Semakin Menghargai Profesi Wartawan Dengan Menjadi Blogger Kota

Semakin Menghargai Profesi Wartawan Dengan Menjadi Blogger Kota

Pengalaman adalah guru yang terbaik. Mengalami sendiri sesuatu hal akan merubah banyak sekali sudut pandang dan penilaian seseorang terhadap sesuatu hal. Dengan melakukannya sendiri, seseorang akan mengalami banyak hal yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan meski sudah membaca banyak cerita atau kisah.

Itulah yang saya alami ketika menjadi “blogger kota” alias city blogger dan mengelola blog Lovely Bogor yang bertemakan Kota Hujan.

Blog itu mengajarkan kepada saya bahwa menjadi wartawan itu tidak mudah. Banyak sekali hambatan saat melakukan penulisan. Pengalaman yang pada akhirnya membuat saya semakin menghargai profesi wartawan, reporter, jurnalis.

Tidak mudah ternyata. Sangat tidak mudah untuk menjadi wartawan.

Lovely Bogor dibangun berdasarkan idealisme untuk memperlihatkan kepada dunia luar tentang segala sesuatu yang ada di kota tempat saya tinggal, Bogor. Gaya penulisannya diputuskan, berupa gabungan antara informasi dan gaya santai blogger. Sumber dan ide penulisan dilandaskan pada pengalaman dan apa yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari disana.

Disitulah pangkal mulanya berasa.

Keinginan untuk menyajikan apa yang dialami dalam kehidupan sehari-hari membuat saya harus mau keluar dari rumah dan meninggalkan komputer. Tanpa itu tidak akan ada artikel yang bisa diterbitkan. Mau tidak mau, saya harus berani melangkahkan kaki menuju tempat-tempat dimana dirasa ada sesuatu yang bisa dijadikan bahan tulisan.

Dalam perjalanannya ternyata semuanya berkembang lebih jauh lagi. Ternyata tidak cukup hanya sekedar memotret dan kemudian menulis saja, butuh banyak data tambahan dan juga penjelasan, yang seringnya tidak bisa didapat dari internet.

Tidak jarang saya harus menyempatkan waktu untuk berbincang dengan orang-orang yang dianggap tahu tentang obyek yang akan menjadi bahan tulisan. Ngobrol dengan orang yang tak dikenal, berteman dengan orang dari berbagai kalangan, menghadapi masyarakat dari berbagai level pendidikan.

Tidak mudah ternyata. Butuh keberanian dan keluwesan. Keberanian untuk mendekati dan menyapa orang asing. Keluwesan bermanfaat untuk mencairkan suasana dan membuka pembicaraan. Apalagi kebanyakan orang sering sudah memandang curiga dulu pada orang yang tidak mereka kenal. Penolakan bukanlah sesuatu yang tidak umum ditemui.

Menakutkan.

Bisa dikata demikian, pada awal mulanya. Tetapi, setelah berlangsung cukup lama, maka semakin lama saya semakin terbiasa.

Mengambil foto pun bukan sesuatu yang mudah. Banyak tempat ternyata tidak memperbolehkan penggunaan kamera, seperti pusat perbelanjaan, gedung-gedung pemerintahan. Padahal, banyak di Bogor gedung-gedung pemerintahan memakai bangunan bersejarah yang sarat cerita. Jadi, mau tidak mau harus memutar akal untuk bisa memotretnya.

Kadang dilakukan dengan cara pendekatan terhadap yang berwenang untuk mendapatkan iin. Kadang dengan cara sembunyi-sembunyi.

Disini, mau tidak mau saya harus belajar berbagai “trik” dalam mengatasi hambatan yang timbul. Perlu berpikir kreatif dalam menyesuaikan dengan situasi di lapangan. 

Bikin puyeng.

Iya kan?

Ini baru sebagian. Setelah di lapangan, begitu di depan komputer, masalah yang perlu dipecahkan pun bertambah banyak, seperti :

1. Pemilihan foto : tidak semua foto yang didapat di jalan bisa dipakai, terkadang hanya sedikit saja yang bisa dimasukkan dalam artikel

2. Post processing foto: mayoritas foto harus mengalami post processing atau pengolahan ulang supaya tampil lebih bagus di artikel

3. Memilih sudut pandang penulisan: segala sesuatu memiliki tak terhitung sudut pandang.. Sayangnya, satu artikel hanya bisa memiliki satu sudut pandang saja, jadi mau tidak mau harus memilih dan terus terang bukan hal yang menyenangkan

Dan, untungnya tidak ada editor atau redaktur di atas saya. Tinggal cukup tekan publish saja sebuah artikel sudah langsung terbit. Berbeda dengan kalau ada editor dan redaktur karena hal ini berarti tulisan yang dibuat harus bisa memuaskan mereka dulu sebelum bisa tayang di website.

Ini adalah bagian yang paling sulit, memuaskan dan menyenangkan orang lain. Paling menyebalkan malah sebenarnya.

Jangan lupa tentang deadline, tenggat waktu. Meski tidak seketat yang dialami wartawan, yang pasti dikejar-kejar atasannya, seorang blogger kota juga memiliki target waktu sendiri. Percayalah, rasanya jauh dari yang namanya menyenangkan.

Mungkin karena itulah, saya mengambil keputusan untuk melupakan target waktu, karena hasilnya adalah tekanan yang terlalu berat.

Intinya tidak mudah. Sama sekali tidak mudah. (Lebih parah lagi kalau ditambah dengan kondisi di rumah, seperti gaji yang sudah habis setiap akhir bulan, anak-anak yang marah bapaknya tidak bisa mengajak bermain).

Pengalaman-pengalaman seperti inilah yang membuat saya tidak lagi mau mengatakan profesi wartawan sesuatu yang mudah. Berbagai tantangan yang dihadapi dalam mengelola Lovely Bogor membuat saya lebih menghargai profesi itu sekarang.

Bukan berarti menutup mata bahwa ada wartawan yang memanfaatkan profesinya untuk hal-hal yang buruk. Tetapi, menjadi wartawan tidaklah semudah yang dibayangkan orang. Tidak lagi saya mau mengkomplain atau merasa kesal karena ada salah ketik dalam sebuah tulisan. Tidak juga saya mau mengkritik ketika ada foto yang agak kabur.

Karena, setiap membaca berita, tidak urung terlintas bayangan, seorang/sekawanan wartawan yang sedang bercucuran keringat akibat panas teriknya matahari dan sedang diomeli boss-nya.

Nope. Sekarang saya bisa lebih menghargai profesi wartawan dan itu terjadi setelah menjadi blogger.

Leave a Comment