Lama Waktu Menulis Tidak Menentukan Kualitas Artikel

Lama Waktu Menulis Tidak Menentukan Kualitas Artikel

Pilih mana? Menulis setiap hari dan menghasilkan artikel biasa-biasa saja atau menulis 3 hari atau seminggu sekali dan menelurkan artikel yang berkualitas, bermanfaat, dan luar biasa?

Bukan saya yang mengatakan.

Gaya perbandingan seperti banyak sekali dipergunakan oleh para internet marketer untuk menekankan bahwa menulis setiap hari adalah kesalahan. Seharusnya gaya yang dipakai adalah gaya mereka “yang menekankan pada kualitas dan bukan kuantias”. 

Terus menerus, hal itu didengungkan oleh mereka yang gemar menenggak pemikiran para salesman di dunia maya ini.  

Dan, terpaksa saya harus bilang bahwa hal seperti ini adalah KONYOL. Bukan berarti saya tidak bisa menghargai pendapat dan pandangan orang, tetapi ada sebuah kesalahan logika (walau terkadang dianggap benar oleh banyak orang). Kesalahan yang sangat besar sebenarnya.

Cobalah mencari jawaban untuk dua pertanyaan dibawah ini :

1. Seorang anak berusia 5 tahun membutuhkan waktu 5 jam penuh untuk memasak sayur bayam . Sementara itu seorang ibu rumah tangga hanya memerlukan waktu 30 menit untuk masakan yang sama

Pertanyaan : Mana masakan yang lebih enak?

2. Seorang blogger yang baru menekuni bidang tulis menulis kurang dari satu tahun membutuhkan waktu seminggu. Sementara Raditya Dhika, blogger, komedian, dan penulis buku, membutuhkan waktu hanya satu jam untuk melahirkan sebuah artikel

Pertanyaan : Mana artikel yang lebih bagus dan berkualitas?

Bisa temukan jawabannya?

Jawaban saya adalah :

1. Kemungkinan, hasil masakan si ibu rumah tangga akan lebih enak. Tentunya  dengan pengalaman dalam mengelola rumah tangga yang lebih lama dan banyak, termasuk dalam hal memasak, ia memiliki kemampuan dan pengetahuan lebih dalam mengolah bahan masakan. Belum lagi sang anak berusia 5 tahun, biasanya belum paham betul cara memasak dengan baik

2. Kemungkinan, tulisan Raditya Dhika akan lebih baik. Alasan yang sama dengan si anak dan ibu rumah tangga di atas. 

Betul nggak?

Kata kemungkinan tetap dipakai dan bahkan dimiring dan ditebalkan, karena hal itu bukanlah sebuah kepastian. Tidak bisa dipastikan sebelum dibuktikan sendiri, yaitu dengan mencicipi hasil masakan keduanya , atau tanpa membaca hasil tulisan sang blogger dan Raditya Dhika tadi.

Tidak bisa dipastikan dan semua masih dalam batas kemungkinan. 

Lama waktu produksi tidak pernah menjadi tolok ukur dalam penentuan kualitas dimanapun, bahkan di pabrik manufaktur sekalipun. Kualitas hanya bisa ditentukan setelah hasil keluar , diperiksa dan diteliti. 

Tidak pernah ada produsen yang bisa menentukan kualitas hanya dengan melihat lama waktu yang dipergunakan untuk menghasilkannya (kecuali di bidang jasa pelayanan seperti hotel dimana respon yang cepat dianggap menguntungkan dan memberi nilai lebih pada kualitas pelayanan, tetapi tidak menentukan kualitas secara keseluruhan).

Sama halnya dengan menulis. Lama waktu menulis tidak menentukan kualitas artikel. Sama sekali tidak. Kalau ada yang mengatakan itu, berarti ia sebenarnya sedang menggiring opini agar pemikiran orang lain mengikuti pandangannya saja.

Ia memanfaatkan celah “waktu yang lebih lama” dengan harapan pembaca berpikir bahwa “ia melakukan segalanya untuk meriset, menyusun kata perkata, mengedit, dan sebagainya dalam menulis”. Padahal, bisa jadi ia hanya nonton TV, bermain dengan anak, berdagang, dan entah berapa ribu kemungkinan lain.

Penggiringan inilah yang kerap dipakai para internet marketer atau blogger di bidang tutorial blogging untuk mengarahkan orang lain. Mereka memanfaatkan kodrat bahwa manusia gemar berasumsi, bergosip, menduga dan berkhayal. 

Oleh karena itu, tidak heran banyak orang ternyata mengiyakan bahwa lama waktu menulis menentukan kualitas artikel yang ditulis. 

Padahal, faktor-faktor yang menentukan kualitas adalah :

  • Pengetahuan : seorang yang tidak tahu cara menggoreng telur, sulit menghasilkan telur dadar yan enak
  • Skill : seorang montir yang sudah bekerja di bidangnya 10 tahun, akan memiliki skill yang lebih mumpuni dibandingkan montir yang baru 3 bulan menekuninya
  • Kreatifitas : sebuah gelas plastik di tangan orang tidak kreatif akan masuk ke tong sampah, di tangan orang kreatif bisa berubah menjadi hiasan dinding, pot, dan banyak lagi
  • Pengguna : jangan lupa mereka adalah juri penentu dan pemberi nilai, seorang murid yang menyelesaikan ujian, tidak menilai ujiannya sendiri, gurulah yang memberi nilai 8 atau 3
  • Pengalaman : semakin lama seseorang menekuni sesuatu, semakin paham mereka akan seluk beluk terkait yang ditekuninya. Hal ini akan membantu menghindarkan mereka dari membuat kesalahan dan juga akan meningkatkan efisiensi saat mengerjakannya

Pernyataan yang mengaitkan waktu menulis dengan kualitas adalah menentang kenyataan sendiri. Bisa diduga mereka yang melakukannya, entah kurang pengetahuan, atau sedang punya niat untuk mempromosikan pendapatnya / barang dagangannya sendiri.

Khas gaya salesman, penjual. 

Gigih.

Tidak peduli logika yang dipakai salah, yang penting bagi mereka adalah dagangan mereka laku terjual. Karena itulah, tidak mengherankan kebanyakan tulisan berkaitan dengan kualitas akan selalu digiring pada pengukuran lama waktu menulis sebagai penentu kualitas.

Hal ini dilakukan bukan saja oleh internet marketer Indonesia, tetapi juga banyak yang seprofesi di luar negeri. Penekanan terhadap pentingnya menulis dalam waktu yang lama.

Meski sebenarnya unsur itu tidak pernah diperhitungkan dalam menilai kualitas apapun di dunia nyata.

Itulah mengapa pandangan itu saya sebut K.O.N.Y.O.L 

Jauh sekali dari logika umum dan kenyataan.

3 thoughts on “Lama Waktu Menulis Tidak Menentukan Kualitas Artikel”

  1. padahal saya pernah baca pak, Menurut penelitian Malcolm Gladwell (bukunya Outliers), dibutuhkan 10.000 jam latihan yang penuh dedikasi untuk menghasilkan orang sukses

    kalau jarang nulis apakah dia bisa dikatakan seorang ahli dan sukses.

    Reply
    • Yah mungkin karena dia merasa sudah diberikan bakat yang luar biasa sejak lahir… 😀

      Pepatah yang sama dalam dunia fotografi, Henri Cartier Bresson, 10.000 foto pertamamu adalah yang terburuk. Representasi yang tepat untuk menggambarkan perlunya belajar dan kerja keras untuk mencapai hasil

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply