiri lumayan sekali untuk ukuran saat itu. Jika, sekarang blogger ada yang menerima content placement seharga Rp. 50,000.-, saat itu jumlah itu sudah kami terima untuk mengalih bahasakan satu komik.

Lumayan kan.

Kebiasaan itu dilakukan turun temurun karena para senior kami saat itu akan mengajak yuniornya untuk bergabung. Kebetulan banyak dari mereka yang punya channel ke penerbit komik Jepang, seperti Elex Media Komputindo. Jadi, siapapun bisa bergabung.

Hasil terjemahannya saat itu memang terlihat “kurang sempurna”. Hal itu bisa terlihat dari banyaknya kosa kata yang kadang kurang nyambung atau kurang jelas.

Maklum saja karena kemampuan berbahasa Jepang kami saat itu masih rendah dan belum begitu terbiasa dengan istilah-istilah sehari-hari dan bahasa yang non formal. Oleh karena itu kadang kami menerjemahkan sebisanya.

Lumayan berat ternyata. Tetapi, disanalah kami merasakan manfaatnya karena perlahan tetapi pasti, pengetahuan tentang bahasa Jepang bertambah sedikit demi sedikit. Kosa kata pun semakin banyak yang dikuasai.

Yang paling menyenangkan, yah sama seperti sekarang, yaitu saat menerima bayarannya. Rasanya bukan main. Harap dimengerti juga, walau uang jajan cukup, tambahan itu berarti punya uang tambahan untuk membeli buku lagi atau menraktir seseorang.

Itulah yang membuat sampai sekarang, kaki masih kerap secara otomatis membawa saya ke bagian manga. Sedikit bernostalgia dan kembali sejenak ke masa dimana masih menjadi mahasiswa yang culun.

Maklum, karena usia yang sudah menua, ada satu kebiasaan lain yang menyenangkan untuk dilakukan, namanya bernostalgia dan mengingat masa lalu.

Tidak jarang seulas senyum hadir tanpa terasa.

Untungnya, tidak ada yang menganggap saya orang tidak waras karena tersenyum sendiri di depan deretan komik Jepang itu.

Kalau ada yang melihat bisa berabe dah.

6 thoughts on “Menerjemahkan Manga atau Komik Jepang Pernah Menjadi Cara Mencari Uang Jajan”

  1. Berkah dari demam komik Manga ..
    Selain makin mengasah bahasa Jepang juga lumayan ya jadi penterjemah.

    Salut 👍

    Reply
  2. Membaca komik apalagi menerjemahkan, menurut saya adalah cara yang menyenangkan untuk belajar Bahasa Asing. Karena kalimat di komik biasanya pendek. Bahasa yang digunakan adalah bahasa percakapan. Selain itu ada gambar yang membantu pemahaman. Tapi tentu saja, saya tidak belajar bahasa Jepang dari komik. Tapi saya belajar Bahasa Inggris dari komik. Lebih tepatnya, saya senang membaca komik Jepang yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Karena dulu, waktu awal-awal kenal dengan manga online, kebanyakan berbahasa Inggris. Tidak seperti sekarang dimana yang berbahasa Indonesia sudah mudah ditemukan.

    Reply
  3. Wo … sumber rezekinya bisa jadi inspirasi Pak. 🙂

    Kalau tidak salah saya dulu suka baca2 Komik Kung Fu Boy, jangan2 itu adalah hasil terjemahan Pak Anton. 🙂

    Reply

Leave a Comment