Beranikah Anda Menulis Sesuatu Yang Anti Mainstream dan Menimbulkan Koontroversi?

Banyak blogger tutorial dan internet marketer (tentunya) menyarankan untuk membuat tulisan anti mainstream dan bahkan mengundang kontroversi sebagai cara untuk menarik pengunjung.

Sayangnya, rupanya pepatah “mudah diucapkan sulit dilakukan” lahir bukan karena tanpa alasan. Banyak dari mereka-mereka yang memberi tutorial terkait mainstream tidak melakukannya sendiri. Buktinya tulisan-tulisannya yah sebenarnya hanya pengulangan dari sesuatu yang umum saja.

Coba deh baca tulisan-tulisan tutorial tentang blogging, pasti ada saran untuk “melahirkan” kontroversi atau mengambil sikap yang bertentangan dengan umum. Tetapi, kalau Anda menelusuri tulisan demi tulisan di blog yang sama, sebenarnya tidak ada hal yang disarankan itu.

Semuanya hanya mengikuti arus saja.

Mengapa Jarang Yang Berani Menjadi Golongan Anti Mainstream?

Bisa dimaklum.

Tidak heran.

Mengambil posisi berseberangan, khas anti mainstream, bukanlah tanpa resiko. Segala sesuatu yang menentang “arus umum” akan berhadapan dengan banyak konsekuensi yang kebanyakan tidak menyenangkan.

Sebagai contoh, para aktivis HAM (Hak Asasi Manusia) yang sekarang mempertanyakan pemutaran ulang film G30S PKI. Mereka menghadapi kegeraman banyak orang, mulai dari orang biasa hingga politikus karena kata komunis oleh umum diidentikkan dengan sesuatu yang berbahaya dan kejam. Padahal mereka mungkin hanya sekedar mempertanyakan keabsahan sejarah yang diceritakan film tersebut. Masih banyak pro dan kontra terkait film tersebut.

Masalahnya, bagi masyarakat yang berpikiran secara mainstream, tindakan mereka dianggap sebagai mendukung lahirnya komunis di Indonesia, meski sebenarnya tidak.

Contoh lain terkait dengan anti mainstream adalah kata Komunis sendiri dalam masyarakat Indonesia diasosiasikan dengan kekejaman dan pemberontakan berdarah, serta anti agama. Padahal menurut definisinya tidak selalu demikian. Sayangnya, ketika coba membahas secara ilmiah, masyarakat cenderung menyalahartikan dan memberikan label tidak mengenakkan bagi yang melakukannya.

Contohnya adalah Cina. Negara ini diperintah oleh Partai Komunis Cina, dan negara tersebut termasuk negara yang stabil secara politik dan maju secara ekonomi. Juga, negara ini tidak mengekang agama apapun, Islam, Kristen, Konghucu, Budha, Kristen, ada disana.

Itulah resiko menjadi anti mainstream. Bahkan, terkadang sekedar meluruskan saja sudah bisa membuatnya menghadapi masalah, apalagi coba bertentangan dengan arus umum.

Cap ANAK BANDEL BIN BENGAL adalah konsekuensi terendah bagi seseorang yang menjadi terbiasa menjadi anti mainstream.

Begitupun dalam hal menulis. Menulis sesuatu yang anti mainstream cenderung mengundang yang namanya kontroversi dan jika hal itu terjadi, biasanya berujung pada pro dan kontra yang keras dan berujung ketidakenakkan.

Coba saja bayangkan beberapa jargon yang kerap ditemukan di dunia blogging, seperti “Kalau loading di atas 3 detik, pengunjung akan kabur”.

Beranikah Anda menentangnya? Padahal faktanya, Detik.com adalah website yang memiliki loading cukup lamban, tetapi tetap saja website ini buaanyaak sekali pengunjungnya setiap hari.

Anda akan dicap sebagai mbalelo terhadap mbah-mbah blogger yang bergelar mastah. Meskipun sebenarnya, Anda hanya mengatakan sebuah fakta.

Itulah resiko yang harus dihadapi dan diterima oleh kaum anti mainstream. Tidak menyenangkan bukan.

Keuntungan Menulis Sesuatu Yang Anti Mainstream dan Menimbulkan Kontroversi

Manusia itu aneh.

Mereka suka melihat keributan. Pertengkaran, kecelakaan, kerusuhan biasanya akan mengundang perhatian khalayak lebih banyak daripada seminar atau sesuatu yang adem ayem. Sepakbola atau tinju akan mengundang penonton lebih banyak daripada pertandingan catur.

Kontroversi, polemik, perdebatan di media massa akan membuat oplah koran meningkat. Kebakaran, kecelakaan, pembunuhan akan menarik perhatian lebih daripada berita peresmian.

Itulah manusia.

Dari sanalah lahir sebuah anekdot dalam dunia jurnalistik, yaitu “Bad news is Good News” (Berita buruk adalah berita baik). Sebuah berita yang “jelek” justru akan menghasilkan sesuatu yang baik bagi pengusaha koran. Oplah atau penjualan suratkabar mereka akan menaik saat ada sesuatu yang buruk karena masyarakat lebih ingin tahu hal-hal yang seperti ini.

Jadi, keuntungan dari menulis sesuatu yang anti mainstream dan cenderung menimbulkan kontroversi adalah karena hal itu akan mengundang perhatian.

Coba saja tanyakan pada Denny Siregar atau Lambe Turah atau Mak lambe Turah, atau bahkan blog yang sudah almarhum Portal Piyungan. Semua mengandalkan pada kehebohan tulisannya. tetapi, dengan begitu mereka mendapatkan banyak sekali pembaca (baik dari kalangan pendukung atau pencaci).

Kedua pihak akan menjadi terikat dengan sang penulis sendiri dan akan selalu hadir setiap ada tulisan baru (meski tujuannya berbeda). Orang-orang di atas berhasil mempertemukan dua kubu sekaligus dan menikmati hasilnya. Paling tidak mereka menjadi orang terkenal karenanya.

Itulah keuntungannya.

Tidak salah apa yang disarankan para mastah blogger karena menulis secara anti mainstream akan membuat seorang penulis/blogger berbeda dan lebih menonjol dari kebanyakan.

Cuma, ya itu tadi masalahnya. Beranikah Anda melakukan hal tersebut? Ada resiko cacian dan ketidaksukaan yang akan terlontar kepada Anda, selain tentunya pujian dari kaum pendukung dan fans.

Kalau saya? Maniak Menulis dibuat bukan untuk menjadi pengekor para mastah di dunia blogging yang gemar memberikan wejangan, yang terkadang hanya mengikuti wejangan dan wangsit tidak jelas.

Maaf saja. Saya tidak berpandangan menjadi pengekor dan pembebek itu menyenangkan. Bodo amat dengan ketenaran atau uang. Yang penting, saya menulis dengan hati nurani dan harus berani mengatakan apa yang saya pikir benar.

Tidak peduli juga kalau akhirnya dijuluki anti mainstream dan
penyebar kontroversi. Selama tidak melanggar hukum dan merugikan orang
lain, mengapa harus peduli pada julukan?

E.G.P.

3 thoughts on “Beranikah Anda Menulis Sesuatu Yang Anti Mainstream dan Menimbulkan Koontroversi?”

Leave a Reply to Masandi Wibowo Cancel reply