Tantangan Itu Bernama Karangan Narasi

Tantangan Itu Bernama Karangan Narasi

Kemarin, pada akhirnya saya melakukan sebuah hal yang selama ini selalu dihindari, yaitu membuka sendiri beberapa tulisan yang pernah dibuat. Bukan hanya di blog Maniak Menulis saja, tetapi juga di blog-blog yang lain, dan paling banyak tulisan yang dibuka ada di Lovely Bogor.

Selama ini membaca tulisan sendiri bukan dari dashboard bukanlah sebuah kebiasaan. Biasanya kalau hendak membaca ulang, saya melakukannya dengan memakai menu edit saja, bahkan tanpa melakukan editing. Tetapi, tidak kali ini, saya melakukannya dari “luar”.

Yang ingin saya dapatkan adalah sebuah penilaian atau sudut pandang seorang pembaca dan bukan sebagai blogger. Niatnya, ingin mengetahui bagaimana seorang pembaca menangkap apa yang ditulis dan juga ingin mengetahui apa kira-kira yang mereka rasakan saat menelusuri kata demi kata dalam tulisan tersebut.

Pemicu dari tindakan ini adalah sebuah karangan narasi kecil yang terbit pada hari yang sama. Tulisan yang bercerita tentang pengalaman kehabisan baterai saat berburu foto. Judulnya “Terima kasih banyak untuk penemu smartphone! Janga pernah lupa bawa smartphone ya!”

Ada rasa tidak nyaman saat menulisnya. Banyak mandeg dalam penulisannya (tentu tidak terlihat oleh yang baca). Terasa sekali alurnya terpotong-potong. Tetapi, tetap saya paksakan untuk menyelesaikannya dengan rasa canggung di hati saat mengetikkan kata demi kata.

Kemudian, setelah dipublish dan mendapatkan beberapa komentar, saya memutuskan untuk menganalisa dan menilai apa yang sudah tertulis dalam postingan itu. Dan, saya ingin melakukanna sebagai “pembaca” bukan penulis. Jadi, saya melakukan hal yang dilakukan seorang pembaca, yaitu membuka tulisan itu saat sedang tayang dari menu yang ada dan bukan dari dashboard.

Kata demi kata, kalimat demi kalimat, kemudian alurnya saya baca. Bukan hanya sekali 3-4 kali malah.

Beberapa pertanyaan kemudian saya ajukan kepada diri sendiri, yaitu hal-hal yang saya harapkan kalau membaca sebuah tulisan yang sifatnya “bercerita”. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah

1. Apakah tulisan itu enak dibaca?

2. Apakah alurnya lancar dan tidak terputus antar tiap paragraf

3. Apakah pemakaian diksi atau pemilihan katanya luwes?

4. Apakah sebagai pembaca merasa terbawa dan ikut dalam cerita?

Terakhir, apakah saya mau membaca tulisan dari penulis yang sama kalau tulisannya seperi itu?

Dan, mencoba jujur pada diri sendiri, saya harus mengatakan “TIDAK”.

Yah, meski itu tulisan sendiri, tetapi sebagai seorang pembaca, saya memiliki kriteria yang berbeda. Jadi, karena saya harus jujur, maka jawabannya adalah tidak.

Tidak enak dibaca.

Kalimat pendek, terlalu ringkas dan tidak luwes. Kaku. Terlalu to the point. Pemilihan kata yang standar saja, tidak ada usaha mencari kata yang lebih menimbulkan “rasa”. Tidak ada plot dan gejolak yang membuat orang tertarik dan terikat.

Idenya? Bukan sebuah masalah. Ide besar atau kecil tidaklah menjadi poin. Jadi, ide tentang masalah lupa yang menyebalkan kalau diolah sebagai sebuah cerita bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dan itu tidak terlihat di tulisan tadi.

Efek dari penilaian itu adalah saya berkunjung sebagai pembaca ke beberapa blog milik saya yang lain, terutama ya itu tadi Lovely Bogor. Blog ini berisikan banyak hal yang bisa dijadikan bahan tulsan “bercerita” mengingat berbagai topik di dalamnya yang berkaitan dengan perjalanan wisata, sosial budaya, dan sejenisnya. Sangat berpeluang untuk menjadi banyak tulisan narasi.

Jadi, saya ingin melihat ulang bagaimana hasil olahan selama ini disana. Terlepas bahwa banyak orang mengatakan bahwa tulisannya enak dibaca, informatif, dan sangat membantu, saya ingin melihat apakah disana banyak “cerita” atau “berita”.

Ternyata…

Berada di antara keduanya. Unsur “berita” nan informatif terasa lebih kental dibandingkan unsur cerita, meski dibandingkan dengan artikel “berita” masih tetap terasa nuansa “personal” dan “cerita” yang merupakan unsur utama tulisan di blog.

Unsur “berita” lebih dominan dibandingkan unsur “cerita”. Sebagian tulisan yang seharusnya bersifat “cerita” pun ternyata memiliki pola yang sama dengan yang kemarin terbit.

Analisanya memang berpangkal pada satu hal saja, karakter diri sendiri. Selama ini dalam kehidupan sehari-hari pun, saya bukan orang yang gemar “bercerita”, apalagi tentang pengalaman pribadi. Bahkan untuk sekedar memajang foto saat berwisata bersama keluarga pun, hampir tidak pernah dilakukan.

Laman medsos, seperti Facebook yang saya miliki hanya berisi kan berbagai “pemikiran”, “perdebatan”, atau “ide”. Tidak ada cerita tentang bagaimana kehidupan saya. Tidak ada foto diri sendiri dan bahkan foto profile saja adalah foto si kribo saat masih duduk di bangku SD. Sebuah foto yang jelas berbeda dengan kondisinya sekarang.

Tidak heran ketika seorang teman men”tag” saya sedang bersama seorang wanita, maka teman-teman FB menduganya itu istri saya. Padahal bukan. Hanya seorang teman lama. Itu karena sebuah kebiasaan yang terbentuk selama ini untuk tidak terlalu “terbuka” pada dunia luar, tentang siapa dan bagaimana si pemilik akunnya.

Bukankah profile penulis di blog MM juga hanya sebuah patung yang sedang “melamun”? Itu salah satu cerminan dari karakter pemiliknya.

Dan, hal itu berdampak pada karakter dan gaya penulisannya. Saya lebih suka “bertarung” dalam pemikiran, berargumen, dan sejenisnya. Hal itu menimbulkan “semangat”. Di sanalah passion saya. Tidak sulit bagi saya menulis artikel bersifat argumentatif seperti ini.

Tetapi, ketika mencoba terjun dalam dunia yang berbeda, dunia dimana isinya adalah storytelling alias bercerita, karakter dan kebiasaan blak-blakan, kaku, tidak luwes, adalah hambatan yang luar biasa besar.

Berat rasanya.

Kayak disuruh mengangkut karung beras, atau kedelai, atau gula berukuran 50 kilogram. Ampuuun rasanya. Perjalanan menulis cerita seperti ini membuat hati seperti mobil yang bensinnya bercampur air. Tersendat-sendat. Sebentar berhenti, maju, berhenti, maju. Tidak nyaman sama sekali.

Cuma, karena saya memutuskan untuk terus bergerak maju sebagai blogger dan “penulis”, mau tidak mau, saya harus “belajar” menjadi seorang narator juga dan bukan hanya “argumentator” (tau istilah darimana, yang penting bukan alligator saja). Dengan begitu saya menjadi “kaya”.

Jadi, berhenti menulis artikel atau karangan narasi bukanlah pilihan. Saya harus terus maju dan mencoba mengatasi masalah yang ada dalam hal ini. Saya harus belajar untuk menghasilkan sebuah cerita yang baik, setidaknya enak dibaca oleh diri sendiri.

Bukan berarti saya akan kembali belajar teori tentang cara membuatnya. Terus terang setelah belajar di SMA, kemudian kuliah di jurusan bahasa asing, dan belajar tentang bercerita tentang proses produksi di pekerjaan sekarang, rasanya cukup hapal dengan teori-teori membuat karangan narasi. Belum lagi, pada saat awal menjadi blogger pun, entah sudah berapa tulisan tentang teorinya dibaca ulang.

Yang saya akan lakukan adalah mencoba memisahkan antara saat “bercerita” dalam tulisan di blog dengan “karakter” sebenarnya. Selama ini hal itu kerap terbawa dan rupanya menjadi penghambat dalam bercerita dalam bentuk tulisan.

Bisakah? Entahlah. Merubah karakter seseorang adalah hal paling sulit dilakukan, termasuk merubah karakter diri sendiri. Mungkin dengan mencoba memisahkan dunia nyata dengan dunia menulis, hal itu bisa lebih mudah. Mungkin yah, mungkin ya mungkin tidak.

Jadi, jangan heran yah kalau di Maniak Menulis atau blog-blog lainnya akan hadir satu jenis “tulisan” baru yang isinya “bercerita” dan bukan berargumen. Itu adalah salah satu bentuk cara mencoba menjadi seorang “pencerita” yang baik.

Siapa tahu berhasil.

Iya kan?

9 thoughts on “Tantangan Itu Bernama Karangan Narasi”

  1. saya banyak belajar Pak dari para blogger perempuan, aslinya saya suka gak jelas kalau cerita itu sih yang ngomong kumendan.

    jadi saya banyakin aja baca artikel blogger wisata (terutama wanita) sama baca cerpen.

    Reply
  2. Nah kalau Tulisan yang satu ini saya sedikit kesulitan untuk menikmatinya Pak, atau mungkin karena saya sedang pusing yach, heheheh….

    Kalau boleh saran sich, jadilah Penulis yang sesuai dengan Jiwa Pak Anton saja, biar ngk mikiri angkat karung kedelai 50 KG.

    Reply
    • Hemm.. saya memang sudah jadi diri saya sendiri. Cuma, pingin bisa menulis artikel narasi, tetapi jadi penghambat.

      Tidak berarti saya berubah, tetapi itu hambatan yang harus dihadapi dan dipecahkan. Bukan berubah menjadi orang lain

      Reply
  3. Saya juga termasuk sering membaca ulang artikel yang sudah dipublish dan membaca deretan komentar yang masuk utk mengetahui kira2 kurang penyampaiannya seperti apa.

    Kalau untuk menulis,saya lebih senang jadi diri sendiri dan dengan gaya bahasa ciri saya.
    Karena menurut saya, ciri tiap penulis berbeda satu sama lain dan disitulah uniknya.

    Maaf kalau saya salah berkomentar,mas.

    Reply
    • Hemm.. saya memang akan tetap menjadi diri sendiri, tetapi yang bisa lancar menulis artikel narasi. heuheuheu.. maksa yah…Karena dengan begitu saya akan jadi makin pintar …Lebih banyak gaya yang bisa saya pakai

      Reply
  4. Hmmm,,, saya malah ngga mikirin deretan pertanyaan yang muncul di benak Bapak saat baca artikel. Intinya, baca aja, terus pahami.

    Saya pribadi, kayanya lebih sering menulis narasi daripada argumentasi. Walaupun sebenarnya, saya banyak lupa definisinya di buku pelajaran bahasa Indonesia, hehe.

    Reply
    • Hemmm…. kalau saat baca, emang nggak mikirin karena sudah menjadi naluri. Baru mikirin saat mau bikin artikel saja atau memang niat menganalisa..

      Dan karena tujuannya menganalisa, jadi saya harus tahu apa yang dicari. Kalau memang cuma sekedar blogwalking, saya nggak mikir, tetapi karena tujuannya pembelajaran, ya kepaksa mikir..

      Iya ga bu guru?

      Reply

Leave a Reply to Kang Nata Cancel reply