Menulis Artikel Kuliner Itu Mahal – Bisa Bikin Jebol Dompet

Menulis Artikel Kuliner Itu Mahal

Kata siapa blogger tidak perlu modal? Coba saja tanyakan kepada mereka yang biasa menulis artikel kuliner, pasti mereka akan mendengus kesal kalau ada yang berkata seperti itu. Kenyataannya memang cukup besar juga uang yang harus keluar dari kocek untuk sebuah artikel.

Memang, kata biaya atau ongkos menulis tentang kuliner ini tersamar. Kegiatan ini biasanya merupakan dari kegiatan lain, seperti berwisata, hangout, kongkow, ngerumpi, dan sejenisnya. Jadi tidak serta merta murni biaya menulis artikel saja. Seringkali, jadinya sebuah tulisan dianggap bonus dari kegiatan lainnya.

Meskipun demikian, seorang blogger biasanya akan selalu terdorong untuk terus menghasilkan tulisan baru. Seringkali, tujuan berwisata atau berkuliner memiliki niat tersembunyi, yaitu “mencari bahan tulisan” untuk update blog. Tidak jarang, para blogger akan selalu mengusahakan agar mereka bisa mengunjungi tempat-tempat baru dan mencicipi jenis-jenis kuliner yang belum pernah dirasakan.

Jadi, tidak bisa diabaikan adanya dorongan untuk menulis artikel sebagai penyebab dilakukannya kegiatan senang-senang seperti itu.

Itu juga yang menjadi landasan mengapa biayanya juga seharusnya dimasukkan sebagai ongkos menulis.

Mengapa mahal?

Kecuali sudah sekelas (alm) Bondan Winarno dimana ia justru diundang untuk mencicipi dan berkunjung, blogger kuliner haruslah merogoh koceknya sendiri untuk mencicipi kuliner yang hendak ditulis.

Mereka harus pergi ke tempatnya yang berarti butuh biaya transportasi. Kemudian, harga makanan yang akan diulas, tidak akan ada yang mau memberi gratisan. Belum lagi kalau ingin pendapat orang lain supaya tulisan lebih berimbang, yang berarti harus membeli porsi lebih banyak. Ini diluar biaya internet, pulsa, listrik, dan lainnya yang biasa dikeluarkan saat menulis.

Lumayan besar ternyata. Semurah-murahnya makanan di restoran atau rumah makan, tetap saja terasa bagi dompet. Beberapa lembar 50 ribuan atau 100 ribuan akan melayang keluar dan berpindah tangan. Apalagi kalau kuliner yang akan ditulis ada di restoran ternama.

Waduh. Gaji sebulan bisa habis seminggu.

Masalah utama dalam membuat ulasan atau artikel kuliner adalah karena lebih cocok dilakukan oleh yang mengalaminya. Tulisan tentang kuliner harus otentik dan didasari oleh pengalaman pribadi penulisnya.

Memang, bukan sebuah masalah kalau artikel jenis ini merupakan hasil comot sana dan comot sini, tetapi kebanyakan hasilnya sangat “ngambang”. Tidak terasa nuansa berkulinernya kalau sekedar mengandalkan pada apa yang tidak dirasakannya sendiri.

Pembaca bisa membedakan mana tulisan yang ditulis berdasar pengalaman pribadi atau tulisan yang dibuat oleh mereka yang tidak mengalaminya. Apalagi di sebuah blog yang justru menekankan pada pengalaman penulisnya dan bukan sekedar berita.

Hal itulah yang membuat akhirnya menulis artikel kuliner menjadi mahal dan bisa merobek dompet kalau dilakukan terlalu sering. Kecuali ada yang mau mensponsori.

Sayangnya, kalau belum terkenal, sulit mendapatkan sponsor. Jadi, cara satu-satunya supaya dompet tidak robek adalah dengan mengurangi jumlah artikel kuliner yang diterbitkan. Daripada anggaran rumah tangga terganggu? Iya kan?

1 thought on “Menulis Artikel Kuliner Itu Mahal – Bisa Bikin Jebol Dompet”

Leave a Reply to jessikatan Cancel reply