Salah Paham Fakultas Sastra Sebagai Penghasil Sastrawan atau Pujangga

Salah Paham Fakultas Sastra Sebagai Penghasil Sastrawan atau Pujangga

Ada sebuah mis-persepsi atau kesalahpahaman dalam masyarakat awam tentang apa yang dihasilkan oleh sebuah Fakultas Sastra. Banyak orang berpandangan kalau para mahasiswa dari fakultas ini akan berambut gondrong dan kemudian pandai sekali berpantun atau menulis pusi bak pujangga.

Kenyataannya tidak demikian.

Saya adalah lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1995 dan sayangnya, jangankan berpantun, memahami makna sebuah puisi saja kerap tidak bisa. Juga, saya tidak berambut gondrong dan kemana-mana berpakaian lusuh.

Normal. Saya berpakaian secara normal. Pakaian standar adalah jins atau celana kain ditambah kaus berkerah atau kemeja. Tidak ada bagian yang robek-robek atau lusuh seperti yang banyak digambarkan sebagai pakaian standar para pujangga.

Bukan, saya bukan pujangga dan tidak bisa mengarang puisi cinta untuk menarik perhatian wanita. Bahkan, sering dikeluhkan tidak romantis oleh istri.

Padahal, pada saat saya kuliah dulu, banyak tetangga yang tersenyum ketika saya mengatakan mengambil jurusan Sastra Jepang di UI. Mungkin yang terbayang oleh mereka adalah sosok sastrawan yang hidupnya bakalan kere.

Kenyataannya tidak demikian. Hidup saya tidak kere-kere banget dan juga saya bukanlah sastrawan. Saya seorang pegawai di sebuah perusahaan trading tekstil dan sudah bekerja di bidang ini selama lebih dari 20 tahun. Jelas, sebuah perusahaan trading yang menangani ekspor kain dan kemeja tidak membutuhkan orang yang bisa membuat puisi saja.

Itulah yang saya sebut sebagai kesalahpahaman dalam memandang skill atau kemampuan yang diajarkan oleh sebuah Fakultas Sastrs di universitas manapun.

Sebuah fakultas sastra mengajarkan kepada para mahasiswanya beberapa hal pokok, yaitu :

  1. Bahasa
  2. Budaya
  3. Sejarah

Misalkan Fakultas Sastra Jurusan Perancis, maka selain bahasa Perancis, para mahasiswa akan dikuliahi tentang berbagai hal terkait budaya, sejarah, dan banyak hal lain terkait dengan bangsa dari pemakai bahasa tersebut.

Hal itu karena bahasa tidak akan bisa terlepas dari kebudayaan dan jelas memiliki sejarah panjang di belakangnya.

Jadi, bisa dikata seorang mahasiswa fakultas sastra akan mempelajari tentang sebuah bangsa dibandingkan hanya sebuah bahasa saja.

Pelajaran bahasa yang diajarkan juga sangat mendalam. Bukan hanya seperti belajar mengucapkan atau menulis saja, tetapi juga harus mengerti berbagai hal lain, seperti linguistik, semantik, sintaksis, dan banyak hal lain terkait pemakaian bahasa. Pelajaran ini juga mengharuskan mahasiswa menguasai bahasa dengan baik.

Begitupun tentang budaya dan sejarah. Berbagai seluk beluk tentang cara hidup masyarakat pemakai bahasa itu juga diajarkan hingga berjilid-jilid (dan sampai kepala mumet dan perut mual saking banyaknya bahasan).

Jangan bayangkan kalau seorang lulusan fakultas sastra akan luntang lantung dan hobi begadang layaknya para pujangga (setidaknya itu yang digambarkan mengenai sastrawan kan). Banyak lulusan fakultas ini yang bekerja di perusahaan asing, sebagai penterjemah, bagian purchasing, bagian marketing, atau sekretaris.

Semuanya itu karena biasanya seorang yang dinyatakan lulus dari FS akan memiliki kemampuan bilingual atau trilingual, dwi bahasa atau tri bahasa. Mereka menguasai beberapa bahasa, seperti bahasa Indonesia, bahasa Perancis dan bahasa Inggris. Jangan salah juga seorang mahasiwa Sastra Korea tetap juga menerima pelajaran tentang bahasa Inggris.

Sayangnya, banyak kesalahpahaman tentang hal ini dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa kuliah di Fakultas Sastra tidak memberikan masa depan yang baik. Tidak jarang ada ejekan “Ngapain kuliah di Sastra, emang lu mau jadi sastrawan?” atau “Mendingan ikut kursus saja daripada kuliah di Sastra”.

Padahal, di masa sekarang kemampuan berbahasa, berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang asing adalah sebuah asset yang sangat berharga. Apalagi jika dilihat globalisasi yang semakin deras menghilangkan batasan antar manusia dan bangsa. Kemampuan yang diberikan oleh fakultas sastra sangat bermanfaat dalam menghadapinya.

Saya sebagai contohnya. Selama menjalani pekerjaan sebagai marketing untuk ekspor, mau tidak mau, saya harus berinteraksi dengan banyak orang asing dari banyak negara. Pengetahuan yang diberikan oleh FS UI (zaman dulu namanya demikian) sangat bermanfaat. Saya bisa cepat sekali memahami cara hidup orang asing karena teorinya sudah didapat saat kuliah dulu. Saat bepergian pun hal-hal seperti itu sangat bermanfaat.

Sebagai sampingan, saya memiliki pengetahuan dan teori tentang satu hal lagi yang tidak pernah disangka bisa berguna 3 tahun terakhir. Pengetahuan itu adalah tentang menulis yang juga didapat di bangku kuliah dulu.

Jadi, itulah mengapa saya mengatakan ada banyak mis-persepsi tentang apa fakultas sastra itu. Saya rasa, pemikiran yang sama yang mendorong Universitas Indonesia mengubah nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya sekarang. Tetapi, masih banyak universitas lain yang tetap menggunakan istilah itu.

Buat Anda yang ingin kuliah, janganlah kesalahkaprahan ini mempengaruhi keputusan Anda. Jelas, Anda tidak dididik untuk menjadi pujangga di fakultas sastra.

Percayalah.

6 thoughts on “Salah Paham Fakultas Sastra Sebagai Penghasil Sastrawan atau Pujangga”

  1. Menurut saya orang yang kuliah di sastra itu keren. Mungkin karena dalam pemahaman saya, mereka menguasai bahasa dengan baik sekali. Atau mungkin karena saya tidak kuliah di jurusan sastra, maka saya harus ikut kursus untuk mendalami bahasa.

    Tapi di kampus saya kuliah dulu, fakultas sastra namanya adalah fakultas adab dan humaniora. Dipikir sepintas, adab disini bisa dikira cuma sopan santun. Padahal maksudnya disini sama dengan budaya.

    Reply
    • Saya dulu sering ditanya lo kenapa mau masuk FS… hehehe.. karena memang saat itu kesannya tidak keren. Yang keren itu masuk Fakultas Teknik atau Ekonomi.

      Pandangan itu pun masih ada sampai sekarang lo

      Reply
  2. Hahaha, walaupun saya dulu kuliah di Fakultas Ilmu Sosial tapi saya dapat gelar SS (Sarjana Sastra). Emang anak-anak sastra itu rata-rata sering diidentikkan dengan kumal, karena itu ekspresi mereka untuk memerdekan diri (mungkin loh).

    Soal identitas ini, saya juga pernah dapat cibiran dari bos dulu.

    "Hobi kamu apa?"

    "Nge-blog?"

    "Berarti kamu anti-sosial dong."

    Lah, begitu yak?

    Reply

Leave a Reply to Lilih Cancel reply